Akhirnya drama penghitungan suara pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) usai. Joe Biden dipastikan melenggang ke Gedung Putih dengan keberhasilan meraih 290 suara elektoral, sekaligus mengakhiri kepemimpinan 4 tahun Donald Trump. Perebutan kursi presiden di salah satu negara poros ekonomi dunia itu tentu saja akan berdampak bagi dinamika ekonomi global, termasuk Indonesia yang menjadi salah satu negara emerging market.
Hasil Pilpres AS ini sudah pasti menyedot perhatian pelaku pasar di seluruh penjuru dunia, apalagi kedua kandidat yang bersaing dinilai memiliki pandangan yang berbeda 180 derajat dalam kebijakan ekonomi. Kemenangan Biden relatif disambut positif oleh para pelaku pasar karena program ekonomi yang dirancang dianggap lebih memberikan sentimen positif bagi stabilitas ekonomi global.
Sebelumnya, bagi pelaku pasar, Trump telanjur dianggap sebagai sumber ketidakpastian, dengan kebijakan yang sulit diprediksi. Lembaga riset Moody's Analytics memproyeksikan ekonomi AS akan tumbuh lebih tinggi jika Biden terpilih sebagai presiden AS, yakni naik 4,2% pada periode 2020-2014. Berbeda dengan proyeksi jika Trump kembali terpilih, ekonomi AS hanya akan tumbuh sebesar 3% pada periode yang sama.
Donald Trump dalam empat tahun kepemimpinannya telah membawa hal baru dalam kebijakan ekonomi, dengan menunjukkan sentiment of nationality yang besar, mendorong perang dagang dengan China melalui pembatasan barang-barang masuk dari China dan menetapkan tarif tinggi. Prinsipnya adalah America first.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan sentiment of nationality melalui perang dagang itu ternyata berdampak buruk bagi stabilitas ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi global sejak 2019 telah mengalami penurunan akibat perang dagang AS dengan China. Apalagi, selain dengan China, perang dagang yang diterapkan Trump juga merambah terhadap negara-negara lainnya yang selama ini menjadi mitra dagang AS.
Kebijakan Ekonomi
Banyak yang memprediksi bahwa program ekonomi AS di bawah Joe Biden tidak serta merta menghapus kebijakan proteksionisme seperti perang dagang. Bahkan dalam rencana ekonominya yang berjudul Made in All of America, Biden menunjukkan iktikad politik untuk memproteksi pasar Amerika demi penciptaan lapangan kerja. Biden menyatakan tidak sungkan untuk menerapkan kebijakan proteksionis terhadap mitra dagang yang dianggap merugikan AS.
Walaupun diperkirakan tidak akan jauh beda dari Trump dari sisi kebijakan proteksionis, kebijakan ekonomi Biden dianggap cenderung lebih mempunyai platform kerja sama multilateral. Sehingga mampu menurunkan tensi perang dagang, terutama antara AS dan China. Tensi perang dagang yang mereda tentu saja akan mendorong stabilitas ekonomi global.
Para pelaku pasar di dunia pun mungkin lebih menginginkan kemenangan Joe Biden, karena adanya beberapa langkah pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan dampak yang lebih baik bagi ekonomi domestik AS dan juga global. Beberapa langkah tersebut antara lain; pertama, stimulus fiskal yang besar. Biden berencana menggelontorkan stimulus sekitar 2,5 triliun dolar AS pada 2021-2024, jauh lebih besar dari rencana stimulus Trump yang hanya sekitar 334 miliar dolar.
Dalam kondisi krisis ekonomi akibat pandemi seperti saat ini, peran stimulus fiskal menjadi instrumen utama untuk menggerakkan roda perekonomian dan meredam dampak krisis terhadap masyarakat dan menjadi salah satu ujung tombak pemulihan permintaan agregat.
Stimulus fiskal yang besar itu tentu saja diharapkan mampu mendorong roda perekonomian AS sekaligus berdampak secara global, termasuk Indonesia yang merupakan negara emerging market. Sehingga kemungkinan pemulihan ekonomi dunia dan Indonesia diharapkan akan semakin cepat.
Kedua, kebijakan pajak minimum bagi perusahaan di luar negeri. Janji politik Biden juga menyebutkan akan menerapkan pajak minimum untuk perusahaan yang berada di luar negeri ketimbang di AS sendiri. Kebijakan ini diharapkan akan memperkuat arus investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) dari AS ke negara-negara lain, khususnya emerging market, termasuk Indonesia.
Belakangan ini, pertumbuhan ekonomi di pasar negara-negara emerging market telah menjadi kunci yang menopang ekonomi global pada saat ekonomi negara-negara maju terancam melambat. Peluang ini tentu saja harus diantisipasi dan dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Indonesia sebagai salah satu emerging market yang potensial, sehingga arus investasi langsung dari AS bisa masuk ke Indonesia.
Jika peluang itu dimanfaatkan pemerintah Indonesia, tentu akan banyak tercipta lapangan pekerjaan yang baru. Sehingga pemulihan ekonomi akan lebih cepat teratasi.
Ketiga, pemulihan pandemi secara baik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah harapan makin baiknya penanganan pandemi Covid-19 di AS selama kepemimpinan Biden. Sejak masa kampanye, keparahan pandemi Corona di AS telah menjadi sasaran tembak terhadap Donald Trump. Trump dianggap gagal menangani pandemi, bahkan dianggap tidak serius sejak awal. Sehingga Covid-19 ini menjangkiti banyak rakyat AS, lebih buruk daripada negara maju lainnya.
Di bawah Biden, kini muncul harapan penanganan pandemi yang lebih tertata. Sehingga akan mempermudah laju pemulihan ekonomi AS, dan tentu akan berdampak bagi pemulihan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Adanya harapan perbaikan penanganan Covid itu setidaknya disampaikan Joe Biden dalam pidato kemenangannya yang akan mengumpulkan ahli dan ilmuwan untuk segera merumuskan langkah menangani pandemi. Sehingga para pejabat dan petugas di sektor kesehatan AS akan bisa bekerja lebih tegas dalam menangani pandemi sesuai pengetahuan.
Ade Wiharso peneliti InMind Institute