Antara Habib Rizieq dan Jogo Tonggo Jateng
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Antara Habib Rizieq dan Jogo Tonggo Jateng

Rabu, 25 Nov 2020 21:29 WIB
Agus Fanar Syukri
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Agus Fanar Syukri - Peneliti Senior Bidang Kebijakan dan Manajemen Riset dan Inovasi LIPI
Foto: Agus Fanar Syukri
Jakarta -

Masyarakat Tidak Patuhi Prokes 3M

Bertepatan dengan Hari Pahlawan pada Selasa (10/11), Habib Rizieq Shihab (HRS) pulang ke Tanah Air, setelah tiga setengah tahun bermukim di Saudi Arabia. Puluhan ribu pendukungnya menjemput HRS di Bandara Soekarno-Hatta (BSH) sehingga menimbulkan kemacetan parah di tol bandara, membuat marah para pilot, pramugari, pekerja dan para penumpang yang terhalang sampai ke BSH di hari tsb. Berkumpulnya puluhan ribu orang dalam satu tempat berpotensi menyebarkan virus COVID-19 bila dalam perkumpulan banyak orang tersebut terdapat orang tanpa gejala (OTG).

Pada malam hari Sabtu (14/11), ada lagi keramaian di Petamburan Jakarta. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan anak HRS, jumlahnya pun mencapai puluhan ribu. Lagi-lagi potensi penyebaran virus COVID-19 pun muncul dalam keramaian itu. Bahkan, keramaian Petamburan pun disinggung dalam pembahasan khusus di sidang kabinet terbatas, selain membahas perkembangan terkini pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, hal ini berimplikasi kepada pencopotan Kapolda DKI dan Jawa Barat, Senin (16/11) karena dianggap kurang tegas dalam menegakkan protokol kesehatan di kerumunan yang terjadi di Petamburan dan di Bogor, yang dalam kerumunan puluhan ribu orang memang sulit mencegah, mendeteksi, dan menelusuri penyebaran COVID-19.

Selain peta penggantian Kapolri pun berubah, gegara kerumunan di Petamburan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pemanggilan Gubernur Anies Baswedan oleh Kapolda DKI pun menimbulkan kegaduhan nasional!

ADVERTISEMENT

Sebenarnya, dua pekan pasca liburan panjang akhir Oktober 2020 yang lalu, di pertengahan November telah dilaporkan terjadi lonjakan pasien COVID-19 hingga 5.000 lebih dalam sehari.

Sehingga IDI mengusulkan kepada Pemerintah agar libur panjang di akhir tahun 2020 dievaluasi kembali, bila perlu ditiadakan untuk menghindari lonjakan penularan COVID-19 pascaliburan. Pemerintah pun memutuskan untuk mengurangi jumlah hari cuti bersama di akhir tahun.

Bukan hanya para pengikut HRS yang tidak mematuhi protokol kesehatan (prokes), sebenarnya masih banyak masyarakat di tanah air yang juga belum menegakkan prokes. Akhir September 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan 55% masyarakat Indonesia memang tidak mematuhi prokes.

Padahal untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 80% penduduk harus mengisolasi diri di rumah. Namun, karena alasan ekonomi yang memaksa penduduk tetap menjalankan kegiatan untuk dapat bertahan hidup maka sangat dapat dimaklumi bila masyarakat tetap bermobilitas. Tetapi dalam beraktivitas ekonomi pun, masyarakat harus tetap menegakkan prokes 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun/desinfektan.

Mengapa masyarakat tidak mematuhi prokes 3M? Ada tiga alasan utama menurut Kepala BPS saat mengumumkan hasil survei perilaku masyarakat terhadap prokes tersebut. Hasil survei 90.967 responden menyatakan alasan tidak mematuhi prokes karena tidak ada sanksi yang tegas (55%).

Alasan kedua adalah masyarakat merasa aman karena tidak ada kasus positif COVID-19 di lingkungan mereka (39%). Dan alasan ketiga adalah karena tuntutan pekerjaan yang sulit menerapkan prokes seperti harus berjubel di pasar (33%).

Perang melawan pandemi COVID-19 adalah perang dalam waktu yang panjang karena belum tahu kapan virus tersebut dapat diatasi. Sehingga kerja sama antara pemerintah dan masyarakat harus berkelindan, bahu-membahu, terus-menerus, tak boleh kendor. Masyarakat harus menegakkan strategi prokes 3M, sedangkan pemerintah pun terus-menerus menerapkan strategi 3T, yakni testing, tracing and treatment (pengujian, penelusuran dan pengobatan).

Ratusan dokter dan tenaga kesehatan telah gugur sebagai pahlawan dalam perang dengan COVID-19. Walaupun fasilitas kesehatan (faskes) di seluruh Indonesia telah ditambahkan sarana dan prasarananya, yaitu bed, APD, ventilator, kamar isolasi dan obat-obatan. Tetapi, bila masyarakat sebagai garda terdepan dalam perang COVID-19 tidak menegakkan prokes 3M maka faskes yang tersedia tidak akan mampu lagi menampungnya dan mengobati para pasien COVID-19.

Untuk mengedukasi masyarakat agar secara ketat menegakkan prokes 3M dalam beraktivitas sebagai budaya baru di era new normal maka diperlukan penyusunan, implementasi dan evaluasi program dan kegiatan dalam mentransformasikan masyarakat ke budaya baru tersebut. Melalui langkah pembudayaan dipaksa, terpaksa, dibiasakan, terbiasa, akhirnya menjadi budaya sebagai simplifikasi tujuh step pembudayaan-nya Richard Barrett atau Kimberlee.

Pendekatan Sosial Budaya dalam Penanganan COVID-19

Seperti telah disinggung di atas, saat Kepala BPS mengumumkan bahwa 55% masyarakat belum menegakkan prokes 3M karena tidak adanya sanksi, tidak ada orang di sekitarnya yang positif, dan karena faktor pekerjaan yang sulit penegakan prokes. Sebenarnya masyarakat Indonesia sangat adaptif dalam merespon budaya luar.

Profesor Hofstede ahli kebudayaan global menyatakan bahwa 52% masyarakat Indonesia bisa menerima ketidakpastian sangat kontras dengan masyarakat Jepang yang hanya 8%. Pendekatan sosial dan budaya sangat diperlukan dalam pagebluk COVID-19 ini, agar masyarakat turut mematuhi prokes 3M, dan salah satu contoh yang sangat menarik adalah inovasi 'Jogo Tonggo' di Jawa Tengah.

Untuk mentransformasikan masyarakat Jawa Tengah di masa pandemi COVID-19 ke budaya baru new normal, sejak April 2020 Pemerintah Provinsi Jateng telah menginisiasi program 'Jogo Tonggo' yang artinya menjaga tetangga. Adapun ini sebagai terjemahan kebijakan pemerintah pusat di Provinsi Jawa Tengah dengan mengimplementasikan kearifan lokal yang telah ada sebagai adat turun-temurun, dan menemukan momentum yang sangat tepat untuk dihidupkan kembali di masa pagebluk COVID-19 ini.

Jogo Tonggo dimaksudkan untuk membantu masyarakat menghadapi pandemi COVID-19, karena bantuan dari pemerintah tidak akan mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat yang memerlukannya. Jogo Tonggo adalah salah satu bentuk nyata gotong royong yang telah menjadi budaya bangsa.

Tim Jogo Tonggo dibentuk di tingkat RW dan mengurusi masalah kesehatan, sosial, keamanan, juga ketahanan pangan hingga hiburan. Untuk ketahanan pangan Gubernur Ganjar menggerakkan adanya lumbung pangan dengan memanfaatkan lahan yang ada di sekitar masyarakat agar kebutuhan makanan masyarakat pun tercukupi, tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah semata.

Pemerintah Provinsi Jateng pun mengoptimalkan anggaran dari sektor lain, sesuai dengan perintah Presiden Jokowi agar anggaran belanja tahun anggaran 2020 diprioritaskan untuk menangani pandemi COVID-19. Selain itu, Pemprov Jateng mengkoordinasikan kegiatan bantuan dari perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi di Jawa Tengah melalui Corporate Social Responsibility (CSR) mereka, juga dari para filantropi dan aktivis kemanusiaan.

Program Jogo Tonggo diapresiasi oleh pemerintah pusat juga oleh DPR sehingga diusulkan untuk dicontoh dan direplikasi di provinsi-provinsi lain di seluruh Indonesia. Bahkan, Baznas pun sangat mengapresiasi program Jogo Tonggo Jateng karena bantuan Baznas benar-benar dimanfaatkan untuk membantu masyarakat menghadapi COVID-19. Hal ini berbeda dengan di daerah lain yang menggunakan bantuan Baznas untuk membangun gedung atau membeli kebun.

Bukan hanya di RT RW saja, program Jogo Tonggo yang digagas oleh Gubernur Ganjar Pranowo itu pun diperluas menjadi program Jogo Siswa sebagai solusi di bidang pendidikan, Jogo Kerjo untuk klaster perkantoran pemerintah maupun swasta, juga Jogo Santri untuk klaster pondok pesantren.Di Jateng ada 3.787 ponpes dengan santri hampir 300 ribuan, dan telah ada 9 klaster penyebaran COVID-19 di ponpes dengan jumlah 648 santri terpapar di bulan Oktober lalu, dan menjadi klaster terbesar, selain klaster keluarga.

Atas inovasi program Jogo Tonggo, Jogo Siswa, Jogo Kerjo dan Jogo Santri, Gubernur Ganjar Pranowo dan Provinsi Jateng masuk tiga besar terbaik dalam penanganan pandemi COVID-19 di tingkat nasional. Perkembangan pandemi COVID-19 di Jateng secara reguler dilaporkan Gubernur kepada Presiden dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi.

Untuk mempercepat penanganan COVID-19, Provinsi Jateng telah membentuk 6 satkorwil, yaitu di 6 eks karesidenan Pati, Semarang Raya, Pekalongan, Banyumasan, Kedu, dan Solo. Satkorwil bertugas mensinkronisasi dan mengkoordinasikan program dan kegiatan percepatan penanganan COVID-19 di 35 kota dan kabupaten di seluruh Jawa Tengah. Tugas tersebut meliputi penanggulangan dampak sosial, ekonomi maupun kesehatan, khususnya di 13 daerah yang harus mendapatkan perhatian khusus, yang kebanyakan di daerah pantura, antara lain Brebes, Tegal, Kendal, Kota dan Kabupaten Semarang, Demak, Jepara, Kudus, dan Rembang, karena menjadi urat nadi perekonomian nasional lintas Jawa.

Gubernur Ganjar Pranowo dan Pemerintah Provinsi Jateng pun tidak melupakan aspek ekonomi agar tetap bergeliat, khususnya UMKM. Hal ini karena masyarakat tidak bisa tinggal di rumah saja selama masa pandemi COVID-19 yang telah berlangsung delapan bulan ini. Mereka tetap harus beraktivitas ekonomi untuk mempertahankan kehidupan keluarga sehingga Gubernur Ganjar pun berinisiatif membuka Lapak Ganjar bagi UMKM di Jateng untuk mempromosikan dan menjual produk mereka melalui situs tersebut.

Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jateng pun rajin menggelar pameran UKM secara virtual untuk mengangkat penjualan produk UMKM, karena masyarakat pun telah beralih ke belanja secara daring sebanyak 400% selama masa pandemi COVID-19 yang telah berjalan selama delapan bulan ini.

Jadi, dalam perang melawan pandemi COVID-19 yang panjang masanya, diperlukan kerja sama yang sangat baik antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah secara konsisten menerapkan strategi 3T dan masyarakat harus menegakkan prokes 3M secara ketat, melalui proses pembudayaan: dipaksa, terpaksa, dibiasakan, terbiasa, menjadi budaya new normal.

Pemerintah Provinsi Jateng dengan sangat inspiratif dan inovatif menggali nilai kearifan lokal Jogo Tonggo yang telah menjadi adat dan budaya masyarakat di Nusantara, untuk bergotong royong menghadapi dan melewati berbagai aral rintangan yang menghadang antara lain pagebluk COVID-19, yang kita belum tahu sampai kapan akan terus berlangsung. Perang panjang perlu strategi dan stamina yang kuat, sampai kemenangan itu bisa kita raih! Jogo Tonggo, Jogo Negoro, menjaga tetangga, menjaga negara dengan menegakkan prokes 3M oleh masyarakat & 3T oleh pemerintah untuk dapat mengalahkan pagebluk COVID-19!

Agus Fanar Syukri, Peneliti Senior Bidang Kebijakan dan Manajemen Riset dan Inovasi LIPI

(prf/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads