Kapan pandemi Covid-19 akan berakhir? Pertanyaan ini kembali muncul di ruang publik, meskipun tidak muncul secara terbuka dalam perdebatan, tetapi bekerja di bawah permukaan, bergerak dalam benak publik. Pertanyaan tersebut tentu bukan gugatan, tetapi sejenis harapan bagi keadaan yang lebih baik, mengingat pandemi telah memberi dampak yang sangat besar, khususnya di bidang ekonomi. Apa yang tidak diinginkan adalah jika keadaan semakin berlarut-larut, sehingga membuat masalah bertambah kompleks. Penyelesaian masalah pandemi, atau terputusnya mata rantai penyebaran virus, merupakan kata kunci bagi pemulihan keadaan.
Masalahnya, apakah telah terbentuk keadaan yang sepenuhnya mendukung bagi: (1) penemuan metode yang paling efektif untuk menghentikan langkah virus; dan (2) terbentuknya suatu "gerakan publik" yang akan bekerja dengan orkestrasi yang cemerlang, sehingga seluruh kekuatan dapat bekerja dengan arah dan langkah yang jelas.
Kita hendak menegaskan bahwa penyelesaian masalah pandemi akan sangat bergantung pada ketepatan pilihan upaya penanganan. Ada pun yang dimaksud dengan ketepatan pilihan langkah sesungguhnya bergantung pula pada kemampuan kita meletakkan persoalan yang ada dalam ruang hidup yang sangat dinamis. Apa yang tidak dapat dihindari adalah bahwa upaya penanganan pandemi akan berhadapan dengan keadaan yang berkembang dan kebutuhan aktual.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada titik inilah dibutuhkan kebijaksanaan, sedemikian rupa sehingga langkah-langkah merespons kebutuhan aktual dan perkembangan keadaan tidak bersifat kontraproduktif dengan upaya penanganan pandemi. Hal yang hendak dihindari adalah terjadinya pertemuan, bertemunya masalah-masalah yang ada pada satu titik waktu secara serentak.
Pertemuan berbagai masalah tidak saja menambah besar beban yang harus dipikul, tetapi juga akan menurunkan kemampuan kita mengatasinya. Oleh sebab itulah, kita sangat memerlukan hadirnya kejernihan pikiran dan suatu kapasitas orkestrasi publik sebagai satu kesatuan.
Pilkada
Ketika diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial, atau dikendalikannya pergerakan warga, respons "keberatan" muncul dari sudut ekonomi. Mengapa? Sebabnya karena pembatasan aktivitas sosial, dalam batas tertentu, sama artinya dengan pembatasan gerak ekonomi. Menurunnya angka kunjungan ke pusat-pusat belanja, kuliner dan hiburan, merupakan pukulan keras bagi seluruh pergerakan ekonomi. Apakah dunia ekonomi tidak memahami keadaan?
Tentu saja tidak demikian sederhana. Kita yakin bahwa mereka yang menggerakkan sektor ekonomi sangat memahami keadaan, karena ekonomi tidak mungkin akan tumbuh manakala masyarakat dalam keadaan sakit. Apa yang digambarkan sebagai respons keberatan sesungguhnya bukan pertama-tama tentang pembatasan itu sendiri, melainkan tentang kepastian. Dunia usaha membutuhkan kepastian, kapan pandemi berakhir, atau secara terbatas, berapa lama persisnya pembatasan akan diberlakukan.
Jika boleh disederhanakan, maka inti pertanyaan adalah tentang kejelasan langkah yang hendak diambil dalam menghadapi pandemi.Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kejelasan? Pertama, tentang apa yang akan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, publik membutuhkan kata terang atas langkah-langkah yang hendak dilakukan, dan bagaimana langkah tersebut diselenggarakan. Hal ini penting, agar:
(1) Publik segera dapat mengatur diri, dan dengan demikian, juga punya kejelasan tentang apa yang harus dilakukan oleh publik, untuk dapat mendukung kebijakan yang diambil.
(2) Publik dapat menjadi bagian dari sistem monitoring, sehingga langkah yang sedang dijalankan untuk mengakhiri pandemi, sepenuhnya ada dalam pengawasan publik.
Kedua, tentang bagaimana respon kebijakan terhadap perkembangan, baik berupa kebutuhan dalam regularitas kehidupan bernegara, ataupun munculnya keadaan yang tidak diinginkan. Artinya, publik akan mendapatkan gambaran tentang tindakan apa yang dilakukan, keadaan yang dapat mengganggu pelaksanaan pembatasan sosial. Atau dapat dikatakan bahwa publik akan dapat memberikan pemantauan konsistensi kebijakan.
Oleh karena itulah, kita menyaksikan munculnya perdebatan publik, tatkala pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) tidak ditunda, dan tetap akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Apa yang menjadi pokok keberatan publik? Kita menduga: (1) Pelaksanaan Pilkada dipandang akan menjadi kluster tersendiri, mengingat potensinya untuk menjadi pusat penyebaran virus.
Apakah pandangan ini sekedar suatu pandangan yang asal berbeda ataukah pandangan ini didasarkan kepada pertimbangan objektif? Tentu saja kita mengetahui bahwa arena politik, sebagaimana arena ekonomi, merupakan arena yang sepenuhnya mengandalkan aktivitas publik dan interaksi warga. Sangat sulit membayangkan kegiatan politik yang tidak memuat pengumpulan massa di dalamnya, meskipun dari segi metode telah dimungkinkan pertemuan tanpa perjumpaan fisik.
Namun, dalam praktik sangat sulit. Bahkan beberapa kampanye telah memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa pengumpulan massa yang mengabaikan protokol kesehatan telah terjadi. Artinya, keberatan atas tidak ditundanya pelaksanaan Pilkada merupakan keberatan dengan alasan objektif terkait dengan potensinya menjadi penghasil pusat-pusat baru penyebaran virus.
(2) Dilaksanakannya Pilkada menimbulkan ketidakpastian kebijakan, karena kegiatan sosial dan ekonomi dibatasi sementara kegiatan politik diizinkan. Publik tentu masih berharap masih ada perubahan kebijakan, meskipun diketahui harapan tersebut sangat kecil. Jika memang Pilkada tetap akan dilaksanakan, maka sangat dibutuhkan langkah tertentu agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Langkah yang dimaksud adalah:
(i) memberikan peringatan tegas kepada para peserta dan seluruh jajarannya, agar benar-benar berdisiplin menjalankan protokol kesehatan. Alih-alih menjadi kluster penyebaran virus, Pilkada hendaknya dapat menjadi kluster-kluster pembentuk kesadaran publik tentang pentingnya penerapan protocol kesehatan, sebagai jalan cepat untuk mengakhiri pandemi.
(ii) melakukan sosialisasi dengan pendekatan edukasi, yang diselenggarakan secara masif. Petugas pemilu tidak saja melakukan sosialisasi penyelenggaraan Pilkada, namun menjadi agenda edukasi publik. Secara demikian, kita harapkan petugas di tingkat TPS menjadi ujung tombak edukasi publik terkait dengan upaya kita bersama mengakhiri Pilkada.
(iii) diadakannya semacam evaluasi publik, atau proses dimana seluruh stakeholder memeriksa tingkat pertumbuhan kasus di lokasi mereka untuk secara bersama-sama melihat apa dampak masa kampanye terhadap penyebaran virus. Dengan demikian, seluruh elemen akan terpanggil untuk menjadi bagian terdepan dalam mengatasi pandemi.
Bencana
Hal yang tidak diinginkan dan akan punya dampak pada kehidupan publik adalah peristiwa alam yang menimbulkan bencana. Belum lama ini, pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, ada sejumlah daerah yang berpotensi mengalami banjir dari November 2020 hingga Januari 2021. Hal ini disebabkan meningkatnya curah hujan yang dipicu puncak iklim global La Nina.
Peningkatan curah hujan, tidak hanya mengakibatkan banjir di beberapa daerah, tetapi juga tanah longsor dan berbagai akibat yang dapat ditimbulkannya, terutama dampaknya pada sektor pertanian. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa La Nina pada satu sisi berpotensi menimbulkan bencana banjir, dan di sisi lain dapat mengakibatkan penurunan pasokan pangan akibat gagal panen.
Kita ketahui bahwa tidak semua peristiwa alam dapat menimbulkan bencana. Masalahnya bukan terletak pada peristiwa alam tersebut, melainkan pada tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Secara sederhana hendak dikatakan jika terdapat kesiapan, maka risiko dapat lebih "terkendali".
Suatu kesiapan kita bayangkan sebagai kemampuan: (1) memanfaatkan pengetahuan, baik dalam kerangka mendeteksi risiko maupun dalam penanganan; (2) memperkuat peringatan dini; (3) mengurangi faktor penyebab; (4) mengurangi risiko; dan (5) meningkatkan kesadaran publik.
Dalam situasi pandemi tentu akan terbuka peluang dimana langkah meningkatkan kesiapan publik dalam menghadapi peristiwa alam yang dapat menimbulkan bencana, tidak menjadi prioritas. Ketika bencana terjadi, dan segala sesuatu yang dibutuhkan tidak disiapkan dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan, bencana alam dapat menjadi kluster-kluster baru, terutama lokasi pengungsian korban bencana. Tanpa penanganan yang baik, bencana dan pandemi akan semakin memperberat beban publik. Pandemi memperlemah kesiapan, dan bencana dapat meningkatkan keparahan penyebaran virus.
Penutup
Dari ketiga masalah tersebut, dapat dikatakan regularitas aktivitas kenegaraan (Pilkada) dan gerak alam (La Nina) akan berpotensi mengganggu penanganan pandemi, demikian sebaliknya. Hal yang sangat harus dihindari adalah keadaan dimana pertemuan ketiga peristiwa tersebut justru menjadi masalah baru yang memperpanjang masa penanganan pandemi, dan dengan demikian akan memperluas dampak yang bakal ditimbulkannya.
Pada titik inilah kita mengharapkan hadirnya suatu pendekatan baru dalam penanganan pandemi, yakni suatu pendekatan yang didasarkan pada pengetahuan holistik, baik menyangkut keadaan sosial, ekonomi, negara, dan alam. Pengetahuan holistik itu pula yang diharapkan dapat menghasilkan suatu jenis kesanggupan yang secara organik meletakkan seluruh persoalan dalam sebuah kerangka besar penyelamatan bangsa.
Apabila hal tersebut tidak dapat diselenggarakan, maka regularitas penyelenggaraan negara, aktivitas sosial-ekonomi, dan ragam peristiwa alam, serta pandemi akan berubah menjadi satu persoalan baru yang mengancam kehidupan bangsa. Kita yakin, semua masalah dapat diatasi dengan baik seturut jalan penyelamatan bangsa, sehingga matahari esok tetap bersinar cerah membawa harapan baru.
Sudirman Said Ketua Institut Harkat Negeri
(mmu/mmu)