Berteriak sambil mengajak joget para hadirin, akhir-akhir ini menjadi viral. Baik di kalangan anak-anak maupun dewasa di dunia maya dan di dunia nyata. Seakan lupa akan situasi di era pandemi saat ini, ajakan untuk berjoget menjadi sesuatu yang menghibur hati dari ketidaknyamanan, kegalauan, kebingungan, dan kesedihan yang berlarut-larut.
Meski hanya melalui sebuah sound system, namun lumayan memunculkan setitik harapan masyarakat, pandemi segera berlalu. Kangen akan ingar bingar sebuah pesta menjadi terasa sangat mahal di hampir sembilan bulan terakhir karena ada banyak perda seperti di Jepara tempat saya tinggal saat ini.
Beberapa bulan yang lalu, pemerintah telah mengambil kebijakan serius untuk menekan angka penyebaran Covid. Pembatasan berskala besar maupun kecil yang telah diberlakukan bukan tak berdampak. Sebagai masyarakat biasa yang kehidupan ekonominya juga biasa-biasa saja merasa sangat terpukul dengan pembatasan-pembatasan tersebut.
Sejak Maret, ada peraturan yang melarang diadakannya perhelatan-perhelatan di masyarakat. Misalnya, acara pesta pernikahan atau pesta khitanan. Jika pada bulan-bulan tersebut ada rencana, harus dibatalkan atau diundur entah sampai kapan.
Anjuran melaksanakan protokol kesehatan 3M tetap dan wajib kita jalankan. Menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Bagi kami, menjaga jarak inilah yang terasa amat menyiksa meski kami tahu dan sadar ini adalah aturan yang wajib kita patuhi.
Tidak sedikit masyarakat yang kecewa berat atas aturan-aturan ini. Namun sebagai warga yang baik dan taat hukum bisa menerima walau sebenarnya hati ini menangis pilu. Bagaimana tidak menangis pilu? Ada ribuan bahkan jutaan insan yang terpaksa menelan pil pahit atas aturan yang tengah digalakkan pemerintah.
Kita dilarang untuk berkerumun demi pencegahan tersebarnya virus agar tidak meluas. Padahal kehidupan masyarakat di daerah hampir setiap hari dan setiap saat ada kerumunan. Dari kerumunan pasar hingga kerumunan di perkumpulan siskamling, arisan PKK, pengajian rutin mingguan dan bulanan, hingga berkerumun di acara-acara pesta.
Demi patuh pada aturan, akhirnya kegiatan-kegiatan di atas terpaksa dihentikan sementara. Dan bulan-bulan yang biasa diramaikan dengan acara nduwe gawe itu pun berlalu dalam hening dan sendu. Akibatnya, banyak sorot mata yang semula berbinar indah kini menjadi sorot sayu.
Di sebuah acara perhelatan pesta pernikahan misalnya, tak terhitung berapa insan yang terlibat di dalamnya. Bila ada sejumlah perhelatan di sebuah desa atau daerah, sudah bisa kita hitung ada berapa dari kita yang terpaksa hari itu menelan ludah sendiri dan tak mendapatkan pemasukan untuk menutup kebutuhan keluarga.
Bagi pegawai pemerintah mungkin tak terlalu merasakan dampak dari Covid ini. Tapi bagi para pekerja seni atau seniman, para penjual jasa, para pemilik toko, katering, dan para pekerja ringan lainnya dirasakan sangat memukul telak bahkan seolah menutup dan membunuh sumber rezeki mereka.
Siapapun itu, orang tua atau calon mempelai yang ingin menggelar acara seremonial mereka, tentu jauh-jauh hari sudah mempersiapkan segalanya. Dari kesiapan finansial sampai kesiapan mental. Akan sangat sedih sekaligus kecewa bila hari bahagia yang ditunggu-tunggu tiba-tiba berubah dari rencana. Bisa saja hari pernikahan resmi tidak berubah tapi untuk menggelar pesta tentu tidak bisa karena terbentur aturan.
Tidak kalah kecewa dan sedihnya bagi para penjual jasa. Dari para perias pengantin dan rombongan, mas-mas yang membuat dekorasi pelaminan, para juru foto dan mbak-mbak asisten juru rias. Juga para penjual bunga yang biasa diborong oleh para perias pengantin terpaksa harus sabar menghadapi kenyataan.
Jasa penyewaan gedung atau penyewaan tratag, kursi, tenda, dan uborampe nduwe gawe lainnya termasuk sound system menjadi sepi bahkan nol. Para pekerja yang ada dalam jasa penyewaan ini tidak sedikit jumlahnya. Misalnya yang memasang panggung pelaminan, memasang lampu-lampu pesta, dan menjaga sound system. Kebanyakan dari mereka justru sudah berkeluarga dan mereka bekerja juga untuk keluarga.
Katering pun demikian. Padahal untuk melayani acara-acara pesta pernikahan, katering melibatkan banyak orang sebagai tenaga yang siap membantu terwujudnya sebuah pesta yang sukses. Di samping itu, toko-toko penyedia bahan-bahan untuk pesta juga tak luput dari dampak Covid ini.
Sebagai pendukung sebuah acara agar lebih meriah dan menggembirakan, para pekerja seni tak bisa diabaikan begitu saja. Di daerah saya hampir setiap acara mantenan selalu ada hiburannya, orkes dangdut komplet atau hanya organ tunggal. Yang paling sering adalah organ tunggal.
Organ tunggal pun tidak sendiri, selalu membawa rombongan. Sang pianis, penyanyi atau biduan dan kadang membawa teman untuk membantu menabuh gendang agar irama musiknya lebih seru. Penyanyi pun demikian, tidak hanya seorang, minimal ada dua atau tiga orang.
Selain organ tunggal, sekarang yang lagi ngetren adalah yangndut yaitu wayang dangdut. Ada wayang sudah pasti ada dalang. Dalang juga membawa rombongan yaitu para penabuh yang kita kenal dengan nama niyogo dan para sinden alias penyanyi atau biduan di pagelaran wayang. Ini wayang kulit lho! Bukan wayang-wayang yang lain. Kenapa disebut yangndut? Karena di tengah-tengah pertunjukan wayang akan ada selingan lagu-lagu versi dangdut yang tentu saja para sinden yang membawakannya.
Baru-baru ini, atas kesepakatan bersama antara para pekerja seni, katering, pemilik penyewaan alat-alat pesta, dan para pengusaha rias pengantin, melakukan unjuk rasa ke Kabupaten. Mereka memohon agar keran usaha mereka mendapatkan izin untuk dibuka kembali.
Setelah melalui beberapa kali unjuk rasa dan beberapa kali pertemuan dengan pemerintah daerah, yang ternyata cukup alot dan ngotot karena berbagai kendala, akhirnya ada sedikit titik terang. Terhitung mulai Oktober, para pendemo bisa sedikit bernapas lega meskipun masih ada embel-embel syarat ini dan itu. Perhelatan pesta perlahan sudah normal kembali kendati khusus acara hiburan ada aturan daerah tidak boleh digelar malam hari.
Para seniman dan kawan-kawan bolehlah sedikit menghirup udara bebas walau tidak sebebas sebelum ada pandemi. Banyak harapan yang kemarin seolah hilang, kini pelan mulai dirintis lagi.
Salah satu pemain organ tunggal pernah mengeluh bahwa putrinya yang tengah kuliah butuh biaya skripsi, sedang job organ tunggalnya lagi lesu bahkan mati suri. Seorang biduan juga sempat curhat bahwa dia membiayai adiknya yang di SMA. Ada juga biduan yang baru saja masuk perguruan tinggi dan nyaris gagal karena mengandalkan dari job yang biasanya mengalir pada bulan-bulan musim pesta pernikahan.
Masih banyak curhatan mereka yang intinya sama. Efek pandemi korona benar-benar merasuk ke dalam semua lapisan masyarakat.
Semua berharap pagebluk ini cepat berlalu. Semua menginginkan kehidupan yang lebih baik dari hari kemarin. Kebijakan perda yang tidak mengebiri para pekerja seni dan teman-temannya sangat diharapkan semua pihak. Tak mengapa bila ada kebijakan yang bersyarat ini-itu asal bisa menggeliat meski pelan namun pasti.
"Ratna....Antikaaaa...Mo..na..ta!"
Saya kaget mak jenggirat dari lamunan ketika mas sound system menaikkan volumenya. Anehnya, saya menikmati kekagetan itu dan merasa terhibur meski hanya mendengar dan tidak bisa menonton langsung pentasnya Monata. Bahkan di pinggang saya serasa ada beberapa pegas yang Γ khirnya membuat saya sedikit bergoyang sambil senyum-senyum karena entakan irama musik.
(mmu/mmu)