Salah satu narasi yang sering diulang-ulang di media oleh pemerintah dan kepala daerah adalah penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia ataupun daerah mereka cukup baik karena angka kesembuhan (recovery rate) semakin meningkat. Padahal menurut dua pakar epidemiologi, yaitu Pandu Riono dari UI dan Dicky Budiman dari Griffith University, angka kesembuhan bukanlah parameter keberhasilan penanganan pandemi COVID-19 menurut WHO. Bagaimanakah memahami angka kesembuhan ini?
Penyakit COVID-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2 merupakan self-limiting disease, yakni penyakit yang pada sebagian besar pasien akan sembuh sendiri. Angka kesembuhannya memang tinggi, saat ini melebihi 70%, bahkan akan lebih tinggi lagi nantinya, yaitu saat pandemi ini sudah selesai. Saat kasus aktif sudah habis, hanya akan ada dua outcome penyakit ini, meninggal dan sembuh. Bila mortality rate adalah a persen, recovery rate adalah (100 β a) persen.
Dengan mortality rate negara-negara di dunia masih berkisar antara 2-8 persen, prediksi recovery rate penyakit ini akan ada di antara 92-98 persen. Jadi, kecuali mortality rate kita di atas itu, mendekati akhir pandemi angka kesembuhan memang perlahan akan naik sendiri ke di atas 92%. Mortality rate sendiri akan tinggi bila penyakit ini menyerang populasi rawan, salah satunya dengan usia tua dan komorbid tinggi, selain itu juga saat kasus aktif melebihi kapasitas sistem kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penanganan pandemi seharusnya bertujuan untuk menurunkan angka kasus aktif dan menekan jumlah korban meninggal. Di Indonesia, saat ini angka kasus aktif secara absolut, bukan persentase, terus meningkat dan makin cepat. Pada 1 Agustus ada 36,824 pasien dalam perawatan/isolasi, 1 September naik menjadi 42,009 pasien, hingga 1 Oktober naik menjadi 61,839 pasien. Korban meninggal juga meningkat dari 1 Agustus sebanyak 5,193 orang, 1 September 7,505 orang, dan 1 Oktober mencapai 10,856 orang.
Selama rentang waktu tersebut, anehnya, recovery rate juga meningkat, dari 1 Agustus 61.8%, 1 September naik menjadi 72.1%, dan 1 Oktober adalah 75%, sehingga pemerintah pun berkesimpulan penanganan pandemi sudah cukup baik. Apakah sebab ketidaksesuaian itu? Mengapa recovery rate tidak mencerminkan performa dua parameter penting dalam penanganan pandemi?
Sebagaimana penjelasan di atas, secara jangka panjang, recovery rate memang akan terus naik. Dan untuk tiap harinya, menurut kalkulasi saya, pada saat recovery rate ada di angka 70%, angka recovery rate akan naik bila angka kasus baru tiap harinya tidak melebihi 142% dari angka kasus sembuh baru. Saat recovery rate ada di angka 75%, batas itu menjadi 133%, dan saat recovery rate mencapai 80%, batas itu menjadi 125%.
Dengan kata lain, bila sekadar peningkatan recovery rate yang menjadi parameter pemerintah, selama angka kasus baru naiknya masih di bawah batas tersebut, angka recovery rate tetap bakal naik. Dan, bila tiap harinya kasus baru melebihi angka yang sembuh, angka kasus aktif akan terus menanjak, tentu hal ini bertentangan dengan prinsip penanganan pandemi di atas.
Sebaiknya pemerintah berhenti berpatokan pada recovery rate dan kembali menggunakan parameter yang disarankan WHO dan tidak berpotensi misleading mengenai keadaan pandemi saat ini. Angka kasus baru yang meningkat secara perlahan tapi pasti, positivity rate yang masih tinggi, dan kasus aktif yang terus menanjak, semuanya adalah alarm bahaya. Korban meninggal akan terus meningkat bila kasus aktif terus bertambah.Saat ini rapid test massal pada sampel populasi yang acak dan representatif mungkin diperlukan untuk memperkirakan angka kasus sebenarnya di daerah dan juga sebagai reality check.
Prof. Wirawan (alm.) dari Unud pernah menyatakan bahwa patokan yang digunakan WHO dalam percepatan penanganan pandemi COVID-19 ada tiga hal utama. Yakni rasio tracing sekitar 10-30 orang per satu kasus yang positif dan jumlah penduduk yang dites PCR 1 per 1000 penduduk per minggu, serta positivity rate antara 3-12%.
Semua parameter tersebut seharusnya menjadi target pemerintah dalam melakukan active case finding. Tanpa dicapainya ketiga target tersebut, angka kasus baru yang didapatkan pemerintah tidak akan mencerminkan jumlah kasus baru sebenarnya, dan bersama recovery rate yang terus naik akan membuat lengah. Jangan sampai kasus aktif terus meningkat karena kapasitas sistem kesehatan tidaklah tidak terbatas.
Kita sedang bekerja sama sebagai sebuah bangsa menghentikan kendaraan bernama COVID-19 yang melaju makin kencang ini. Seharusnya semua pihak berpatokan pada speedometer, jangan sampai satu pihak yang memegang kemudi bersikeras melihat suhu mesin, dan menepuk dadanya sendiri karena mesinnya tidak overheat, padahal kita semakin jauh dari garis berhenti. Tepatnya, 333.449 kasus terlalu jauh.
Lutfi Nur Farid dokter, membaca apapun, dan sesekali menulis