Pada akhir September 2020, saya membaca tulisan Dahlan Iskan di sebuah surat kabar pagi. Gaya tulisan dan gelitikannya yang khas dalam mengulas topik-topik yang up to date, membuat saya selalu menjadikannya bacaan pertama ketika menyentuh koran itu. Di tulisan itu, Dahlan Iskan mengulas tentang resesi ekonomi yang dialami Indonesia saat ini. Yang diperparah oleh kondisi corona. Jadi, resesi ekonomi sudah terjadi, dan ditambah lagi efek corona. Ibaratnya, tercebur ke jurang yang semakin dalam.
Dahlan Iskan menulis, saat ini sektor ekonomi yang masih bertahan hanya ada dua. Yakni government sector dan sektor pertanian. Sektor yang pertama, perlu telaah lebih jauh dalam mengukur sejauh mana kekuatannya saat ini dan seberapa lama masih bisa bertahan. Yang menarik adalah sektor kedua. Pertanian dianggap sebagai salah satu bidang penyangga perekonomian Indonesia yang masih bisa bertahan di tengah badai corona.
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Dahlan Iskan. Nyatanya, kehidupan ekonomi para petani masih tetap bisa bertahan dan menyuplai pangan masyarakat. Soal skala besar atau kecil, itu soal lain. Yang jelas, saya masih melihat mobil-mobil colt bak memuat hasil pertanian dan membawanya ke pasar tradisional untuk kemudian diperjualbelikan di sana. Terjadi transaksi.
Sayangnya, kesepakatan itu kini tercederai oleh fakta di lapangan. Sehingga memunculkan tanya, masihkah sektor pertanian bisa bertahan di tengah badai corona ini? Apa pasal? Baiklah, saya coba uraikan lebih jauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Profesi saya di KTP memang dosen, tetapi saya juga sebenarnya adalah petani. Karena saya mempunyai sebidang tanah warisan orang tua yang biasa ditanami jagung (pipil) sebagai komoditas utamanya. Oleh sebab itu, saya merasakan sendiri kegelisahan para petani Indonesia pada umumnya dan para petani di daerah saya pada khususnya.
Mahalnya biaya produksi dan ketidakberdayaan petani dalam menentukan hasil jual pertaniannya, ini adalah masalah klise yang senantiasa dihadapi petani dalam keseharian aktivitasnya. Itu adalah "masalah biasa" yang seakan sudah menggurita dan petani tak punya daya bargaining bagi produknya. Semestinya peran pemerintah bermain dalam hal ini. Dan memang untuk inilah salah satu alasan pemerintah harus ada. Mengontrol, mengendalikan dan menetapkan standar harga pasar dan "berpihak" pada petani agar profesi petani tak terus menerus ditinggalkan oleh generasi mudanya (baca: petani bukan profesi yang menarik bagi kaum muda).
Namun, kenyataannya lagi, itu masih sebatas wacana negeri di awan. Kita masih bisa melihat petani tersenyum sumringah saat harga tomat Rp 7.000,-/kg namun bisa juga tersenyum getir saat tomat Rp 100,-/kg, atau bahkan tak laku, sehingga tomat "diawur-awur" di jalanan. Itu hanya sebuah ilustrasi saja. Kenyataanya bisa lebih parah dari itu. Namun apalah daya petani? Siapa yang masih bisa menahan jagungnya saat harga tengkulak hanya menerima Rp 2.800,-/kg padahal dengan Rp 3.000,-/kg pun dianggap tak bisa menutup biaya produksi? Tak banyak yang bisa menahan untuk tidak menjual hasil pertaniannya menunggu harga membaik, karena ya mereka butuh biaya untuk melanjutkan hidup.
Ini pula alasan kenapa petani di daerah saya lebih memilih untuk menanam jagung (pipil) di lahannya. Kenapa tidak padi misalnya? Ya, karena menanam jagung dianggap tak terlalu membutuhkan biaya produksi yang besar. Lain halnya dengan menanam padi yang butuh perawatan intensif dan notabene biaya produksi jatuhnya lebih besar. Itu adalah strategi sederhana petani agar bertahan hidup. Sayuran? Kadang-kadang saja dan hanya sebagian kecil saja yang menanam karena selain butuh perawatan intensif juga hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai akses air untuk lahannya. Bertanam sayur adalah masalah bagi sebagian besar petani yang lahannya tadah hujan.
Seorang profesor bidang pertanian, guru dan teman diskusi saya, dalam sebuah perbincangan berkata, sebenarnya dengan bertanam palawija, kalau mau dihitung-hitung, tak mendatangkan keuntungan yang signifikan. Istilahnya "plus-plos" kalau dihitung dari biaya produksi dan lain-lain. Bertanam sayuran dipandang lebih menguntungkan, dengan catatan, harus bisa bermain cantik dalam menentukan kapan saat yang tepat untuk menanam agar tak memperoleh harga jatuh saat panen. Benar. Itu salah satu masalah petani. Masalah lainnya, banyak.
Isu utama yang menggelisahkan petani saat ini adalah pupuk. Bulan-bulan belakangan ini saya banyak menangkap keluhan petani terkait pupuk yang langka, mahal dan bahkan menghilang di pasaran. Seorang petani yang sudah kadung menanam sayur berteriak, "Tanaman saya hanya dikasih air, air, dan air saja karena pupuk tak ada."
Di hari lain, seorang kepala desa mengatakan, sampai harus melobi-lobi bupati dan dinas pertanian kabupaten terkait masalah pupuk ini. Ia berkata, sampai harus "mengancam-ancam" akan menurunkan seluruh kelompok tani di kecamatannya untuk berdemo kalau pemerintah daerah tak segera menuntaskan kisruh ketersediaan pupuk bagi petani. Apalagi musim tanam akan segera dimulai. Luar biasa sekali kondisi yang dialami petani ini.
Mereka berkata, dulu saat kita terbiasa menanam dengan pupuk kompos/kandang, kita disuruh-suruh pemerintah memakai pupuk urea, NPK, dan lain-lain. Kini, giliran tanah kita tak lagi mau menerima pupuk kompos/kandang, pupuk langka. (baca:butuh proses untuk kembali ke pupuk kompos/kandang karena kesuburan tanah terlanjur berkurang akibat sudah terbiasa memakai pupuk kimia).
Belum kita bicara bibit. Beli sendiri di toko, mahal. Bibit bantuan pemerintah, susah diperoleh. Terkadang ada oknum yang memperjualbelikan bibit bantuan pemerintah ini, kendati di labelnya jelas tertulis, "Bibit bantuan pemerintah. Dilarang diperjualbelikan."
Terkadang datangnya pun telat. Petani sudah menanam dengan "ngutang" bibit mahal ke tengkulak, bibit bantuan baru tiba. Disimpan untuk musim mendatang, hasilnya tak terlalu bagus. Terkadang bibit yang datang tak cocok pula dengan situasi dan kondisi di lapangan. Jumlah bibit bantuan pun tak sesuai dengan yang dibutuhkan. Kurang. Serba salah.
Kini, beberapa hari belakangan, pupuk datang. Dengan memakai kartu Tani. Sebagian petani mengeluh, kartu Taninya hilang akibat kelamaan tak kunjung dipakai, teronggok dianggap tak berguna, untuk kemudian hilang, lupa menaruhnya di mana. Bagaimana nasib kami? Instruksi pak Direktur pupuk di Kementerian, petani boleh mendapat pupuk tanpa kartu Tani. Tapi nyatanya, petani harus membeli dengan harga mahal. Duh, dilema lagi.
Pupuk datang. Antrian petani panjang. Karena yang datang stoknya terbatas, mereka harus berebutan. Dengan perolehan pupuk tak sesuai dengan banyak lahan garapan. Kurang. Sebagian petani gigit jari. Berharap esok hari pupuk datang lagi. Meski tak pasti.
Kembali ke soal tulisan Dahlan Iskan. Mari berharap sektor pertanian memang penyangga perekonomian nasional. Bukankah kita diajari sejak SD, bahwa Indonesia adalah negara pertanian? Pemerintah, fokuslah ke upaya bagaimana memperkuat sektor pertanian ini, dengan membenahi seluruh komponen-komponennya, dari hulu hingga hilir, dari bibit, pupuk hingga kestabilan harga jual. Agar petani bukan "petani cukul daki'*), tapi petani yang makmur dan menjadi soko guru pelaku menggeliatnya perekonomian bangsa.
Apresiasi setinggi-tingginya saya tujukan untuk fakultas pertanian di perguruan tinggi tempat saya bekerja. Akreditasinya yang A, akselerasi aktivitas kampusnya yang luar biasa, banyak mendatangkan narasumber berkompeten dari dalam dan luar negeri, sungguh merupakan vitamin yang sangat berharga untuk menciptakan mahasiswa-mahasiwa unggul di bidang pertanian. Saya berharap banyak pada fakultas ini. Tiap kali bertemu mahasiswa fakultas pertanian, misal di acara Bazar yang memamerkan teknologi bertani, hasil pertanian dan olahannya di lapangan kampus, atau di kesempatan lain, saya selalu berkata, jadilah "petani" yang luar biasa, istiqomahlah, jangan bekerja di bidang lain seperti di bank misalnya. Majukan pertanian di Indonesia, karena saya sedih kalau melihat asam jawa yang di kemasannya tertulis "Diimport dari Thailand."
Titin Kustini, M.Pd. Dosen Universitas Majalengka
(gbr/gbr)