"Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa" secara kasat mata merupakan kalimat yang biasa-biasa aja, tetapi sebagai sebuah peristiwa dari tonggak sejarah bangsa Indonesia memuat sebuah refleksi yang amat dalam tentang bagaimana pemuda pada saat itu. Mereka harus merelakan identitas kesukuan dan agamanya yang sudah terpatri sejak lahir, kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai "orang Indonesia".
Tidak hanya dengan modal merelakan identitas asalnya, lebih dari itu modal wawasan kebangsaan yang kuat, yang mereka dapatkan dari proses pendidikan dan berbagai literasi tentang konsepsi Islam, Barat, dan kultur lokal Indonesia sendiri, menjadi hal yang penting untuk kita refleksikan pada peringatan Sumpah Pemuda di tahun 2020 ini.
Artinya, modal kapasitas juga menjadi hal yang tak boleh dilepaskan dalam sejarah lahirnya sumpah pemuda. Dalam konteks Indonesia hari ini, refleksi kapasitas pemuda pada Hari Sumpah Pemuda yang ke-92 ini harus menjadi satu tema yang harus diangkat ke permukaan.
Maka dari itu, sangatlah relevan jika ada pertanyaan, "Apakah pemuda hari ini juga mempunyai pemahaman yang selevel dengan pemuda zaman dulu dalam hal wawasan kebangsaan"?
Bagi saya, seharusnya lebih dalam dan tajam pemahaman kebangsaannya, mengingat pemuda hari ini sudah dipersenjatai media alternatif yang bisa diakses dengan begitu mudahnya; buku-buku bacaan yang dulu mungkin sangat terbatas, hari ini sudah bisa dibaca dalam bentuk e-book di mana dan kapan pun lewat smartphone.
Mirisnya, dengan berbagai kemudahan tersebut tidak bisa menaikkan angka minat baca di Indonesia. Data UNESCO menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Keadaan ini sungguh sangat distorsif dengan keberadaan penduduk Indonesia yang hampir 60 juta masyarakatnya memiliki gadget. Bahkan, pada 2018 lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika.
Ironisnya lagi, meski minat baca buku rendah, tapi data We Are Social per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke-5 dunia.
Keadaan ini menjadi tugas besar yang harus diselesaikan oleh pemuda hari ini; bagaimana kecerewetannya di media sosial tentang banyak hal mampu memberikan pengetahuan yang dalam dan kritis, tidak hanya narasi-narasi yang cenderung memecah belah kehidupan bangsa.
Melihat fenomena yang mencemaskan yang sedang melanda pemuda hari ini, maka di berbagai kesempatan mengisi acara di organisasi kepemudaan, saya selalu sampaikan bahwa hari ini, mayoritas pemuda yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan kurang sadar literasi, baik literasi baca-tulis, maupun membaca isu-isu faktual.
Sindrom lemahnya baca-tulis yang sedang dialami pemuda hari ini mengakibatkan ketumpulan daya nalar pemuda terhadap berbagai wacana kebangsaan. Dan ini bisa dilihat dari berbagai diskursus yang sering dibicarakan oleh pemuda --cenderung itu-itu saja.
Narasi-narasi yang digaungkan masih cenderung sesuatu hal yang mainstream dan hanya sebatas informasi yang kering dengan solusi dan analisis. Sehingga tidak ada hal yang segar dan mampu dinikmati oleh khalayak umum, baik tulisannya yang berserakan di media sosial, atau pembicaraannya di ruang-ruang publik.
Di samping minimnya semangat literasi baca-tulis, pemuda hari ini juga mengalami penurunan terhadap literasi faktual, sehingga tak jarang pada isu-isu yang sangat penting dan membutuhkan pembacaan kritisnya, terpaksa absen dan ditinggalkan.
Bagi saya, literasi faktual sangat penting untuk dikuasi oleh pemuda hari ini, dalam rangka mengasah sensitivitas terhadap situasi sosial dan politik yang ada. Paling tidak, dampak dari adanya literasi faktual ini, pemuda mampu memetakan gagasan pentingnya dalam menyelesaikan permasalahan di republik ini, seperti isu kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya.
Pentingnya kesadaran literasi baca-tulis dan literasi faktual bagi pemuda bukan tanpa alasan, melainkan didasarkan pada rentang usia perkembangan kognitif yang sudah memasuki tahap formal operasional, dengan ditandai dengan proses berpikirnya semakin logis dan tidak lagi tergantung pada hal-hal yang langsung dan nyata saja. Artinya, ia dapat membayangkan dan menganalisis sesuatu secara abstrak tanpa pertolongan benda atau kejadian konkret (Jean Piaget:2011).
Pada fase ini jika tidak ditopang dengan kemampuan dua literasi tersebut, maka jangan harap literasi digitalnya akan baik-baik saja, yang ada hanyalah menjadi broker di media sosial yang selalu melemparkan satu wacana yang tak bernas, dan cenderung meresahkan orang lain.
Pertimbangan lainnya adalah adanya bonus demografi di Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi ilustrasi soal banyaknya angkatan kerja produktif. Lebih dari itu, mampu dimaknai sebagai betapa luar biasanya sumber daya manusia di negeri ini yang akan menegaskan kembali komitmen pada Tanah Air Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan bahasa persatuan bahasa Indonesia, baik kini maupun di masa depan dengan cara yang lebih yang lebih elegan dan argumentatif.
"Menjadi Indonesia" tak cukup dengan kata-kata yang berakhir dengan wacana yang sering berkelindan di dinding-dinding media sosial, namun gagasannya jauh dari solusi dan cenderung bullying. Tetapi perlu adanya kesadaran literasi yang kuat dan pemahaman kebangsaan yang komprehensif bagi pemuda hari ini dan yang akan datang.
M. Hasanudin Wahid Sekjend DPP Partai Kebangkitan Bangsa
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini