Di tengah pro dan kontra, pemerintah memutuskan untuk tetap mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Jika sesuai jadwal, maka electoral event tersebut akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020, melibatkan 270 daerah di level provinsi, kabupaten, dan kota.
Dalam perspektif konvensional, teknis setiap tahap dalam pilkada identik dengan berkumpulnya massa. Sebagai ekspresi dari dijalankannya demokrasi prosedural di mana pemilu --sebagai sebuah metode-- disusun oleh berbagai tahapan; pengambilan nomor urut, kampanye, hingga pencoblosan, kerumunan massa adalah konsekuensi.
Masalahnya, kita masih berada di tengah pandemi yang semakin kemari kondisinya semakin mengkhawatirkan. Jika pilkada yang identik dengan kerumunan massa itu dilanjutkan, publik khawatir pandemi tak tuntas secara lekas. Sebaliknya, korban semakin berjatuhan.
Merespons kekhawatiran publik, pemerintah buru-buru menggaungkan premis pelengkap untuk menenangkan; bahwa pilkada akan diselenggarakan dengan sepenuhnya memperhatikan protokol kesehatan. Adapun perihal teknis akan disampaikan kemudian.
Apakah kemudian perdebatan selesai? Saya kira belum. Ini karena di luar pilkada, sebagaimana kita tahu, cukup banyak event yang dibatalkan atau tidak diberi izin operasional karena pandemi. Berbagai jenis hajatan yang --sama dengan pilkada-- berpotensi menghasilkan kerumunan massa seperti mudik Lebaran, pertandingan olahraga, konser musik, perkumpulan keagamaan, dibatalkan untuk alasan yang begitu masuk akal: agar kasus tidak bertambah, sehingga korban tidak bertambah, sehingga kita bisa mengendalikan wabah.
Dengan demikian, meskipun pemerintah telah menyampaikan janji politiknya bahwa penyelenggaraan pilkada akan memperhatikan protokol kesehatan, "tebang pilih" penyelenggaraan hajatan ini tetap jadi isu yang muncul ke permukaan, bahkan terkristal dalam sebuah kritisnya keingintahuan; sama-sama akan mendatangkan kerumunan, jika hajatan lain dilarang, kenapa pilkada diizinkan?
Alasan Balik Layar
Prolog di atas telah mampu menunjukkan fakta bahwa pilkada bukanlah sembarang event. Sebaliknya, secara politis, pilkada punya alasan luar biasa untuk diselenggarakan tepat waktu, yang oleh karenanya tidak bisa disamakan dengan hajatan-hajatan lain, meskipun secara teknis sama-sama berpotensi memproduksi kerumunan. Begitu luar biasanya alasan-alasan itu, sehingga pandemi sekalipun tidak boleh mengganggu jadwalnya.
Prolog di atas telah mampu menunjukkan fakta bahwa pilkada bukanlah sembarang event. Sebaliknya, secara politis, pilkada punya alasan luar biasa untuk diselenggarakan tepat waktu, yang oleh karenanya tidak bisa disamakan dengan hajatan-hajatan lain, meskipun secara teknis sama-sama berpotensi memproduksi kerumunan. Begitu luar biasanya alasan-alasan itu, sehingga pandemi sekalipun tidak boleh mengganggu jadwalnya.
Dari kacamata politis, saya berpendapat, setidaknya ada tiga alasan kenapa pilkada harus diselenggarakan tepat waktu. Pertama, karena strategi politik yang digunakan kandidat hanya akan memberi hasil optimal ketika semua tahapan kepemiluan diselenggarakan pada waktu-waktu yang sudah direncanakan. Ini logis karena strategi politik adalah metode yang sifatnya custom/by design, sehingga insiden yang terjadi di arena elektoral diasumsikan bernilai nol.
Dengan kata lain, strategi politik akan mampu memberi hasil optimal hanya ketika situasi politik bisa dikendalikan. Katakanlah seorang kandidat punya elektabilitas 2% ketika penantangnya sudah memiliki 5% pada waktu yang sama. Karena ingin menang, tim balik layar sang empunya 2% tentu harus bekerja cerdas untuk menaikkan prosentase. Linear dengan cara kerja tersebut, kandidat harus memperhatikan tenggat waktu dengan sungguh-sungguh. Deadline harus jadi patokan.
Menunda pilkada jelas akan mengubah strategi politik, metode, bahkan hasilnya. Boleh jadi, juga akan mengubah komponen di dalamnya: uang, waktu, energi, bahkan mungkin kerja sama politik dengan pihak tertentu yang sudah sedemikian rupa dibangun untuk suatu periode tertentu. Sepolitik-politiknya tim sukses bekerja, tetap saja mereka adalah homo economicus yang bertindak dengan memperhatikan prinsip ekonomi: sedikit berkorban, banyak hasil.
Jadi pilkada tidak boleh ditunda, karena berpotensi menggagalkan strategi politik kandidat.
Kedua, tertundanya pilkada akan membuat pemerintah pusat tampak semakin "kehilangan segalanya". Sudahlah resesi yang membuat nasib bisnis sebagian elite politik tidak menentu (ekonomi), situasi pandemi nasional yang semakin mengkhawatirkan (kesehatan), masih ditambah pula dengan ditundanya pilkada (politik).
Apalagi jika kita perluas dimensi pembicaraan, di luar konteks pilkada secara langsung, pada saat bersamaan pemerintah sebetulnya sedang kehilangan banyak pencapaian, seperti pada aspek hukum, pariwisata, ketenagakerjaan, hingga pendidikan.
Jelas sudah, pilkada harus diselenggarakan tepat waktu dalam fungsinya sebagai penyelamat wibawa pemerintah; menjadi satu dari sekian banyak aspek yang diharapkan pemerintah dapat menyusun citra baik; bahwa status quo mampu mengoperasikan proses tata kelola pemerintahan dengan baik --meski dalam kondisi nasional-global yang sangat sulit sekalipun.
Ketiga, karena pemerintah khawatir kehilangan kepercayaan elite politik.
Dalam logika intermediary, elite politik adalah aktor yang diasumsikan otonom, yang seringkali bertindak di atas deal dengan elite lain yang sama-sama berada di ranah elektoral, yang kadang justru teralienasi dari urusan rakyat murni.
Untuk Pilkada, kita ketahui bahwa kategori elite yang vokal menyampaikan aspirasinya adalah elite dari kalangan politik. Pada masa pandemi sekalipun, suara tenaga medis (dokter, perawat, dan lain-lain) sebagai ejawantah dari elite kesehatan ternyata tak lantas terdengar lebih keras daripada elite politik.
Masalahnya, elite politik adalah aktor politik penting yang harus kita akui menopang berjalannya proses pemerintahan sehari-hari. Elite-lah yang dari banyak tempat --ruang parlemen, media, kantor partai politik-- menyangga pemerintahan, baik sebagai oposan maupun teman.
Jadi meskipun elite bertindak tak selalu karena urusan murni rakyat, pemerintah tetap membutuhkannya agar proses pemerintahan sehari-hari berjalan sebagaimana biasa. Apa yang elite minta adalah aspirasi yang tak boleh disepelekan pemerintah. Kalau perlu diakomodasi. Nah, kali ini elite meminta pilkada diselenggarakan tepat waktu.
Tiga alasan behind the scene ini kemudian melahirkan kebijakan yang behind the scene pula: agar elite politik bersepakat menyelenggarakan pilkada tepat waktu.
Kebijakan Depan Layar
Sungguhpun demikian, dalam rapat koordinasi pelaksanaan pilkada (22/9), Menkopolhukam Mahfud MD mewakili Presiden menyampaikan kepada publik bahwa alasan normatif pilkada dilanjutkan sesuai jadwalnya adalah karena empat rasionalitas. Pertama, agar tidak mengganggu hak konstitusional warga negara dalam memilih, juga untuk dipilih.
Kedua, agar tidak menjadikan pandemi sebagai alasan menyelenggarakan atau tidak menyelenggarakan sesuatu, mengingat bahkan belum ada satupun negara di dunia yang bisa dengan tepat memprediksi, kapan pandemi akan selesai setuntas-tuntasnya. Ketiga, pejabat sementara (dampak dari diundurnya pilkada) tidak akan bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan strategis.
Keempat, sebetulnya pilkada telah mengalami pengubahan jadwal tahap I, dari September 2020 ke Desember 2020 dan sekarang pemerintah tak mungkin menundanya lagi.
Itulah empat alasan "di depan layar" yang kemudian digunakan oleh pemerintah untuk menjadi rasionalitas diselenggarakannya pilkada tepat waktu meskipun pandemi belum berakhir. Argumentasi yang kemudian membidani lahirnya kebijakan "di depan layar" pula: pilkada tetap berjalan sebagaimana dijadwalkan.
Politis vs Normatif
Kesimpulannya, ada dua jenis alasan-kebijakan yang menjadi poin kunci: kebijakan politis dan kebijakan normatif. Kebijakan politisnya berupa kesepakatan para elite yang tentu saja di balik layar, sementara kebijakan normatifnya berupa tetap diselenggarakannyap pilkada atas alasan aspirasi hak politik rakyat.
Tentu menarik untuk menghubungkan keduanya; kebijakan politis (elite bersepakat) diciptakan agar kebijakan normatif (pilkada tepat waktu) bisa berjalan. Ketika alasan politis menghasilkan kebijakan, dan alasan normatif menghasilkan kebijakan pula, maka sesungguhnya tetap diselenggarakannya pilkada di tengah pandemi ini punya sisi meta-policy yang sempurna --ketika kebijakan didahului oleh kebijakan. Atau, sebaliknya ini soal kebijakan tentang kebijakan.
Sekaligus kita bisa simpulkan bahwa jika ranahnya politis, maka di balik penyelenggaraan pilkada, kebijakan politis akan hadir lebih dulu untuk melahirkan kebijakan normatifnya.
A Satria Pratama mahasiswa Magister Ilmu Politik Departemen Politik dan Pemerintahan Pascasarjana Fisipol UGM
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini