Keputusan menarik rem darurat dengan pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta tidak hanya menuai pro-kontra. Pernyataan pemerintah DKI Jakarta juga tidak kalah menuai kehebohan di jagat media sosial.
Berawal dari klaim Pemprov DKI, "Peningkatan kasus aktif di Jakarta melambat dari 49% menjadi 12% sejak Gubernur Anies Baswedan mengambil keputusan menarik rem darurat dengan kembali memberlakukan PSBB." Klaim tersebut tentu tidak hanya sebatas retorika. Pemprov DKI telah menyiapkan infografis yang seolah menyimpulkan terjadi penurunan dalam penularan Covid-19.
Sontak warganet ramai-ramai membincangkan klaim tersebut. Warganet tentu banyak yang kebingungan memaknai klaim tersebut. Karena seperti biasanya Pemprov DKI menggunakan bahasa elitis untuk berkomunikasi dengan warganya. Banyak yang mempertanyakan apakah penurunan kasus aktif berarti melambatnya penularan wabah Corona.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi yang awam dengan perkembangan berita Covid-19, kalimat tersebut memang sulit dipahami menggunakan logika sederhana. Penggunaan terminologi statistik dalam mengomunikasikan kasus Covid-19, semacam kasus aktif, tingkat kematian, tingkat kesembuhan, justru membuat publik menjadi gagal paham.
Salahnya, Pemprov DKI tidak menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami. Bahkan, bisa dibilang bahasanya hanya cocok untuk kalangan terdidik. Meskipun begitu, kalimat tersebut sejatinya dapat dijelaskan dengan premis yang lebih sederhana, yaitu kasus aktif menurun jika banyak kasus positif yang meninggal atau banyak kasus positif yang sembuh. Apakah dengan acuan angka meninggal dan sembuh berarti penularan melambat?
Seharusnya penurunan kasus aktif bukan disebabkan secara langsung oleh terjadinya pelambatan penularan wabah, tetapi lebih disebabkan oleh jumlah yang meninggal dan yang sembuh. Menjadi keliru menyimpulkan, jika menurunnya kasus aktif berarti melambatnya penularan Corona.
Untuk mengetahui pelambatan penularan Covid-19 seharusnya Pemprov DKI berpegang pada jumlah penambahan orang yang positif tes PCR dan jumlah penambahan orang yang dites PCR. Jika jumlah yang positif makin kecil dan lajunya menurun, maka penularan melambat.
Secara harfiah, klaim Pemprov DKI tidak sepenuhnya benar. Karena secara statistik berdasarkan data dari laman jakarta.corona.go.id, jumlah orang yang positif sebulan terakhir terus meningkat. Pada 30 Agustus, jumlah yang positif 39.280 orang. Pada 11 September yang positif ada 52.321 orang dan meningkat menjadi 66.505 orang pada 23 September.
Penambahan jumlah yang positif naik dari 13.041 pada 11 September menjadi 14.184 orang pada 23 September. Jelas terjadi peningkatan orang yang positif Covid-19. Jadi angka positif yang bertambah artinya makin banyak orang yang tertular Covid-19. Kalau makin banyak orang yang tertular berarti kasus penularan makin tinggi.
Maka benarlah pernyataan Anies dalam infografisnya (27/9), "Kita masih harus bekerja bersama memutus rantai penularan." Jadi jelas bahwa fakta tersebut bukanlah keberhasilan dalam memperlambat penularan Covid-19, tetapi justru merupakan cambuk untuk bekerja lebih keras menekan kasus Covid-19 di wilayah DKI Jakarta.
Strategi Komunikasi
Banyak pakar yang telah mengingatkan soal buruknya pendekatan komunikasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pilihan gaya bahasa pemerintah yang rumit dalam mengomunikasikan isu atau kasus Covid-19 berisiko membawa kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
Pilihan-pilihan istilahnya yang sangat elitis hanya akan menyasar pada kalangan tertentu saja. Strategi komunikasi pemerintah selama masa pandemi ini tentu menimbulkan masalah-masalah baru.
Salah satu dampak yang timbul akibat pendekatan komunikasi pemerintah yang elitis tersebut adalah munculnya kesenjangan informasi antara masyarakat kelas menengah ke atas dan menengah ke bawah yang berdampak sistemik, misalnya fenomena panic buying menjelang pemberlakukan PSBB.
Dalam linguistik, sebuah informasi (wacana) dapat dibingkai dengan teknik topikalisasi. Teknik ini merupakan strategi pengedepanan informasi yang akan ditonjolkan. Bagian informasi yang memiliki beban makna negatif yang lebih tinggi cenderung tidak ditonjolkan. Soal peningkatan kasus positif Covid-19 tampak tidak terlalu menonjol.
Pakar linguistik Amerika Serikat Suzanne Wertheim telah lama mengingatkan kita bahwa bahasa dapat menjadi instrumen yang sangat penting dalam memerangi wabah Covid-19. Upaya-upaya untuk mereduksi dan mengaburkan pesan akan bahaya virus ini dapat menjadi bumerang bagi kita semua. Pengaburan pesan melalui topikalisasi bisa mengurangi pemahaman dan kesadaran (consciousness) masyarakat akan tanggung jawab dan pencegahan bahaya.
Klaim-klaim prematur yang justru mengaburkan realitas di masyarakat sebaiknya tidak lagi diproduksi. Apalagi dipakai sebagai alat politik untuk meningkatkan popularitas menjelang pilkada. Ada dimensi sosial dan politik dalam perkara mengomunikasikan Covid-19. Mereka yang pekerjaan utamanya menggunakan bahasa harusnya paham dan tidak lugu.
Kegaduhan efek bahasa elitis dalam menangani bencana Covid-19 bukan pertama kali terjadi. Belum lama, publik juga mempertanyakan pernyataan Gubernur Anies, "Tingkat kematian turun tapi jumlah orang yang meninggal meningkat." Bagaimana mungkin tingkat kematian turun, tapi jumlah yang meninggal malah meningkat?
Linguis Norman Fairclough (2003) meyakini bahasa bukan lagi entitas yang netral. Di dalamnya bersemayam ideologi dan kekuasaan. Bahasa seseorang juga menunjukkan isi pikirannya. Bahasa bisa menjadi instrumen yang berbahaya ketika digunakan oleh orang yang salah dan dalam konteks (ruang dan waktu) yang salah.
Akhirnya, publik tidak butuh kata-kata, apalagi pejabat yang hanya kebanyakan menata kata. Jangan sampai PSBB kali ini menjadi kegagalan yang sama, yang akibatnya jauh lebih buruk dari yang sebelumnya. Bagi rakyat Jakarta, mereka tidak butuh angka-angka dan hitungan statistik yang susah dicerna; yang mereka butuhkan adalah hasil nyata dari pemberlakuan kembali PSBB.