"Nanti suamiku aku kasih makan apa ya, aku nggak pernah masak."
Demikian keluh seorang teman sebelum dia menikah setahun lalu. Selama hidup ia merasa memasak adalah sesuatu yang merepotkan. Bagaimana tidak, kini semua kebutuhan perut bisa didapat melalui genggaman tangan; tinggal pilih menu-menu yang disuka, order, tak sampai hitungan jam sudah tersedia. Bayangkan jika harus memasak, berapa jam yang dibutuhkan seorang amatir seperti dia, apalagi saya?
Tapi semua berubah selama pandemi. Tiba-tiba Instagram dan status media sosialnya dihiasi foto-foto makanan mulai dari menu makan dengan lauk-pauk lengkap, jajanan tradisional, sampai kudapan western. Dari yang takut tak bisa memasak buat suami, kini ia justru berjualan makanan. Saya pun takjub.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan dia bukan satu-satunya. Ada orang yang tak pernah bercocok tanam, kini bisa berkebun di rumahnya. Yang dulu hanya hobi bongkar-bongkar elektronik, kini mulai menawarkan service HP. Beberapa mulai membuat kanal Youtube dan membuat konten sehari-hari yang menarik, dan tentu masih banyak lagi yang lain. Saya sendiri akhirnya bisa menanam beberapa sayuran di pekarangan.
Hobi yang selama ini terpendam bisa tersalurkan. Keterampilan yang tak pernah terpikir mulai ditemukan sejak kita "di rumah saja". Kita lihat fenomena seperti ini ada di mana-mana. Bahkan mungkin Anda salah satunya.
Saya pun teringat perjalanan beberapa tokoh bangsa. Ada fase ketika mereka dirumahkan atau dirumahtahanankan. Bung Karno menelurkan karya fenomenalnya Indonesia Menggugat dari dalam penjara. Ada juga Hamka dengan karya tafsir Al Qurannya. Menurut saya yang mereka alami mirip seperti masyarakat saat ini.
Saya bukan sedang menyamakan peristiwa efek pandemi ini laiknya dalam penjara. Tapi memang keduanya memiliki persamaan, yaitu jeda. Jeda membuat kita sejenak mundur dari hiruk-pikuk kehidupan yang selama ini dijalani, yang mungkin memberi jarak dengan diri kita sendiri. Sebelumnya, kita tentu disibukkan dengan berbagai persoalan.
Jika dianalogikan, kehidupan manusia sebelum pandemi ibarat mengendarai speedboat, maunya cepat-cepat. Pagi adalah ketergesaan, menepatkan waktu berangkat kerja agar terhindar macet. Sarapan dan dandan di mobil. Pengguna kereta pun demikian, setiap pagi adalah perlombaan melawan waktu dan masinis; terlambat satu menit saja berarti kompetisi mendapat celah berdiri di pintu kereta selanjutnya.
Saat pulang pun harus menepatkan waktu karena alasan yang sama seperti saat berangkat. Sampai rumah makan malam sebentar kemudian menonton TV, tapi tak mau terlalu larut karena ia harus mengulangi lagi aktivitas serupa esok hari.
Semua berubah selama pandemi, masyarakat lebih banyak bekerja di rumah. Ketergesaan dan rutinitas pun berubah drastis --semua hari seolah Sabtu dan Minggu. Hanya saja, mereka tak bisa melakukan rekreasi karena tempat hiburan dan wisata tutup.
Jeda memberi kesempatan orang untuk keluar dari rantai kesibukan. Dalam kesibukan, pikiran kita padat dan rapat. Belum selesai memikirkan ini, kita sudah harus memikirkan itu, lalu memikirkan anu. Kita hanya punya rehat-rehat pendek yang akhirnya hanya bisa dimanfaatkan untuk bermain HP. Padahal, HP pun tak memberi jeda sebab ia membawa pikiran kita jauh ke mana-mana.
Berangkat dari kebosanan jeda panjang saat pandemi, kita pun punya waktu untuk merenungkan kembali setidaknya tentang apa yang kita inginkan atau yang bisa kita lakukan tapi tak pernah kesampaian sebelumnya. Atau sekadar ide-ide kreatif yang sebelumnya tak pernah terpikirkan, tapi karena kebosanan tingkat dewa, ide itu pun muncul.
Semua Ikut Jualan
Beberapa waktu lalu saya dan istri pergi ke pasar tradisional dekat rumah. Suasana masih sepi, jumlah pembeli tak sepadan dengan banyaknya penjual. Saya pun basa-basi bertanya kepada salah satu penjual, kenapa pelanggan masih sepi.
"Siapa yang mau beli, Mas? Semua orang sekarang ikutan jualan," ucap si penjual.
Saya mengerti, setelah hampir enam bulan pandemi dan setelah PSBB dilonggarkan daya beli masyarakat masih belum pulih.
Saya lalu teringat persitiwa-peristiwa pada awal pandemi. Sebuah peristiwa kemanusiaan yang menurut saya bersejarah --setidaknya selama saya hidup sebagai warga negara Indonesia.
Saat itu solidaritas dan empati masyarakat tumbuh nyata dan masif. Penggalangan donasi dilakukan di mana-mana untuk mereka yang terdampak. Kita saling mengirim makanan, pengguna ojek memberikan pesanannya ke pengemudi, dan kita saling mengingatkan untuk tidak mudik Lebaran. Hal-hal positif itu berseliweran menghiasi grup WA dan media sosial.
Kini setelah roda perekonomian mulai digerakkan, pemandangan itu seolah lenyap. Kalaupun ada, tak semasif dulu. Sosial media, grup WA, dan media massa kembali "normal" --riuh soal politik, demonstrasi, pembubaran aksi, debat teroris, komunis, hingga soal pilkada.
Bukannya saya tidak mau ekonomi masyarakat bangkit. Tapi sungguh disayangkan ikatan sosial kemanusiaan itu tidak kita jaga. Bagi warga negara yang awam seperti saya, baru kali itu "persatuan Indonesia" yang sesungguhnya dapat saya rasakan.
Sedikit Lega
Setelah sekian lama menanti usainya musibah, kita dapat sedikit lega vaksin Covid kabarnya sudah tersedia pada akhir tahun. Kita bisa membayangkan tak harus mandi setiap kali pulang ke rumah, tak perlu membawa hand sanitizer di kantong, bisa bersalaman, dan tak harus berlama-lama menghirup karbondioksida kita sendiri karena penggunaan masker.
Tapi dalam benak saya masih bertanya-tanya, apakah akan melihat lagi gelombang solidaritas dan empati masyarakat sebesar waktu itu --dan tak harus dalam suasana musibah? Apakah hobi dan kreativitas yang muncul saat pandemi juga kembali mati suri, karena orang kembali bekerja di luar rumah dan sudah tidak punya waktu lagi?
Mereka yang setiap hari memegang spatula, wajan, dan pisau harus menghadap layar komputer lagi. Orang yang setiap pagi menyiram tanaman hiasnya atau memotong daun kering harus berkejar-kejaran dengan macet. Mereka yang sebelumnya membuat video keluarga untuk Youtube kembali hanya mengunggah aktivitas nongkrong dengan rekan kerja.
Sungguh sangat disayangkan. Semua kembali ke kehidupan mekanik. Tapi mau bagaimana lagi, show must go on. Semua orang harus sibuk, demi mengejar cuan tentunya. Ya, termasuk saya.
Sebelum itu terjadi, mumpung masih sempat saya harus bersiap ambil pengki. Rumput di pekarangan sudah tinggi.
Pandu Wijaya Saputra pemerhati sosial
(mmu/mmu)