Menjamurnya pedagang di pinggir jalan yang menjual masker menjadi pemandangan baru di tengah pandemi. Memakai masker tiap akan berkegiatan di luar rumah sudah menjadi kebiasaan yang tak boleh dilupakan dan sudah semestinya adalah hal wajib dilakukan. Masker tak lain sebagai alat pelindung diri untuk memproteksi dan meminimalisasi penularan Covid-19. Namun efektivitasnya tergantung dari bahan dan jenis yang digunakan.
Seperti kita ketahui bahwa masker N95 adalah masker yang paling efektif karena sanggup mencegah masuknya percikan droplet hingga 95-100%. Jenis kedua yaitu masker medis dengan efektivitas mencapai 80-90% dan hanya untuk sekali pakai. Kedua jenis masker ini lebih dibutuhkan bagi para tenaga kesehatan yang memiliki risiko tinggi terpaparnya virus karena berinteraksi langsung dengan para pasien Corona. Bagi masyarakat umum, jenis masker yang digunakan cukup berbahan kain.
Masih segar di ingatan kita, bagaimana situasi terjadinya kelangkaan masker (khususnya masker medis) pada saat awal munculnya pandemi. Kelangkaan yang disebabkan oleh permintaan konsumen yang tinggi tidak seimbang dengan supply yang mencukupi. Hal tersebut diperparah lagi dengan ulah oknum penimbun masker yang membuat harga melambung tinggi di pasaran. Melihat situasi tersebut, pemerintah mengeluarkan anjuran bahwa tidak harus memakai masker medis sebab masker berbahan kain juga dapat digunakan.
Sejak diinformasikan anjuran dan imbauan itu, dapat terlihat mulai banyak bermunculan pelaku usaha dari skala rumah tangga hingga perusahaan menengah yang memproduksi masker kain. Yang menarik adalah diproduksi pula masker berbahan scuba dengan harga yang tergolong murah dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan harga yang dipatok pada kisaran Rp 5 ribu hingga Rp 15 ribu tentu mampu menyedot keinginan masyarakat untuk membelinya.
Apalagi masker scuba dibuat dengan berbagai macam corak, motif, tulisan hingga gambar karakter kartun yang pastinya digemari pula oleh anak-anak. Sesungguhnya masker scuba ini tidak direkomendasikan baik oleh pemerintah maupun para pakar kesehatan. Musababnya terbuat hanya dengan satu lapis dan berpori besar, tidak akan efektif menangkal masuknya virus --meskipun para pemakainya berdalih bahwa menggunakan masker scuba lebih mudah untuk bernapas.
Larangan
Menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) sebagai protokol kesehatan pada saat beraktivitas sudah menjadi adaptasi kebiasaan baru pada masa sekarang. Indonesia hingga kini belum melewati masa puncak pandemi. Penambahan kasus positif masih terus terjadi dengan angka yang tinggi meskipun pasien sembuh juga semakin banyak. Tercatat hingga 29 September, sudah ada 282.724 kasus positif dengan akumulasi jumlah pasien yang meninggal sebanyak 10.601 orang.
Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah dengan penambahan kasus positif yang meningkat sejak kebijakan PSBB dilonggarkan. Dengan alasan itu pula, Gubernur Anies Baswedan kembali mengambil kebijakan untuk menarik rem darurat kembali pada PSBB ketat. Ironisnya di Jakarta muncul kluster perkantoran yang menularkan antarpegawai di lingkungan tempat kerja. Pengawasan dalam menerapkan protokol kesehatan di perkantoran perlu dievaluasi kembali.
Namun, muncul pula dugaan bahwa penularan virus ini terjadi pada saat pegawai/karyawan menggunakan transportasi umum dari tempat tinggal menuju ke kantornya. Penularan bisa dipicu dari tidak diterapkannya jaga jarak atau masker yang digunakan tidak berfungsi efektif.
Belum lama ini, PT KAI telah mengeluarkan larangan penggunaan masker scuba dan buff bagi penumpang yang menggunakan jasa transportasi KRL. Sebab, masker ini dinilai tidak mampu menangkal virus dan justru memecah droplet menjadi lebih kecil jika ada yang batuk atau bersin. Padahal dalam gerbong kereta pada saat jam padat seperti berangkat atau pulang kerja terisi puluhan hingga lebih dari 100 orang.
Perjalanan para komuter di dalam KRL selama 30 kenit hingga lebih dari 1 jam pada ruangan ber-AC dan tertutup memunculkan risiko penyebaran virus. Maka masker menjadi proteksi pelindung diri yang paling utama, tentunya dengan masker yang sesuai standar dan memiliki efektivitas baik dalam menangkal virus.
Standar dan Sertifikasi
Merespons kebutuhan standardisasi produk dalam menanggulangi Covid-19, Badan Standardisasi Nasional (BSN) baru saja menetapkan SNI 8194:2020 Tekstil-Masker dari Kain. SNI ini dirumuskan oleh Komite Teknis 59-01 dan ditetapkan melalui Keputusan Kepala BSN Nomor 408/KEP/BSN/9/2020 pada 16 September 2020. Dokumen SNI ini dapat dilihat oleh masyarakat luas melalui situs akses-sni.bsn.go.id.
Waktu yang dibutuhkan dari proses perumusan hingga penetapan SNI masker ini tidak sampai 5 bulan. Hal ini tergolong cepat. Sebagai informasi, normalnya proses yang dibutuhkan memakan waktu sekitar satu tahun. Tetapi jika suatu produk dinilai perlu dipercepat penetapannya karena kepentingan nasional dan kebutuhan mendesak (misalnya berkaitan dengan Covid-19), maka percepatan itu bisa diwujudkan, seperti contohnya SNI masker ini.
Publik perlu tahu bahwa setiap SNI yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antarpihak pemangku kepentingan, yang terdiri dari regulator, produsen, konsumen, dan akademisi. Mengapa suatu produk perlu ada SNI? Berkaca pada UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian salah satu tujuan standar yaitu untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Selain itu perlu dipahami pula bahwa sifat dasar dari penetapan standar adalah sukarela. Terkecuali produk yang dibuat standarnya berkaitan dengan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), maka urgensi untuk diberlakukan wajib menjadi penting. Namun demikian, perlu penilaian dan tahapan yang dilakukan sebelum pemberlakuan wajib SNI. Salah satunya ialah kesiapan lembaga sertifikasi produk (LSPro) sebagai pihak ketiga yang berhak mengeluarkan sertifikat SNI.
Hingga kini sudah ada sebanyak 13 LSPro yang sedang dalam proses penunjukan untuk melakukan sertifikasi produk masker kain. Sosialisasi yang gencar kepada publik juga akan dilakukan bila nantinya diwajibkan. Dan SNI yang diwajibkan akan diatur dalam regulasi berupa peraturan menteri. Artinya, saat ini pemberlakuan wajib SNI untuk masker yang beredar di pasaran belum diterapkan. Publik tidak perlu cemas, tapi juga senantiasa sadar pentingnya penggunaan masker yang efektif menangkal penyebaran virus. Itu artinya masker yang digunakan ialah berbahan kain minimal terdapat 2 lapis bila berkaca pada persyaratan dalam standar.
Memakai masker di masa pendemi seperti halnya memakai helm saat berkendara. Baik masker maupun helm digunakan untuk melindungi kita dan berguna untuk keselamatan. Kesadaran ini yang perlu terus ditingkatkan dan diingatkan baik untuk diri sendiri maupun kepada orang lain. Maskermu melindungiku, maskerku melindungimu. Masker kita untuk perlindungan bersama.
Reza Lukiawan peneliti di Badan Standardisasi Nasional
(mmu/mmu)
Seperti kita ketahui bahwa masker N95 adalah masker yang paling efektif karena sanggup mencegah masuknya percikan droplet hingga 95-100%. Jenis kedua yaitu masker medis dengan efektivitas mencapai 80-90% dan hanya untuk sekali pakai. Kedua jenis masker ini lebih dibutuhkan bagi para tenaga kesehatan yang memiliki risiko tinggi terpaparnya virus karena berinteraksi langsung dengan para pasien Corona. Bagi masyarakat umum, jenis masker yang digunakan cukup berbahan kain.
Masih segar di ingatan kita, bagaimana situasi terjadinya kelangkaan masker (khususnya masker medis) pada saat awal munculnya pandemi. Kelangkaan yang disebabkan oleh permintaan konsumen yang tinggi tidak seimbang dengan supply yang mencukupi. Hal tersebut diperparah lagi dengan ulah oknum penimbun masker yang membuat harga melambung tinggi di pasaran. Melihat situasi tersebut, pemerintah mengeluarkan anjuran bahwa tidak harus memakai masker medis sebab masker berbahan kain juga dapat digunakan.
Sejak diinformasikan anjuran dan imbauan itu, dapat terlihat mulai banyak bermunculan pelaku usaha dari skala rumah tangga hingga perusahaan menengah yang memproduksi masker kain. Yang menarik adalah diproduksi pula masker berbahan scuba dengan harga yang tergolong murah dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan harga yang dipatok pada kisaran Rp 5 ribu hingga Rp 15 ribu tentu mampu menyedot keinginan masyarakat untuk membelinya.
Apalagi masker scuba dibuat dengan berbagai macam corak, motif, tulisan hingga gambar karakter kartun yang pastinya digemari pula oleh anak-anak. Sesungguhnya masker scuba ini tidak direkomendasikan baik oleh pemerintah maupun para pakar kesehatan. Musababnya terbuat hanya dengan satu lapis dan berpori besar, tidak akan efektif menangkal masuknya virus --meskipun para pemakainya berdalih bahwa menggunakan masker scuba lebih mudah untuk bernapas.
Larangan
Menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) sebagai protokol kesehatan pada saat beraktivitas sudah menjadi adaptasi kebiasaan baru pada masa sekarang. Indonesia hingga kini belum melewati masa puncak pandemi. Penambahan kasus positif masih terus terjadi dengan angka yang tinggi meskipun pasien sembuh juga semakin banyak. Tercatat hingga 29 September, sudah ada 282.724 kasus positif dengan akumulasi jumlah pasien yang meninggal sebanyak 10.601 orang.
Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah dengan penambahan kasus positif yang meningkat sejak kebijakan PSBB dilonggarkan. Dengan alasan itu pula, Gubernur Anies Baswedan kembali mengambil kebijakan untuk menarik rem darurat kembali pada PSBB ketat. Ironisnya di Jakarta muncul kluster perkantoran yang menularkan antarpegawai di lingkungan tempat kerja. Pengawasan dalam menerapkan protokol kesehatan di perkantoran perlu dievaluasi kembali.
Namun, muncul pula dugaan bahwa penularan virus ini terjadi pada saat pegawai/karyawan menggunakan transportasi umum dari tempat tinggal menuju ke kantornya. Penularan bisa dipicu dari tidak diterapkannya jaga jarak atau masker yang digunakan tidak berfungsi efektif.
Belum lama ini, PT KAI telah mengeluarkan larangan penggunaan masker scuba dan buff bagi penumpang yang menggunakan jasa transportasi KRL. Sebab, masker ini dinilai tidak mampu menangkal virus dan justru memecah droplet menjadi lebih kecil jika ada yang batuk atau bersin. Padahal dalam gerbong kereta pada saat jam padat seperti berangkat atau pulang kerja terisi puluhan hingga lebih dari 100 orang.
Perjalanan para komuter di dalam KRL selama 30 kenit hingga lebih dari 1 jam pada ruangan ber-AC dan tertutup memunculkan risiko penyebaran virus. Maka masker menjadi proteksi pelindung diri yang paling utama, tentunya dengan masker yang sesuai standar dan memiliki efektivitas baik dalam menangkal virus.
Standar dan Sertifikasi
Merespons kebutuhan standardisasi produk dalam menanggulangi Covid-19, Badan Standardisasi Nasional (BSN) baru saja menetapkan SNI 8194:2020 Tekstil-Masker dari Kain. SNI ini dirumuskan oleh Komite Teknis 59-01 dan ditetapkan melalui Keputusan Kepala BSN Nomor 408/KEP/BSN/9/2020 pada 16 September 2020. Dokumen SNI ini dapat dilihat oleh masyarakat luas melalui situs akses-sni.bsn.go.id.
Waktu yang dibutuhkan dari proses perumusan hingga penetapan SNI masker ini tidak sampai 5 bulan. Hal ini tergolong cepat. Sebagai informasi, normalnya proses yang dibutuhkan memakan waktu sekitar satu tahun. Tetapi jika suatu produk dinilai perlu dipercepat penetapannya karena kepentingan nasional dan kebutuhan mendesak (misalnya berkaitan dengan Covid-19), maka percepatan itu bisa diwujudkan, seperti contohnya SNI masker ini.
Publik perlu tahu bahwa setiap SNI yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antarpihak pemangku kepentingan, yang terdiri dari regulator, produsen, konsumen, dan akademisi. Mengapa suatu produk perlu ada SNI? Berkaca pada UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian salah satu tujuan standar yaitu untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Selain itu perlu dipahami pula bahwa sifat dasar dari penetapan standar adalah sukarela. Terkecuali produk yang dibuat standarnya berkaitan dengan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), maka urgensi untuk diberlakukan wajib menjadi penting. Namun demikian, perlu penilaian dan tahapan yang dilakukan sebelum pemberlakuan wajib SNI. Salah satunya ialah kesiapan lembaga sertifikasi produk (LSPro) sebagai pihak ketiga yang berhak mengeluarkan sertifikat SNI.
Hingga kini sudah ada sebanyak 13 LSPro yang sedang dalam proses penunjukan untuk melakukan sertifikasi produk masker kain. Sosialisasi yang gencar kepada publik juga akan dilakukan bila nantinya diwajibkan. Dan SNI yang diwajibkan akan diatur dalam regulasi berupa peraturan menteri. Artinya, saat ini pemberlakuan wajib SNI untuk masker yang beredar di pasaran belum diterapkan. Publik tidak perlu cemas, tapi juga senantiasa sadar pentingnya penggunaan masker yang efektif menangkal penyebaran virus. Itu artinya masker yang digunakan ialah berbahan kain minimal terdapat 2 lapis bila berkaca pada persyaratan dalam standar.
Memakai masker di masa pendemi seperti halnya memakai helm saat berkendara. Baik masker maupun helm digunakan untuk melindungi kita dan berguna untuk keselamatan. Kesadaran ini yang perlu terus ditingkatkan dan diingatkan baik untuk diri sendiri maupun kepada orang lain. Maskermu melindungiku, maskerku melindungimu. Masker kita untuk perlindungan bersama.
Reza Lukiawan peneliti di Badan Standardisasi Nasional
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini