Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) setelah sempat ditunda gara-gara pandemi Covid-19, pada akhirnya diputuskan untuk dilanjutkan, dengan hari pemungutan suara Rabu, 9 Desember. Keputusan ini belakangan santer diusulkan sejumlah kalangan agar ditunda (kembali) seiring dengan naiknya grafik positif maupun korban meninggal akibat Covid-19.
Per Selasa (6/10) angka positif di Indonesia mencapai 307.120, dengan angka kematian 11.253 (Worldometer). Kekhawatiran pilkada akan memperparah ancaman keselamatan wajar disuarakan. Namun pemerintah dan DPR keukeuh melanjutkan. Salah satu kilahnya, sebagai antisipasi, seluruh kegiatan oleh para pemangku kepentingan --penyelenggara (KPU, Bawaslu Daerah), kontestan (paslon, parpol, tim kampanye), maupun konstituen (pemilih)-- diwajibkan mentaati standar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sebagaimana yang ditetapkan Gugus Tugas.
Di sisi lain, sejak kali pertama digelar pada Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, data KPK menunjukkan tidak kurang dari 300 kepala daerah yang menjadi pesakitan (yang ditangani KPK langsung maupun instansi hukum lainnya). Mekanisme pilkada secara langsung yang diharapkan makin mendekatkan calon pemimpin dengan masyarakat, dikelabuhi seakan hanya pada saat kampanye semata.
Alih-alih berlomba mewujudkan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan/tidak dengan pelayanan dasar, maupun urusan pemerintahan pilihan sebagaimana diamanatkan Pasal 12 UU 9/2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23 Tahun 2014 Pemda, justru yang terjadi kebanyakan sebaliknya. Pilkada langsung tak serta merta menghadirkan sosok pemimpin daerah yang lebih berempati pada nasib masyarakat bawah. Malah tak sedikit yang takluk pada godaan syahwat kekuasaan.
Bukan lagi pemimpin daerah yang hadir, melainkan raja-raja kecil dengan libido kekuasaan yang luar biasa besar melampaui kewenangan yang telah disematkan konstitusi. Gemar mengangkangi aturan, menerobos nilai-nilai etika, moralitas, dan kemanusiaan. Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dibayang-bayangi dua momok yang hakikatnya sama-sama mematikan: pandemi dan korupsi.
Melihat realitas demikian, lantas apa sikap pemilih menghadapi Pilkada Serentak 9 Desember nanti: nyoblos atau golput? Sebagai pemilik kedaulatan elektoral pilkada, yang mencoba mempertahankan akal sehat dan nalar kritis, ketika melakukan kontemplasi atas kondisi objektif kekinian, wajar mengalami dilema. Secara jangka pendek, seberapa besar manfaat yang akan didapat pemilih jika tetap menggunakan hak pilihnya dibanding risiko terpapar Covid-19 yang juga menghantui?
Lebih jauh, apakah makna partisipasi penggunaan hak pilih hari ini tidak lebih dari sekadar melegitimasi kebobrokan kepemimpinan daerah yang tengah berlangsung?
Dua Argumentasi
Untuk tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sejenak ada baiknya menyimak dua argumentasi diametral (fundamental) atas wajah politik dalam sistem demokrasi. Pertama, optimisme. Bertolt Brecht, seorang penyair dan dramawan Jerman (1898-1956), selain menarasikan dengan sederhana betapa pentingnya partisipasi politik, ia sekaligus dengan lugas menghardik sikap apatis terhadap proses politik.
"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar, 'Aku benci politik!' Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena kebodohan politiknya lahir pelacuran, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri," begitulah kurang lebih pandangannya.
Kedua, kritisisme. Kritisisme terhadap wajah politik dalam sistem demokrasi --di dalamnya melekat penyelenggaraan kontestasi elektoral sebagai prosedur reguler pergantian kekuasaan-- dalam kadar tertentu dapat bermuara pada pesimisme, bahkan pada titik ekstrem dapat berujung pada apatisme. Masa bodoh. Tak mau tahu dengan segala hiruk pikuk yang berbau politik. Dalam pengertian inilah kritisisme perlu mendapat perhatian lebih.
Bagi mereka kontestasi elektoral tak lebih dari sekadar akal-akalan yang diseremonialkan, dilegalkan, dan didaur ulang. Siapapun yang terpilih dalam kontestasi elektoral apapun namanya, pemenang sesungguhnya merekalah kaum pemodal dan kekuatan oligarki. Sebagaimana antara lain diulas Coen Husen Pontoh (Malapetaka Demokrasi Pasar, 2005), demokratisasi yang terbangun di Indonesia menuju demokrasi pasar (neoliberasime), ditandai salah satunya dengan menguatnya oligarki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam konteks politik, kasus Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, kiranya representatif menggambarkan bagaimana oligarki mengelabuhi sistem demokrasi prosedural. Dalam konteks ekonomi, negara diposisikan sebatas sebagai regulator. Selebihnya pasar yang menentukan. Dan dalam mekanisme pasar, pemodal besarlah yang mendominasi kendali dan kontrol melalui kepanjangan tangannya di dalam kekuasaan yang ia sokong pada saat kontestasi elektoral.
"Main dua kaki" atau "investasi" di semua kontestan yang berpotensi menang menjadi ciri khas. Bukan ikatan ideologis atau kesamaan visi, melainkan keabadian kepentingan yang melandasi. Begitulah siklus komidi putar neoliberalisme politik bekerja seakan automatically.
Kajian akademik di atas, disadari atau tidak, belakangan diperkuat Menko Polhukam Mahfudz MD. Dengan gaya khasnya, Mahfudz secara gamblang menyatakan, "Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan," urainya saat menjadi pembicara diskusi bertema "Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi" yang disiarkan melalui Youtube Pusako FH Unand, Jumat (11/9).
Komisioner KPK Nurul Ghufron menyampaikan hal senada. Kajian KPK menunjukkan bahwa terdapat sekitar 82 persen calon kepala daerah didanai oleh sponsor bukan dari pribadi pasangan calon.
Mengambil Sikap
Pada dasarnya hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak asasi. Hak yang dilindungi konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Oleh karenanya, penghilangan atas hak pilih yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 178 UU Pilkada dengan ancaman pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit 12 juta rupiah dan paling banyak 24 juta rupiah.
Sebaliknya, ketika hak pilih itu tidak digunakan, tidak memiliki konsekuensi hukum apapun (Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003). Dengan kata lain, nyoblos atau golput keduanya sah. Lalu bagaimana jika mengampanyekan untuk tidak menggunakan hak pilih atau golput? Jika hal itu disertai dengan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, seperti ditentukan Pasal 182A UU Pilkada, maka diancam dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit 24 juta rupiah dan paling banyak 72 dua juta rupiah.
Menyarikan pertimbangan-pertimbangan di atas, setidaknya ada empat diskursus yang dapat dilakukan pemilih dalam pengambilan sikap. Pertama, tidak nyoblos/golput dikarenakan alasan tidak adanya konsekuensi hukum (sanksi). Sikap ini terjebak pada kaidah formalistik semata. Kering argumentasi dan jauh dari relevansi penguatan demokratisasi dan kepemimpinan daerah. Tak banyak yang dapat diperbincangkan dari pilihan sikap demikian.
Kedua, tidak nyoblos /golput dikarenakan alasan ancaman virus mematikan Covid-19. Alasan ini lebih bersifat taktis. Perlu dilihat secara seksama bagaimana teknis pemungutan suaranya. Jika dalam pelaksanaannya KPU daerah benar-benar menerapkan standar protokol kesehatan pencegahan Covid-19, dan Bawaslu Daerah bekerja tegak lurus mengawasi tanpa kenal kompromi, serta pemilih disiplin, sehingga potensi terpapar dapat dinihilkan, maka kekhawatiran tersebut tidak semestinya dijadikan alasan ketidakhadiran.
Ketiga, tidak nyoblos/golput dikarenakan alasan manifestasi perlawanan atau bentuk koreksi atas praktik demokrasi prosedural yang memiliki banyak cacat bawaan, sehingga dipandang hanya melahirkan raja-raja kecil, banyaknya pesakitan di daerah, suburnya oligarki, masih menganganya jurang kesenjangan sosial, serta belum optimalnya pembangunan daerah. Meski argumen ini dapat diterima dan dimaklumi, namun tidak untuk dibenarkan.
Pada akhirnya alpa terhadap proses kontestasi elektoral pilkada tidak banyak memberi warna perubahan apapun. Seberapa rendah partisipasi (legitimasi) pemilih tidak mempengaruhi keterpilihan pasangan calon. Contoh ekstrem Pilkada Kota Medan 2015. Tingkat partisipasi hanya 25,38 persen, alias ketidakhadiran atau golput mencapai 74,62 persen. Efeknya? Hanya akan berhenti pada tataran evaluasi, kajian akademik, dan rekomendasi.
Toh sampai sekarang Pilkada dengan mekanisme pemilihan langsung tetap berjalan, meski dengan berbagai tambal sulam. Trial and error menjadi keniscayaan yang tak terelakan.
Jalan Keluar
Ketiga diskursus di atas semuanya bersifat udzur yang masih memungkinkan dinegasikan, dicarikan jalan keluar. Maka mengoptimalkan diskursus keempat, yakni menggunakan hak pilih/nyoblos, merupakan sikap yang bisa didiskusikan serta dipertanggungjawabkan. Tentu sikap menggunakan hak pilih/nyoblos di sini tidak asal memilih, bukan asal nyoblos. Melainkan sikap yang diambil dengan penuh kesadaran dan kaya pertimbangan rasional.
Sikap menggunakan hak pilih/nyoblos yang diawali dengan aktivasi energi pemilih. Dalam ilmu kimia, energi aktivasi diartikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi. Dalam konteks ini, untuk mendapatkan pilihan terbaik/tepat, maka dibutuhkan minimum (standar) perilaku dari pemilih.
Standar perilaku pemilih yang perlu diaktifkan menghadapi kontestasi elektoral Pilkada Serentak di antaranya dengan mengukur dan membandingkan nilai-nilai kepemimpinan misalnya moralitas, reputasi, kredibilitas, kapasitas, rekam jejak, serta visi misi dan program kerja masing-masing kontestan (pasangan calon). Selanjutnya aktif mendiskusikan (check and recheck) isu-isu kontestasi elektoral di lingkungan terdekat (keluarga dan tetangga).
Tak kalah penting, pemilih juga mesti memiliki komitmen yang kuat untuk menolak politik uang, menentang kampanye hitam dan hoax, turut mengawasi netralitas penyelenggara (KPU dan Baswaslu daerah beserta jajarannya), kepala desa dan perangkatnya, ASN, TNI dan Polri, termasuk berani mendokumentasikan serta melaporkan jika menemukan indikasi-indikasi pelanggaran.
Lebih jauh, partisipasi politik daerah sejatinya bukan sekadar persoalan nyoblos atau golput saat pilkada. Melainkan partisipasi politik yang dibangun dengan penuh kesadaran untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan politik (publik) daerah. Lahirnya raja-raja kecil mengonfirmasi absennya kontrol dan kritik pemilih (masyarakat) daerah. Mengandalkan legislatif daerah sebagai penyeimbang, meski benar secara teoritis dan yuridis, namun tidak selalu demikian secara faktual. Khususnya ketika pimpinan partai politik daerah sudah dalam hegemoni eksekutif daerah.
Penguatan sistem demokrasi daerah butuh proses dan waktu untuk menemukan bentuk terbaiknya. Di sinilah urgensi partisipasi politik pemilih (masyarakat), gerakan civil society, dan ekstra parlementer daerah terus digalang dan digelorakan. Keputusan nyoblos pada 9 Desember menjadi bernilai strategis jika disertai aktivasi standar perilaku pemilih serta kesadaran penuh untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan politik (publik) daerah.
Demikian pun sebaliknya. Permisif atas pelanggaran dan pragmatis dalam menentukan pilihan, serta apatis pada perjalanan kepemimpinan daerah adalah bentuk pengkhianatan nurani. Hanya akan melanggengkan praktik korupsi dan terlantarnya urusan-urusan pemerintahan daerah. Selamat memilih masyarakat di 207 daerah, selamat menyiapkan kontrol dan kritik bagi yang terpilih untuk lima tahun yang akan datang.
Teguh Wiyono Komisioner Divisi Hukum KPU Kab. Ponorogo Periode 2014-2019