Sementara menurut Parkin (2012), kebijakan fiskal adalah penggunaan anggaran negara untuk mencapai beberapa tujuan ekonomi makro, seperti kesempatan kerja penuh, pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan, dan stabilitas tingkat harga. Dari beberapa definisi mengenai kebijakan fiskal dari para ahli, dapat diketahui beberapa aspek penting yang lazimnya harus ada dalam sebuah kebijakan fiskal, yaitu: 1) mobilisasi sumber daya; 2) akselerasi pertumbuhan ekonomi; 3) peningkatan kesempatan kerja; 4) minimalisasi ketimpangan; dan 5) stabilitas harga.
Jika diperhatikan, dalam definisi kebijakan fiskal tersebut terkandung tugas-tugas dan fungsi yang sudah semestinya dilakukan oleh sebuah negara (pemerintahan) dengan rakyat sebagai target utama kebijakan tersebut. Dengan demikian kebijakan fiskal merupakan instrumen penting bagi sebagian besar negara di dunia untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Mayoritas negara, baik itu negara maju maupun sedang berkembang, lima aspek kebijakan fiskal tersebut di atas telah menjadi tugas rutin dengan fokus perhatian yang berbeda-beda sesuai kondisi negara tersebut.
Di negara maju yang ekonomi dan sistem administrasinya telah mapan, kebijakan fiskal menjadi instrumen utama untuk memobilisasi sumber daya dan peningkatan kesempatan kerja. Di kelompok negara ini, pertumbuhan ekonomi umumnya sudah stagnan (mature), ketimpangan pendapatan sudah dapat diatasi, dan gejolak harga hampir tidak ada. Sedangkan di kelompok negara berkembang atau miskin, kebijakan fiskal masih berkutat pada instrument untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan mengatasi gejolak harga-harga sebagai prioritasnya.
Umumnya, sumber paling dominan untuk mendanai berbagai program maupun proyek implementasi kebijakan fiskal adalah anggaran negara (APBN). Bahkan bisa dikatakan APBN adalah motor utama penggerak kebijakan fiskal. Tanpa APBN, negara tidak bisa berbuat banyak untuk mencapai tujuan-tujuan di bidang fiskal. Semakin besar anggaran, akan semakin besar kemampuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan-kebijakan fiskalnya.
Istilah kebijakan fiskal dimunculkan untuk membedakannya dengan istilah kebijakan moneter. Keduanya merupakan duo kebijakan negara yang berjalan secara paralel (simultan) karena masing-masing memiliki domain atau wilayah pengaturan yang berbeda. Kebijakan moneter memiliki ranah pengaturan terkait dengan sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi makro suatu negara. Variable-variabel ekonomi yang menjadi perhatian kebijakan ini umumnya adalah jumlah uang beredar, nilai tukar mata uang domestik, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, lalu lintas devisa, serta pengawasan industri perbankan.
Sementara di luar variable-variabel tersebut umumnya menjadi domain kebijakan fiskal. Jika kebijakan fiskal berporos pada anggaran negara yang dikelola oleh pemerintah, maka kebijakan moneter sangat bertumpu pada devisa negara dan dana masyarakat yang berada dalam sistem keuangan. Pengampu kebijakan moneter dalam praktiknya dijalankan oleh bank sentral.
Selanjutnya tulisan ini akan membahas praktik kebijakan fiskal yang diterapkan di Indonesia, terutama selama masa pandemi Covid-19 ini. Karena virus ini menyebar dengan cepat dari manusia ke manusia, maka sudah tentu keselamatan jiwa manusia adalah hal yang terpenting. Oleh karena itu, pemerintah merespons keadaan ini dengan menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB); aktivitas pertemuan antara warga menjadi dibatasi.
Akibatnya, intensitas transaksi dan interaksi anta warga pun menjadi sangat berkurang. Imbasnya sudah barang tentu ke sisi perekonomian warga. Awalnya efek anjloknya kehidupan ekonomi warga dirasakan secara lokal setempat. Namun, lambat laun dampak negatif pandemi mulai menjalar ke perekonomian nasional. Jika tidak cepat diambil langkah-langkah pemulihan yang sangat drastis oleh pemerintah, boleh jadi negeri kita dapat mengulang kembali kejadian krisis ekonomi yang pernah mendera lebih dari dua dekade lalu. Bahkan potensi krisis saat ini justru bisa lebih parah ketimbang tahun 1997 karena sudah menyangkut keselamatan jiwa manusia (kesehatan).
Pemerintah memandang bahwa penyebaran pandemi Covid-19 dapat memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) di bidang keuangan negara, termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, serta sektor keuangan.
Tak perlu menunggu lama, pada 31 Maret pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, (selanjutnya disebut Perppu 1/2020). Perppu tersebut langsung berlaku pada saat diterbitkan.
Maksud dari Perppu 1/2020 adalah untuk mengatur sekaligus memberikan landasan hukum yang cukup bagi tindakan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak dalam rangka penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19 dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan dunia usaha yang terdampak.
Pemerintah memiliki parameter bahwa jika diperkirakan penurunan pertumbuhan ekonomi mencapai 4 persen atau lebih rendah, tergantung pada seberapa lama dan parah penyebaran pandemi Covid-l9 mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan rakyat dan aktivitas ekonomi, maka sudah saatnya diambil langkah-langkah luar biasa guna menyelamatkan keuangan negara dan sistem keuangan.
Menurut pemerintah, terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur APBN Tahun Anggaran 2020, baik sisi pendapatan negara, sisi belanja negara, maupun sisi pembiayaan. Kurang dari dua bulan sejak Perppu 1/2020 berlaku, pemerintah bersama DPR sepakat untuk mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mulai berlaku 18 Mei 2020. Dengan peningkatan status dari Perppu menjadi UU, tentu upaya pemerintah melakukan penyelamatan keuangan negara dan sistem keuangan menjadi semakin mudah sebab telah memperoleh dukungan politik yang kuat dari parlemen.
UU Nomor 2 Tahun 2020 sebenarnya berisi dua domain kebijakan di bidang ekonomi sekaligus, yaitu kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini menunjukkan bahwa telah ada sinergi dan koordinasi yang baik antara otoritas fiskal dan otoritas moneter di Tanah Air. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa pandemi Covid-19 berpotensi mengancam perekonomian negara sehingga harus dihadapi bersama-sama dan saling dukung antarsatu kebijakan dengan kebijakan lainnya.
Kebijakan fiskal menyangkut bidang keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU tersebut yang meliputi: kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Sedangkan kebijakan moneternya terkait dengan stabilitas sistem keuangan meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Di bidang fiskal, ada banyak kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan dengan payung hukum UU Nomor 2 Tahun 2020. Seluruh kebijakan tersebut difokuskan pada penanganan dampak pandemi Covid-19.
Di sektor keuangan negara, pemerintah dengan kewenangan di bidang anggaran dan pembiayaan antara lain: dapat menetapkan batas defisit anggaran menjadi lebih besar daripada yang berlaku saat situasi normal, menyesuaikan besaran belanja dan pergeseran anggaran agar lebih fleksibel, menerbitkan surat utang negara khusus penanganan Covid-19, menetapkan sumber-sumber pembiayaan anggaran, dan mengutamakan alokasi penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing).
Untuk kebijakan di bidang perpajakan, pemerintah dapat melakukan hal-hal: menyesuaikan tarif PPh badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, menetapkan perlakuan perpajakan dalam kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), memperpanjang waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, dan memberikan fasilitas kepabeanan dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Sesuai amanat UU, pemerintah diberikan tugas untuk melakukan upaya pemulihan ekonomi nasional. Tugas ini terimplementasi dalam bentuk penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2020 yang sekaligus menjadi dasar bagi pemerintah untuk menjalankan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
PP tersebut di antaranya mengatur bahwa pemerintah dapat melakukan program pemulihan ekonomi melalui pengalokasian belanja negara, yang salah satunya adalah dengan memberikan subsidi bunga bagi kelompok pelaku usaha ultra mikro, mikro, kecil dan menengah yang terdampak Covid-19 dan telah melakukan restrukturisasi kreditnya pada perbankan, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta perusahaan pembiayaan. Pembiayaan Program PEN dapat bersumber dari APBN dan/atau sumber lainnya.
Program PEN ini pada dasarnya bertujuan untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pada tataran manajemen pemerintahan, guna memastikan Program PEN berjalan sesuai dengan tujuannya, telah diatur prinsip pelaksanaan program PEN dalam PP 23/2020 yang terdiri atas: asas keadilan sosial, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, mendukung pelaku usaha, menerapkan kaidah-kaidah kebijakan yang penuh kehati-hatian, serta tata kelola yang baik, transparan, akseleratif, adil, dan akuntabel, tidak menimbulkan moral hazard, dan adanya pembagian risiko dan biaya (cost and risk sharing) antarpemangku kepentingan.
Diatur juga bahwa untuk kepentingan pertanggungjawaban, Menteri Keuangan melaporkan pelaksanaan Program PEN secara periodik kepada Presiden. Sedangkan untuk pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan Program PEN, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diberikan tugas untuk melakukan pengawasan internal terhadap pelaksanaan Program PEN sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Hingga saat ini pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun khusus untuk Program PEN. Ada enam program utama yang dibiayai oleh dana PEN, yaitu: kesehatan, perlindungan sosial, sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda, insentif usaha, dukungan UMKM, hingga pembiayaan korporasi.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam praktik penerapan kebijakan fiskal di Indonesia, peran anggaran (APBN) sangatlah dominan. Tak terbayangkan apabila tidak ada dukungan dana APBN, dapat dipastikan kebijakan fiskal akan lumpuh, alias tidak dapat diimplementasikan.
Dalam situasi penanganan dampak pandemi Covid-19 sekarang ini, di mana dapat dikatakan bahwa sektor ekonomi sedang sekarat, maka asupan yang paling bergizi meningkatkan daya beli masyarakat adalah melalui bantuan langsung tunai dan modal usaha rakyat. Lagi-lagi bantuan itu memerlukan fresh money yang mau tak mau sangat mengandalkan kas negara dari APBN. Jadi dapat disimpulkan bahwa peranan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan fiskal sangatlah penting.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini