Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak setiap orang yang dilindungi oleh konstitusi. Artinya, tidak ada yang boleh menghalangi hak itu. Sesama warga negara tidak boleh menghalangi, negara dengan aparatnya tidak boleh pula. Hanya saja sering kali orang salah memahami konsepnya. Yang berekspresi dan berpendapat sering salah, yang mendengarnya pun sering pula salah.
Ada banyak kasus di mana ekspresi atau ungkapan pendapat seseorang berujung pada kasus hukum. Selama periode pemerintahan Presiden Jokowi ini jumlah kasusnya terasa menonjol. Sejumlah orang masuk penjara karena berbagai ujarannya di media sosial. Yang paling mutakhir adalah kasus Sugi Nur yang kini ditahan polisi.
Pendapat adalah pikiran seseorang tentang sesuatu, tentang keadaan, orang, organisasi, keputusan, dan lain-lain. Bagian ini perlu digarisbawahi, bahwa pendapat itu bukan fakta. Sering kali orang berpendapat, tapi ia mengira bahwa yang dia ungkapkan itu adalah fakta. Demikian pula sebaliknya, sering orang mendengar pendapat, tapi memperlakukannya seolah itu fakta. Keduanya tidak tepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu panduan sederhana untuk memilah fakta dengan pendapat adalah dengan memakai takaran atau acuan. Kalau ada orang bicara bahwa "suhu udara di Jakarta saat ini adalah 35 derajat Celcius" ia sedang bicara soal fakta. Tapi kalau dia berkata bahwa "udara Jakarta saat ini panas" dia sedang berpendapat. "Suhu udara 35 derajat Celcius" adalah sesuatu yang akan diakui oleh siapa pun. Sedangkan soal panas atau tidak, orang akan berbeda pandangan. Orang yang berasal dari daerah dingin akan menganggap udara panas, tapi yang berasal dari daerah panas akan menganggapnya biasa saja.
Dalam kasus tadi, orang bebas berpendapat, apakah suhu udara saat ini panas atau biasa saja. Keduanya bisa dianggap benar. Tapi kalau ada yang mengatakan suhu udara sangat dingin, meskipun mengungkapkannya boleh saja, pendapat itu tidak bisa kita nilai sebagai pendapat yang benar.
Yang juga sangat penting, pendapat haruslah didasarkan pada fakta yang akurat. Dalam hal yang diungkapkan di atas, kedua pendapat soal suhu udara panas atau biasa saja, beranjak dari fakta bahwa "suhu udara 35 derajat Celcius". Kalau faktanya salah, maka nilai pendapat tadi jadi berbeda. Kalau ternyata suhu udara adalah 18 derajat, maka pendapat bahwa udara panas tadi tidak lagi sahih.
Kita bisa menguji pendapat-pendapat yang beredar untuk menilai patut atau tidaknya. Misalnya, orang berpendapat bahwa pemerintahan Jokowi ini korup. Itu pendapat bebas yang boleh saja diungkapkan. Hanya saja, kita perlu melihat, basis datanya apa. Kalau misalnya yang dipakai adalah Indeks Persepsi Korupsi, angka saat ini adalah 40. Apa makna angka itu? Masih korup. Negara yang lebih bersih seperti Singapura angkanya 85. Pendapat bahwa pemerintah sekarang ini korup punya dasar. Tentu saja akan lebih tepat bila ditambahkan bahwa indeks tadi mengalami kenaikan dibanding dengan rezim-rezim sebelumnya.
Kalau ada yang mengatakan bahwa Jokowi melakukan tindakan korupsi, dia tidak sedang berpendapat. Dia sedang mengungkapkan informasi. Pertanyaannya, apakah informasi itu benar atau tidak. Kalau benar, maka dia berhak mengungkapkannya. Tapi kalau tidak, dia maka dia sudah melakukan penyebaran informasi palsu. Penyebaran informasi palsu adalah tindakan melawan hukum, yang tidak bisa dilindungi dengan dalih kebebasan berpendapat.
Dalam soal omongan Nur Sugi yang menyebabkan dia kini berurusan dengan aparat penegak hukum, kalau dia mengatakan bahwa NU saat ini kacau atau bahkan rusak sekali pun, itu masih dalam ruang kebebasan berpendapat. Tapi kalau dia mengatakan bahwa "NU ditumpangi PKI" itu adalah tuduhan palsu, kalau ia tidak bisa membuktikannya.
Dua hal itu harus dipahami secara tegas, dan tetapkan posisi kita dengan tegas pula saat mengungkapkan sesuatu. Jangan sampai kita bermaksud berpendapat, tapi terpeleset jadi penyebar informasi palsu. Sebaliknya pula, kalau ada yang berpendapat secara sah, jangan ditanggapi dengan tuduhan fitnah. Dalam konteks Sugi Nur tadi, kalau dia hanya berkata bahwa "NU sekarang ini kacau dan rusak" itu adalah pendapat, yang tidak perlu jadi masalah hukum atau membuat orang marah. Kalau pendapat itu tidak didasari oleh fakta yang jelas, cukup anggap saja itu pendapat bodoh. Persis seperti pendapat orang yang mengatakan bahwa Jakarta sangat dingin di saat suhu udara 35 derajat Celcius.
Selain soal kandungan pendapat, cara mengungkapkannya pun ada aturannya. Yang dilindungi oleh konstitusi adalah pengungkapan pendapat. Perusakan fasilitas umum, tindak kekerasan, penyerangan terhadap aparat, bukan bagian dari kebebasan berpendapat. Demikian pula ajakan untuk menggulingkan pemerintah yang sah, itu bukan bagian dari kebebasan berpendapat. Kalau ada orang menyebar informasi palsu, tuduhan tanpa dasar, disertai ajakan untuk melakukan perusakan dan menyerang aparat, itu tidak patut lagi disebut berpendapat. Wajar saja kalau dikenai tindakan hukum.
Di negeri ini dua hal itu masih sering disalahpahami. Orang berpendapat sering dimusuhi, bahkan dikenai sanksi hukum. Aparat negara sering pula bertindak tidak berbasis pada prinsip melindungi kebebasan berpendapat. Sering orang dihukum karena mengungkapkan pendapat, karena banyak orang marah. Banyak orang marah itu tidak menjadikan kebebasan seseorang untuk berpendapat jadi hilang. Kalau tidak ada hukum yang dilanggar, tapi ada orang marah, masalahnya bukan pada orang yang berpendapat, tapi pada yang marah. Aparat sering menyerah di bawah tekanan banyak orang yang marah, lalu merampas kebebasan seseorang untuk berpendapat.
Sementara itu ada pula pihak-pihak yang terus menyebarkan informasi palsu, melakukan intimidasi, tapi tidak ditindak. Lagi-lagi karena aparat enggan berurusan dengan kerumunan orang. Ini sungguh keadaan yang tidak boleh dibiarkan.
(mmu/mmu)