Baru saja saya membaca berita yang mengagumkan tentang sebuah inovasi dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ). Di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sejumlah siswa dan guru memanfaatkan sarana komunikasi berupa Radio Antar Penduduk atau yang biasa dikenal dengan Radio CB (Central Band) dalam menjalankan PJJ.
Menurut saya, ini merupakan terobosan yang luar biasa. Bayangkan saja, harga alat komunikasi yang sempat ngetren pada tahun 90-an ini relatif cukup terjangkau. Hanya sekitaran Rp 200 ribu – Rp 300 ribu, plus tanpa perlu beli kuota internet. Harga ini jelas lebih murah jika dibandingkan dengan harga HP berinternet termurah. Bahkan dengan menggunakan antena tinggi Orari, dapat menjangkau radius yang lebih luas.
Penggunaan alat komunikasi berupa Radio CB di atas serupa dengan upaya Polres Cianjur, Jawa Barat yang meminjamkan Handy Talkie (HT) kepada sejumlah siswa dan guru untuk membantu kelancaran proses PJJ.
Lain lagi dengan Mesjid Al Muhajirin di Kelurahan Barangsiang, Bogor. Mesjid ini memberikan akses wifi berkecepatan 100Mbps bagi para siswa dan guru di sekitarnya untuk PJJ. Walau wifi ini hanya dapat digunakan sampai pukul 5 sore. Warga sekitar sangat antusias menyambutnya.
Cerita di atas hanya tiga dari sekian banyak kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan dan kreativitas masyarakat dalam mengatasi permasalahan PJJ. Utamanya untuk mengatasi sulitnya sinyal internet dan beratnya pembelian kuota.
Pemerintah, di satu sisi, telah menangkap kegelisahan di lapangan atas permasalahan-permasalahan dalam proses PJJ ini. Sudah cukup banyak kebijakan yang diterbitkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memfasilitasi PJJ. Pemberian subsidi kuota internet dengan total anggaran Rp 7,2 triliun adalah salah satunya.
Memang, masih ada celetukan-celetukan warganet yang mengatakan bahwa kebijakan ini terlambat dieksekusi. Alasannya, sudah banyak elemen masyarakat yang berinovasi mengatasi salah satu permasalahan PJJ ini. Saya sendiri menyambut girang kebijakan ini. Saya pun dapat memahami kebijakan ini terbit belakangan, mengingat untuk menganggarkan dana sebesar Rp 7,2 triliun membutuhkan proses. Tidak sim salabim, taraaaa...langsung muncul uang berkarung-karung sebanyak itu.
Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar masyarakat menyambut girang pemberian subsidi kuota internet ini. Namun, masih terdapat "PR" yang akan mengintai di balik semak-semak kegirangan dan kenyinyiran warganet.
***
Saya mengetahui kebijakan pemberian subsidi kuota internet bagi siswa, guru, mahasiswa dan dosen ketika menyaksikan rapat kerja Komisi IX DPR bersama Menteri Pendidikan beserta jajarannya melalui Youtube beberapa minggu yang lalu. Pada kesempatan itu, Menteri Nadiem Makarim menyampaikan bahwa untuk 2020, subsidi kuota internet ini akan diberikan selama 4 bulan, yakni September sampai Desember.
Jatah kuota internet yang diberikan: bagi siswa sebanyak 32Gb/bulan, guru 42Gb/bulan, mahasiswa dan dosen masing-masing 50Gb/bulan. Kebijakan yang menggirangkan ini sudah sangat banyak diberitakan oleh media. Pada kesempatan kali ini, saya menggarisbawahi beberapa PR yang perlu kita pikirkan bersama.
Pertama, bagaimana dengan nasib adik-adik dan para pengajar yang berada di daerah-daerah "nir-sinyal" internet atau belum memiliki telepon seluler berinternet? Apakah mereka hanya akan menjadi penonton saja, sementara teman-teman mereka, bisa tersenyum menikmati subsidi kuota internet?
Saya teringat dengan cerita salah seorang teman Facebook saya, sebut saja Mas Andi Lau. Pada linimasa Facebook, dia membagikan foto-foto sekelompok anak usia sekolah di desanya yang terletak di Pulau Seram Bagian Timur. Pada caption foto-foto tersebut Mas Andi Lau menyampaikan bagaimana anak-anak di desanya hanya bermain-main saja ketika PJJ berlangsung. Alasannya, mereka tidak punya HP dan terbatasnya sinyal internet.
Kondisi seperti cerita Mas Andi Lau ini tidaklah mengherankan. Walaupun dari tahun ke tahun penetrasi pengguna internet di negara kita terus meningkat, namun masih banyak wilayah di Indonesia yang belum dapat menikmatii sinyal internet.
Menurut Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII), pada 2019 terdapat sekitar 64,8% penduduk telah terhubung internet. Ini artinya masih terdapat sekitar 35,2% penduduk belum terhubung internet. Sedangkan masyarakat kita yang memiliki telepon seluler diungkapkan oleh BPS. Menurut sensus BPS, pada 2018 terdapat 89,6% rumah tangga yang memiliki/menguasai telepon seluler.
Barangkali salah satu "Mop Papua" tentang orang Papua yang ingin membeli HP berikut sinyalnya sedikit-banyak dapat juga menggambarkan kondisi di atas.
Kedua, bagaimana agar subsidi kuota internet yang diberikan benar-benar terjamin penggunaannya untuk keperluan proses belajar jarak jauh? Jangan-jangan nanti kuota internetnya akan tersedot untuk pemakaian media sosial yang tak ada hubungannya dengan PJJ.
Harap maklum saja, berdasarkan survei We Social pada 2019, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai angka 56% dari jumlah total penduduk. Youtube adalah media sosial yang paling banyak diakses. Anda bisa merasakan sendiri, bagaimana kuota internet tak terasa sudah habis ketika sedang asyik-asyiknya menonton Youtube.
Sedangkan dari sisi usia, rentang usia 13 sampai dengan 24 tahun adalah yang paling banyak mengakses media sosial. Ini artinya siswa SMP sampai mahasiswa mempunyai potensi lebih besar dalam penggunaan subsidi kuota internet untuk media sosial.
Ketiga, bagaimana agar subsidi kuota internet ini akan mencukupi untuk mendukung PJJ? Memang, yang namanya subsidi bukan dimaksudkan untuk sepenuhnya mencukupi apa yang dibutuhkan --anggaran pemerintah juga terbatas.
Sebagai gambaran saja, saya pernah membaca tentang kuota internet yang terpakai saat menggunakan aplikasi Zoom Meeting pada salah satu website . Untuk keperluan pertemuan one on one membutuhkan 540MB sampai 1,6Gb per jam. Angka ini akan melonjak apabila pertemuan dilakukan secara grup, menjadi 810Mb sampai 2,4Gb per jamnya.
Pada masa pandemi Covid-19, penyedia jasa telekomunikasi berlomba-lomba memberikan kuota internet gratis untuk mendukung PJJ. Namun demikian, kuota gratis ini lebih banyak diberikan untuk akses portal-portal belajar, bukan riil kuota internet gratis sepenuhnya. Padahal, dalam proses PJJ, selain menggunakan aplikasi pertemuan virtual seperti Zoom Meeting, Google Class, dan sejenisnya juga menggunakan aplikasi pesan instan seperti Whatsapp. Bahkan, akhir-akhir ini sudah banyak guru yang memanfaatkan media Podcast sebagai sarana PJJ.
Kondisi-kondisi seperti di atas, dan menjamin penggunaan subsidi kuota internet yang tepat guna, perlu menjadi perhatian kita bersama. Saya sih berprasangka baik saja. Tentunya, kementerian-kementerian terkait, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian BUMN sudah memikirkan atau memiliki jawaban atas PR-PR tersebut di atas. Atau, barangkali Anda bisa bantu memberi jawabannya.
Fakhri Julverdie pegiat literasi di komunitas 1 Nusa 1 Bangsa 1 Bahasa 1 Bumi