Amerika Serikat (AS) punya presiden baru setelah kandidat presiden dari kubu Demokrat mengalahkan sang petahana Donald Trump. Banyak kalangan di Indonesia berharap banyak pada Biden yang dianggap sosok pluralis dibandingkan Trump yang punya reputasi buruk dalam hal isu keberagaman. Biden diproyeksi bakal mengambil kebijakan yang lebih lunak dan akomodatif terhadap kelompok-kelompok berbeda.
Tetapi itu hanya separuh cerita. Cerita lainnya barangkali akan berbeda ketika dikaitkan dengan isu-isu hubungan internasional yang lebih luas. Masa depan dunia abad ke-21 masih akan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan besar, tak terkecuali tentu saja AS. Lantas bagaimana lanskap dunia ke depan di bawah kepemimpinan presiden baru AS Joe Biden?
Memulihkan Status
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Politik luar negeri AS pada dasarnya cenderung menunjukkan pola kontinuitas ketimbang perubahan. Kalaupun ada perubahan, hal itu tampak di tataran strateginya saja. Secara substantif, siapapun presidennya AS harus tetap menjadi negara terkuat di muka bumi. Untuk mencapai tujuan ini pilihannya ada dua, yaitu fokus ke penguatan sektor domestik atau memperluas kekuasaan dan pengaruh di level internasional.
Donald Trump memilih opsi pertama dengan slogan 'America first'-nya. Ia mengedepankan strategi unilateralis dengan mengorbankan politik aliansinya dengan negara sekutu AS. Ia juga skeptis dengan lembaga dan rezim internasional seperti PBB, Perjanjian Paris, Trans-Pacific Partnership, dan forum-forum multilateral.
Kontras dengan itu, Joe Biden tampaknya akan menggunakan strategi kedua guna memulihkan status AS sebagai kekuatan hegemonik global. Visi dan misi Biden bisa dibingkai dalam kerangka pemikiran liberal-internasionalisme; kebijakan luar negeri AS akan diproyeksikan untuk mempromosikan demokrasi ke seluruh dunia sekaligus memperkuat aliansi antarnegara demokrasi. Gagasan ini ditempuh dengan pendekatan ekspansionis, namun tidak melalui jalur unilateral melainkan multilateral dan penekanan pada sarana-sarana diplomasi alih-alih militer.
Seperti halnya platform kebijakan luar negeri kubu Demokrat seperti Bill Clinton dan Barack Obama, karakter kebijakan Biden juga tak akan jauh-jauh dari penguatan peran AS sebagai 'mercusuar' (beacon) yang akan 'memimpin dengan teladan' (leading by example). Frase ini terdengar mulia dan kontras dengan kebijakan Trump yang terkesan ugal-ugalan, kontradiktif, dan kontroversial.
Namun 'memimpin dengan teladan' mengimplikasikan hal yang jauh lebih serius. Salah satunya adalah komitmen AS untuk membendung pengaruh Tiongkok. Di era Trump, konflik dengan Tiongkok lebih condong ke isu ekonomi dengan perang dagang. Ketegangan hubungan kedua negara juga lebih disebabkan oleh perang kata-kata (megaphone diplomacy), misalnya ketika virus Corona merebak Trump menyebut 'virus China' dan menuduh virus itu muncul dari laboratorium di Wuhan. Trump juga menyebut pemerintah Tiongkok sengaja membiarkan virus itu menyebar.
Biden mungkin bukan tipikal pemimpin yang berangasan dalam bertutur kata, namun kebijakannya terhadap Tiongkok bisa jadi lebih asertif dibandingkan Trump. Dengan mengusung visi mengembalikan supremasi AS di pentas politik global, rivalitas AS dan Tiongkok kemungkinan besar kian menajam. Dalam isu Laut China Selatan misalnya, Biden kembali menegaskan bahwa kepentingan strategis AS di kawasan itu adalah memastikan jalur pelayaran internasional yang bebas. Hal ini mengisyaratkan kembalinya kebijakan 'rebalancing' AS di kawasan Indo-Pasifik yang dahulu digagas Obama.
Kendati demikian, kepemimpinan Biden juga akan membawa sisi positif terutama komitmennya terhadap multilateralisme. Salah satu agenda prioritasnya adalah bergabung kembali ke dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Di era Trump, kerja sama internasional penanggulangan dampak perubahan iklim ini dianggap merugikan kepentingan ekonomi AS. Sebaliknya, Biden mengatakan bahwa perubahan iklim adalah "ancaman terbesar umat manusia."
Dampak bagi Indonesia
Di Indonesia, kemenangan Biden disambut hangat banyak kalangan. Mereka optimis Biden akan membawa angin perubahan ke arah positif menyangkut isu-isu keberagaman dan ekonomi. Hal ini setidaknya tampak dari pemilihan wakil presiden perempuan Kamala Harris. Biden juga memperlihatkan pendekatan yang akomodatif terhadap Islam seraya mengutip hadis Nabi Muhammad ketika berkampanye menggaet suara kaum muslim Amerika.
Sejumlah pihak yakin bahwa prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik jika AS dipimpin Biden. Sentimen pasar baru-baru ini memang menunjukkan tren positif. IHSG menguat 3 persen menyusul prediksi kemenangan Biden. Nilai tukar rupiah juga dikabarkan menguat atas dolar AS. Selain itu, harga logam mulia seperti emas juga diperkirakan akan naik drastis karena adanya kebijakan stimulus pemerintahan Biden.
Namun garis kebijakan ekonomi Biden sebenarnya tak banyak berubah. Artinya, kebijakan ekonomi Biden kemungkinan besar akan konsisten dengan proteksionisme seperti dilakukan Trump. Biden akan banyak berkonsentrasi untuk penguatan ekonomi domestik. Dalam situs resminya, Biden percaya bahwa "keamanan ekonomi adalah keamanan nasional." Kebijakan restrukturisasi ekonomi domestik Biden akan menyasar dua isu utama, yakni penciptaan lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur.
Proteksionisme jelas merugikan negara-negara mitra dagang utama seperti Indonesia. Sebagai negara tujuan ekspor terbesar ketiga setelah Tiongkok dan Jepang, AS menyumbang pemasukan besar bagi ekonomi Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia sebenarnya tak perlu was-was dengan proteksionisme AS. Pengalaman sebelumnya menunjukkan meskipun nilai ekspor Indonesia ke AS cenderung fluktuatif tetapi secara umum relatif stabil alias tidak terpengaruh kebijakan proteksionisme. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada Agustus 2020 nilai ekspor non-migas Indonesia ke AS masih terbesar yang kedua setelah Tiongkok dengan nilai 1.62 miliar dolar.
Yang barangkali perlu diwaspadai Indonesia adalah kembalinya politik 'rebalancing' AS di Indo-Pasifik khususnya di kawasan Laut China Selatan. Biden sendiri menyatakan bahwa kebijakan luar negerinya akan merangkul negara-negara demokrasi termasuk Indonesia. Artinya, Indonesia akan kembali didekati AS sebagai untuk memperkuat sendi kekuasaannya di kawasan. Hal ini tentu akan menciptakan persepsi ancaman bagi Tiongkok sehingga lingkaran setan konflik Laut China Selatan tak dapat diputus. Indonesia pada gilirannya kembali akan terkena dampak dari rivalitas ini yang dapat mengancam integritas teritorial serta keamanan nasionalnya.
Untuk itu, ke depan Indonesia perlu postur kebijakan luar negeri yang lebih adaptif dan dinamis. Memainkan politik keseimbangan dengan tetap menjaga prinsip 'bebas-aktif' harus terus dilakukan. Optimisme atas kemenangan Biden dari kubu Demokrat belum tentu membawa harapan akan perdamaian di dunia dan kawasan. Indonesia harus lebih pro-aktif dalam membangun arsitektur keamanan yang lebih stabil dan akomodatif seraya mencegah dominasi AS (dan Tiongkok) di kawasan Indo-Pasifik.
Mohamad Rosyidin dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro
(mmu/mmu)