Pada jam makan siang, saya mengajak teman untuk mencari makan. Ia masih duduk di kursi, tangannya masih memegang mouse, lalu bertanya, "Sudah waktunya makan ya?" sambil mengembuskan napas. "Seperti mengganggu waktu saja ya, makan itu."
Sesampainya di rumah makan, kami tak banyak bercakap selain percakapan-percakapan kecil. Kami memilih makanan yang sudah tersedia. Lalu makan. Mengomentari citarasa secara tipis-tipis. Bayar. Lalu pergi lagi.
Makan seperti sekadar mengisi tangki kendaraan dengan bensin yang kadang dianggap menghambat perjalanan di dunia yang begitu bergegas ini. Pengalaman makan seperti di atas mungkin sama membosankannya seperti menunggu ponsel kita lekas terisi penuh baterainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam budaya perkotaan dan perekonomian hari ini, setiap orang mampu makan tanpa harus menanam, memanen, mengolah, juga memasak bahan makanan. Kita hanya tinggal mencari warung, dan langsung menyantapnya saja --dengan syarat kita punya uang. Kita bisa makan dari hasil mengajar matematika di sekolah, atau menjadi model di majalah, tanpa harus menyentuh tanah dan air atau pisau di dapur.
Kita bisa melompati dua tahap, yakni produksi dan persiapan, lalu dengan begitu saja tiba pada tahap konsumsi. Efisien, tanpa perlu repot-repot.
Di belantara kebiasaan seperti itu ada seorang youtuber dari China, Li Ziqi, memberi interupsi terhadap budaya makan, atau setidaknya menampilkan secara apik dan estetik bagaimana perjalanan makanan sejak dari nol. Ketika, tak sedikit dari kita tak pernah mengerti bagaimana perjalanan nutrisi hingga sampai ke piring kita.
Menyaksikan video-video Li Ziqi menjadi pengalaman yang rileks dan menyenangkan. Lanskap pegunungan yang indah, arsitektur pedesaan menawan di Shincuan, China, aneka bunga dan tumbuhan yang diambil gambarnya dengan sinematografi yang apik, cerah, dan penuh warna. Musik yang tenang dan relaks, ASMR yang detail akan suara-gerak alam, menambah kedalaman fantasi yang adem.
Tidak seperti kebanyakan food vlogger yang hanya mengeksplor berbagai makanan yang telah tersedia dan memberikan komentar citarasa, Li Ziqi memulainya dari nol. Bahan-bahan makanannya ia tanam, ia rawat, dan ia petik dari kebunnya. Pun bila tidak, ia pergi menuju hutan yang bagaikan kulkas organik baginya, atau mengunjungi petani lain yang mengizinkannya memetik dari kebun mereka.
Li Ziqi manampilkan bukan hasil akhir dari sebuah makanan, melainkan perjalanan menuju itu. Perjalanan ia menanam, merawat, atau pergi ke hutan serupa nyanyian yang indah. Ketika benih yang ia tanam mulai tumbuh perlahan-lahan, yang ia ambil gambarnya dengan cara time-lapse, benih itu tumbuh dengan bergoyang-goyang. Bocah hijau yang bergoyang-goyang. Begitu lucu.
Dalam video-videonya Li Ziqi hampir selalu memakai busana Hanfu versi modifikasi, semacam busana tradisional Han, China. Ia juga menggunakan perkakas-perkakas serta metode tradisional. Li Ziqi seperti menampilkan nostalgia paras dunia masa lampau yang mengajak kita pergi ke zaman yang tak pernah kita alami, tetapi kita kenali, pada sebuah tipe awal dari dunia agrikultur yang berpadu padan dengan dunia masa kini.
Dengan pakaian Hanfu yang elegan dan dikelilingi oleh lanskap yang fantastik, bahan-bahan makanan yang alami, segar, yang ditanam dan dipetik sendiri, juga langkah-langkah memasak tradisional namun retro, Li Ziqi mampu memukau penontonnya. Pada 2017 ia pun menjadi "selebriti internet" di China dan bahkan meluas ke negara-negara lain. Dengan segala usahanya, ia telah menjelajahi area baru dalam membuat video pendek, yaitu membuat makanan lezat dan estetik dengan gaya masa lampau.
Dia menampilkan imaji sesosok perempuan serba bisa dari masa yang lampau datang ke dunia internet modern, menyapa penonton-penonton yang menjalani keseharian sibuk di perkotaan. Para penontonnya seakan merasa bahwa menyaksikan video-video Li Ziqi seperti halnya sedang melakukan meditasi, rileks dan mempesonakan.
Li Ziqi memberikan teladan untuk mindfulness terhadap makanan, terhadap alam yang menumbuhkannya. Membuat kita merasa lebih terhubung dengan alam, lebih menyadari bagaimana perjalanan bahan-bahan makanan hingga sampai ke perut dan menjadi energi bagi kita.
Semangat yang sama ditampilkan oleh Rara Sekar dan Ben Laksana dengan lebih kontekstual. Ketika sekolah di Selandia Baru, mereka mendapati bahwa hobi nomor satu masyarakat Selandia Baru adalah berkebun. Rara Sekar menyebutnya sebagai hobi satu bangsa. Masyarakat sana sangat menekuni hobi menanam organik, tanpa pestisida kimiawi hingga menjadi moda pertukaran dalam relasi sosial mereka.
Seperti dicontohkan oleh Rara, ketika mengunjungi dosen pembimbingnya, ia diberi bayam dan tomat yang baru dipanen dari kebun oleh sang dosen. Hasil bumi yang ditanam dan dipanen sendiri menjadi moda pertukaran dalam relasi sosial di Selandia Baru. Aktivitas berkebun tersebut dilakukan di area perkotaan. Banyak masyarakat yang tinggal di apartemen atau rusun, yang tidak punya akses pada lahan bisa menyewa kebun kolektif.
Rara menceritakan bahwa setiap RT di sana mempunyai kebun komunal, lahan yang disediakan oleh pemerintah setempat untuk dikelola oleh komunitas setempat. Lalu setiap beberapa bulan sekali sering diadakan panen raya. Ya, panen raya di tengah perkotaan.
Rara dan Ben selain mencoba untuk masuk ke kultur masyarakat Selandia Baru, juga menemukan sisi spiritual dari kegiatan berkebun. Di tengah-tengah dunia internet yang begitu cepat, banjir informasi, atau tuntutan yang menumpuk, hari-hari yang berlari, ketika depresi dan kecemasan begitu sering dan mudah menghampiri kita, berkebun memberikan kesempatan untuk menikmati keheningan dan melatih fokus. Menjalani waktu dengan pelan dan sabar.
Ketika berkebun, kita tidak melakukan kegiatan lain dan akan mencoba untuk tidak membagi pikiran dengan hal lain. Ketika menyentuh tanah, membiarkan kita bekerja sama dengan alam, merawat dan menanti benih yang tumbuh, bagi Rara itu akan melatih kita untuk belajar lebih rileks terhadap ekspektasi. Karena bagaimana pun perencanaan dan perawatan kita terhadap tanaman-tanaman selalu ada yang tak mampu terbaca, selalu ada yang luput dari prediksi, baik cuaca yang buruk atau serangan telak dari hama-hama. Kita akan selalu belajar untuk menghadapi kegagalan. Secara singkat berkebun mampu merawat kesehatan mental kita, juga kesehatan fisik.
Aktivitas berkebun, memetik bahan makanan sendiri, atau setidaknya mengenali bagaimana perjalanan bahan makanan hingga menjadi hidangan siap santap di meja makan kita akan membuat kita lebih menyadari sesuatu yang kelak menubuh dan memberi energi pada kita. Juga akan menambah pengetahuan kita tentang makanan, tentang tumbuh-tumbuhan, rempah, dan sayuran.
Nenek moyang kita mengenali begitu banyak ragam tumbuhan beserta fungsi-fungsi khasiatnya. Bila merasakan keluhan sakit, mereka tahu harus mengambil daun apa atau akar apa, dan mengolahnya menjadi obat. Ya, apotek hutan raya. Sekarang segala kebutuhan akan obat-obatan banyaknya telah kita serahkan pada industri farmasi, yang obatnya bisa kita beli secara jadi di apotek-apotek terdekat.
Saya membayangkan berkembangnya kesadaran akan berkebun, berkembangnya kembali pengetahuan-pengetahuan terkait jenis tumbuhan dan fungsinya, akan memberikan kesempatan untuk kembali mesra dengan alam, kembali menemukan sentuhan harmonis, dan kesehatan fisik serta mental yang prima bagi masyarakat kita.
Diwan Masnawi mahasiswa Fakultas Filsafat UGM