Data Landscape COVID Vaccine WHO 29 Oktober 2020 (yang biasa diperbarui setiap 2 minggu) menyampaikan bahwa ada 201 kandidat vaksin COVID-19 yang sekarang sedang dalam tahap penelitian di dunia. Rinciannya adalah 156 kandidat vaksin masih dalam tahap uji pre-klinik, artinya masih di laboratorium dan binatang percobaan, serta 45 kandidat vaksin yang sudah dalam uji klinik pada manusia dengan 10 di antaranya sudah masuk fase tiga.
Kita tahu bahwa kalau sudah selesai fase tiga dengan hasil baik, maka vaksin itu akan dapat di produksi dan didistribusikan, tentu sesudah melewati prosedur regulasi yang ada. Para pakar dan tokoh organisasi internasional tampaknya sepakat bahwa dalam waktu tidak terlalu lama setidaknya sebagian dari 10 vaksin yang sudah di tahap uji fase tiga akan tersedia di dunia untuk pengendalian COVID-19.
Masalahnya tentu kita sekarang belum tahu persis kandidat mana yang akan berhasil cukup baik dan bagaimana rinciannya: spesifikasi keamanan, efektivitas, dan lama proteksinya masing-masing. Data lengkap akan ada kalau laporan uji klinik fase tiga sudah disajikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efektivitas dan Lama Kerja
Faktor keamanan vaksin tentu tidak dapat dikompromikan. Vaksin yang tidak diyakini aman atau tidak, maka tidak akan disetujui untuk diedarkan. Agak berbeda halnya dengan efektivitas dan lama proteksi yang dihasilkan. Beberapa otoritas regulasi obat dan vaksin di dunia sudah mengisyaratkan bahwa mereka tampaknya akan menyetujui izin edar vaksin COVID-19 yang efektivitasnya sekitar 50% saja.
Di sisi lain, beberapa pakar memang mengharapkan akan ada vaksin yang efektivitasnya, katakanlah, sekitar 70%. Walaupun kita masih harus menunggu hasil uji klinik yang masih berjalan tapi nampaknya memang efektifitas sekitar 50% akan jadi patokan untuk vaksin baru nanti dapar beredar, dengan sedikitnya tiga alasan.
Pertama, ini adalah situasi public health emergency, kedaruratan kesehatan masyarakat yang betul-betul memporak-porandakan berbagai segi kehidupan dunia, jadi memang perlu tersedianya vaksin untuk menolong situasi dunia. Alasan kedua adalah adanya vaksin yang hanya 50% efektif akan jauh lebih baik dari situasi sekarang yang memang tidak/belum ada vaksin sama sekali, masih zero effective.
Alasan ketiga, walaupun hanya sekitar 50% orang yang divaksin yang akan terlindungi dan tidak jatuh sakit, tapi pada 50% orang lainnya yang tetap akan sakit, maka diharapkan sakitnya tidaklah terlalu berat dan tidak akan terlalu membebani pelayanan kesehatan di rumah sakit dan/atau ICU. Vaksin flu misalnya juga demikian, tidak melindungi 100% tapi mereka yang sudah divaksin setidaknya tidak mendapat flu yang berat.
Tentang lama kerja proteksi vaksin baru memang agak lebih sulit masalahnya, dan kita perlu menunggu hasil uji klinik. Data yang ada sekarang adalah bahwa memang ada re-infeksi. Artinya, mereka yang sudah pernah sakit COVID-19 --yang artinya dalam tubuhnya sudah ada antibodi spesifik untuk COVID-19-- ternyata dalam beberapa bulan sesudahnya lalu ternyata jatuh sakit COVID-19 lagi, artinya antibodinya tidak bertahan lama, disebut sebagai short lived.
Bila dihubungkan dengan kemungkinan proteksi vaksin, setidaknya ada dua hal yang dapat jadi pertimbangan. Pertama, memang kasus re-infeksi sejauh ini tidaklah banyak di dunia; yang dilaporkan jumlahnya masih terbatas, sehingga masih diharapkan memang ada peran antibodi alamiah akibat pernah tertular.
Kedua, pemberian vaksin tentu berbeda dengan kekebalan akibat pernah sakit. Produsen vaksin dapat membuat komponen yang amat spesifik yang dapat memicu terbentuknya anti bodi secara lebih baik lagi dan memberi kekebalan lebih baik daripada akibat jatuh sakit.
Fase Tiga dan Emergency
Dalam pertimbangan memilih vaksin mana yang akan dipilih, perlu dikuasai kompleksitas uji vaksin yang ada. Uji klinik fase tiga biasa dilakukan secara multi-senter, dan bahkan di beberapa negara sekaligus. Karena sifatnya multi-senter dalam satu protokol penelitian, maka kesimpulan akhir hasil uji klinik akan berupa kompilasi hasil uji di berbagai senter, di berbagai negara.
Hasil di satu senter tampaknya tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri kalau memang dalam protokol besarnya disebut sebagai bagian dari penelitian multi-senter. Karena itu, kalau akan memilih vaksin tertentu maka seyogianya perlu berdasar dari hasil akhir yang akan dikeluarkan oleh produsen vaksin berdasar hasil uji mereka di berbagai negara.
Dalam keadaan emergency seperti sekarang, suatu negara memang dapat juga mengeluarkan emergency use of authorization (EUA). Pihak otoritas pemberi izin tentu akan sangat berhati-hati dalam memberikan EUA ini, yang biasanya dibuat berdasar hasil sementara (interim result) dari uji klinik fase tiga.
Tulisan ilmiah di jurnal kesehatan internasional New England Journal of Medicine pertengahan Oktober 2020 membahas cukup rinci proses EUA ini. Disebutkan bahwa kalau dilihat dari sudut jaminan keamanan vaksin, maka diperlukan waktu evaluasi minimal median dua bulan; artinya setidaknya separuh peserta uji klinik fase tiga sudah selesai divaksin dan lalu dimonitor selama dua bulan. Dalam waktu dua bulan ini akan dapat diidentifikasi efek samping yang mungkin terjadi karena biasanya akan mulai terjadi enam minggu sesudah divaksin.
Sementara itu, dari sudut efektivitas, evaluasi dua bulan juga merupakan syarat minimal. Jumlah antibodi yang terbentuk akibat divaksin (namanya Imunoglobulin M dan G, atau IgM dan IgG) biasanya akan mencapai puncaknya pada sekitar dua sampai empat minggu sesudah selesai divaksin, dan setelah itu mungkin mulai menurun.
Walaupun waktu dua bulan mungkin memang tidak ideal untuk tahu apakah penurunan antibodi ini akan jadi terlalu rendah atau tidak, tapi setidaknya kita akan dapat data tentang kemungkinan penurunan proteksi antibodi yang mungkin mulai menurun dalam dua bulan pengamatan ini. Tegasnya, evaluasi media dua bulan memang merupakan waktu minimal untuk menilai keamanan dan efektivitas vaksin bila ingin mengeluarkan EUA.
Sekali perlu diingatkan bahwa setelah selesai uji klinik fase tiga, maka efektivitas dan keamanan vaksin harus terus diamati kalau sudah diedarkan luas di dunia. Hal ini adalah kegiatan Post Marketing Surveillance yang boleh dikatakan sama pentingnya dengan uji klinik fase satu sampai fase tiga yang sudah dilakukan.
WHO
Sementara pihak juga ingin tahu tentang bagaimana proses di WHO untuk menilai vaksin COVID-19 yang akan ada nantinya, dan mungkin akan menggunakan rekomendasi WHO untuk salah satu dasar keputusan penggunaan vaksin di suatu negara.
Untuk menilai suatu vaksin, WHO dibantu oleh pakar internasional yang tergabung dalam Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) on Immunization. SAGE akan menilai semua kandidat vaksin yang ada di dunia dan kemudian memberi rekomendasinya. Hasil pertemuan terakhir SAGE pada 7 Oktober yang lalu menyatakan (sengaja disampaikan aslinya dalam Bahasa Inggris) bahwa "The SAGE consensus is that currently available evidence is too limited to allow any recommendations for use of any specific vaccine against COVID-19 at this time."
Perlu diketahui juga bahwa WHO di awal Oktober juga sudah mengeluarkan dokumen tentang bagaimana kalau produsen vaksin mau mendaftarkan vaksinnya untuk dievaluasi agar mendapat pre-kualifikasi (Prequalification-PQ) dan/atau emergency use of listing (EUL) WHO. Dokumen bernama "First Invitation to manufacturers of vaccines against Covid-19 to submit an Expression of Interest (EOI) for evaluation by the WHO (Prequalification and/or EUL)" ini di satu sisi akan jadi panduan bagi produsen vaksin.
Di sisi lain, negara dapat juga mencari informasi tentang produsen vaksin mana yang akan/sudah memasukkan Expression of Interest (EOI) ke WHO dan lalu bagaimana hasil keputusan WHO dalam hal ini, untuk menjadi salah satu pertimbangan negara tersebut mengambil keputusan pemilihan vaksin untuk negaranya masing-masing.
Seperti sudah beberapa kali disampaikan, protokol kesehatan masih harus terus kita lakukan walaupun nanti vaksin mulai ada di fase awalnya. Perkembangan hasil vaksinasi masyarakat dunia masih perlu terus diamati untuk melihat bagaimana dampaknya pada perkembangan pandemi COVID-19.
Prof Tjandra Yoga Aditama Guru Besar Paru FKUI, mantan Direktur WHO SEARO dan mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
(mmu/mmu)