Sains yang Intim dan Gagasan yang Berbahaya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pustaka

Sains yang Intim dan Gagasan yang Berbahaya

Sabtu, 14 Nov 2020 11:00 WIB
Rakhmad Hidayatulloh Permana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
gen
Jakarta -

Judul Buku: Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan; Penulis: Siddartha Mukherjee; Penerjemah: Damaring Tyas W Palar; Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2020; Tebal: 697 halaman

Sains tak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan umat manusia. Namun, banyak dari kita sering memandang sains seperti seorang 'liyan', karena ia kerapkali digambarkan sebagai sesuatu yang rumit, kental dengan rumus, dan tidak membumi. Padahal, sejatinya sains adalah sesuatu yang 'intim' dengan diri kita.

Siddharta Mukherjee dalam Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan memberi tahu kita bahwa ada satu gagasan sains yang bakal membuat kita menyadari 'keintiman' itu. Dia adalah gen, unit pewarisan sifat dalam diri setiap mereka yang hidup. Dengan gaya bertutur yang sangat jernih sekaligus indah, Mukherjee membeberkan sejarah panjang gen dari zaman Yunani kuno hingga memasuki zaman modern.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kita diajak bertamasya untuk menyusuri perjalanan perkembangan gen, dari ketika Pythagoras menganggap pewarisan sifat hanya ditentukan oleh lelaki, kisah bapak genetika Gregor Mendel yang hampir terlupakan, sampai cerita dua kimiawati Emmanuelle Charpentier dan Jennifer Doudna yang menemukan teknik pemotongan gen yang sangat presisi.

Mukherjee memulai buku ini dengan cerita pengalaman personalnya yang menyentuh. Yakni ketika dia dan ayahnya mengunjungi sanak saudara mereka yang mengidap sakit mental. Dia mengakui bahwa penyakit mental itu terus berputar dan diwariskan dalam lingkaran keluarganya, bak sebuah 'limbah' yang terus mencemari sungai.

ADVERTISEMENT

Cerita ini menjadi pintu masuk yang sangat pas untuk mengenal lebih dalam tentang apa sebenarnya 'gen' itu. Kita lantas dituntun untuk memasuki kisah hidup Mendel yang getir dan tentang bagaimana biarawan penyendiri itu mempelopori penemuan gen. Mukherjee menuturkan salah satu episode 'eureka' paling mengagumkan dalam sejarah ilmu biologi itu dengan sangat manusiawi.

Kita akan bertemu sosok Mendel yang selalu gagal dalam ujian hingga soal ketekunannya (jika tak bisa disebut kegilaan) saat mengawinkan atau kacang kapri (Pisum sativum), eksperimen yang menjadi awal lahirnya Hukum Mendel.

Dada saya terasa hangat ketika membaca 'magnum opus penemuan' Mendel itu hampir dilupakan oleh dunia. Ketika sang biarawan wafat, dia sempat hanya dikenang sebagai lelaki yang mencintai bunga-bunga. Sensasi keharuan seperti ini tak pernah saya duga bisa muncul ketika membaca buku sains.

Mukherjee juga tak lupa untuk mengungkap bagaimana pertautan gagasan Mendel dengan teori evolusi yang sudah lebih dulu melambungkan nama Charles Darwin. Semuanya dikemas dalam gaya bercerita yang sangat sastrawi. Tentu saja cara menulis seperti ini akan mudah membuat kita takjub, karena bakat seperti ini justru dimiliki oleh dokter onkologi seperti Mukherjee.

Semuanya menjadi tak mengherankan ketika kita tahu bahwa Mukherjee memang seorang pembaca sastra. Hal itu patut kita duga karena beberapa bab dalam buku ini dihiasi oleh beberapa kutipan dari para sastrawan besar. Anda bisa menemukan penggalan dialog drama Shakespeare atau salah satu pasase novel Haruki Murakami dalam beberapa pembuka bab.

Bukan sekadar memacak kutipan sastrawan sebagai penghias belaka, Mukherjee pun bisa memakai sastra untuk mengilustrasikan sebuah mekanisme gen dengan sangat luwes. Saya kagum ketika dia memakai perumpamaan adegan magis tokoh novel Dorian Gray karya Oscar Wilde guna menjelaskan mekanisme pemulihan gen.

Maka cukup beralasan jika saya menyebut cara Mukherjee menceritakan sejarah gen mirip dengan apa yang telah dilakukan Jostein Gaarder pada sejarah filsafat dalam novel Dunia Sophie.

Gen juga mengingatkan kita tentang kerja keras ilmuwan yang melelahkan dan membutuhkan waktu panjang. Penyempurnaan gagasan gen ternyata tak lahir dari hasil kebut semalam.

Pandangan itu bisa kita dapat dari cerita sekelompok ilmuwan penerus Mendel yang berusaha memetakan anatomi gen dengan menghitung jumlah sel dalam seluruh bagian tubuh cacing. Ya! Dihitung satu-satu dari bagian-bagian yang mikro. Kegilaan itu sampai membuat para ilmuwan ini sempat mengalami halusinasi karena kelelahan dan stres.

Merevolusi Dunia

Mukherjee menyebut gen sebagai salah satu gagasan revolusioner setelah byte dan atom. Gen telah merevolusi arah masa depan umat manusia. Dampak penemuan gen sangatlah luar biasa.

Selain revolusioner, gen juga merupakan gagasan yang berbahaya. Sifat ini misalnya dibuktikan ketika pengetahuan soal gen justru diadopsi secara serampangan ke dalam sebuah ideologi fasis yang dihidupkan Adolf Hitler lewat Nazi.

Dengan pengetahuan soal sifat gen, tentang rekayasa gen yang terus berkembang dan potensi untuk mengubah 'nasib' genetis kita, secara tak langsung kita telah dituntun kepada sebuah pertanyaan sederhana: mau kemana kita setelah ini?

Terlepas dari itu, buku ini telah berhasil menyingkap rasa penasaran kita selama ini soal mengapa kita mewarisi banyak hal dari para leluhur kita.

Buku ini cocok dibaca di masa pandemi Corona seperti sekarang ini, ketika sains terus mencari tahu dan politik hanya menjadi suara gaduh di atas panggung. Buku yang ditulis oleh Mukherjee ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Rakhmad Hidayatulloh Permana wartawan detikcom

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads