Pandemi yang mempengaruhi omset perusahaan tempat saya bekerja berakibat pada kesepakatan untuk memotong gaji antara pekerja dan perusahaan. Melihat banyaknya masyarakat yang mengalami ini, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan kepada pekerja dengan penghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan.
Sial betul! Gaji saya setelah pemotongan sangat tipis di atas ambang batas penerima BLT. Kelebihan Rp 37.500.
Ah, kufur nikmat betul saya ini. Saya merasakan sendiri dengan penghasilan sebesar itu, saya masih bisa hidup dengan baik di Jakarta, apalagi masih hidup sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang orang baru mau merasa bersyukur ketika melihat ada orang lain yang ternyata lebih menderita dari dirinya. Seorang teman mengalami kasus serupa, yakni pemotongan gaji, bahkan lebih banyak dari saya. Kini gajinya Rp 5.007.500.
Seandainya gaji teman saya dikurangi lagi Rp 10.000, tentu dia akan berhak menerima BLT. Sebagai pengantin baru, tambahan Rp 600 ribu per bulan akan sangat berarti. Ya, mau bagaimana lagi, ini potongan gaji yang sudah disepakati sejak awal pandemi, bukan diskon belanja online yang minimum pembeliannya bisa dikejar agar syaratnya terpenuhi.
Lagi-lagi, manusia kufur nikmat hanya bisa bersyukur ketika mengetahui ada orang lain yang lebih menderita. Dibandingkan dengan teman saya yang pertama dan saya, teman saya yang kedua ini nasibnya lebih nyesek lagi.
Teman saya yang kedua ini adalah sales. Pandemi yang berdampak besar pada penjualnya berimbas pada pemotongan gaji yang cukup signifikan. Kini pendapatannya hanya Rp 4 juta lebih sedikit saja. Dapat BLT dong?
Ternyata, selain memotong gaji, perusahaannya juga memutuskan untuk menunggak pembayaran BPJS Ketenagakerjaan. Sialnya, yang menjadi acuan penerima BLT adalah data pendapatan di BPJS Ketenagakerjaan. Penunggakan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan membuat status keanggotaannya menjadi tidak aktif. Pada akhirnya, dia tidak berhak memperoleh BLT. Bantuan ini seharusnya akan sangat membantu keluarganya yang kini sudah memiliki dua orang anak usia sekolah.
Saya membayangkan, kasus serupa teman saya yang terakhir di atas banyak sekali dialami oleh pekerja lainnya. Pengalaman saya sendiri yang sering berhubungan kerja dengan sekolah-sekolah swasta, masih banyak guru yang upahnya di bawah UMR dan tanpa memperoleh BPJS Ketenagakerjaan. Artinya di masa pandemi ini, sudah gaji tidak seberapa, beban mengajar bertambah besar karena belajar dilakukan dari rumah, BLT yang seharusnya bisa sedikit menyegarkan ternyata tidak dapat juga.
Di satu sisi, kesalahan memang pada pemberi kerja yang tidak menunaikan kewajibannya mendaftarkan pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan. Fakta tersebut harus ditindaklanjuti tentunya. Apalagi untuk sebagian besar jenis pekerjaan, pemberi kerja memang diwajibkan oleh undang-undang untuk mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan.
Di sisi lain, pemerintah seharusnya mempunyai kriteria alternatif dan tidak berpatokan pada data pendapatan BPJS Ketenagakerjaan saja. Selain fakta bahwa banyak pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS, sebenarnya lebih banyak lagi pekerja yang tidak mendaftarkan diri ke BPJS karena mereka bukan pekerja tetap atau kontrak yang menerima upah tiap bulannya.
Mereka yang kebanyakan tidak didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja dan tidak mendaftarkan diri secara mandiri di antaranya adalah para pekerja harian. Mereka adalah para pekerja yang mendapatkan upah berdasarkan berapa hari mereka dipekerjakan. Jangan salahkan mereka kenapa tidak ikut BPJS Ketenagakerjaan sebagai peserta mandiri, karena upah harian mereka memang benar-benar hanya bisa untuk bertahan hidup dari hari ke hari saja.
Selain para pekerja harian, ada juga para wiraswasta. Dikarenakan yang menjadi patokan adalah upah pekerja terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, tentu mereka tidak bisa memperoleh BLT meskipun terdaftar secara mandiri di BPJS Ketenagakerjaan. Pandemi pasti juga berpengaruh sekali ke mereka, tidak hanya pada para pekerja.
Idealnya, pemerintah mengambil data riil dampak pandemi terhadap tiap keluarga di Indonesia untuk ditentukan apakah berhak menerima BLT atau tidak. Pekerjaan yang sungguh besar tentunya, tapi kita punya sistem pemerintahan yang bekerja hingga level desa atau kelurahan, bahkan tingkat RT/RW. Mendata warga dengan tepat tentu seharusnya bisa dilakukan, iya kan?
Saya sudah siap menyalahkan pemerintah pusat yang seolah tidak paham urusan administrasi negara seperti di atas, tapi kemudian saya teringat program BLT di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di masa Pak SBY, karena resesi ekonomi, pemerintah juga memberikan BLT kepada masyarakat. Kriteria penerimanya adalah masyarakat miskin yang didata oleh kelurahan masing-masing.
Jadi sebenarnya, upaya pendataan langsung dari level administratif paling bawah sudah pernah dilakukan, tapi ternyata ya bermasalah juga. Pada saat itu, penentuan penerima BLT diserahkan ke kelurahan. Hal ini membuat desa saya menjadi geger. Muncul gosip bahwa si A, B, dan C mendapat BLT padahal mereka tidak miskin. Gosip-gosip jalanan ini tersebar begitu cepat meskipun pada masa itu belum ada Grup WA RT atau RW.
Sangat terasa sekali tensi sosial yang begitu tegang di desa saya waktu itu. Rasa-rasanya, jika ada yang memercikkan api sedikit saja, bisa terjadi konflik horizontal.
Berbagai kejadian terkait BLT di masa pandemi sekarang, dan juga yang lampau, seharusnya sangat bisa diperbaiki apabila peraturan administratif yang sudah ada diikuti dengan baik oleh semua pihak. Di sisi pemberi kerja misalnya, andaikan mereka taat aturan dan mendaftarkan semua pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan, tentu akan lebih banyak orang yang bisa menerima manfaat BLT apabila memang seharusnya berhak untuk dapat.
Kebenaran data juga menjadi masalah krusial. Peraturan BPJS Ketenagakerjaan menyebutkan data penghasilan yang harus dimasukkan adalah gaji pokok ditambah tunjangan tetap lainnya. Sayangnya, banyak sekali perusahaan yang hanya memasukkan gaji pokok pekerjanya. Hal ini dilakukan agar tagihan BPJS Ketenagakerjaan yang menjadi beban perusahaan menjadi lebih sedikit.
Permainan perusahaan yang hanya melapor gaji pokok tersebut membuat teman saya yang tidak memperoleh BLT kesal. Ia bercerita kepada saya, salah seorang temannya dengan penghasilan hampir Rp 6 juta per bulan, memperoleh BLT karena perusahaan hanya melaporkan gaji pokoknya saja yang hanya sebesar UMR Jakarta. Karena yang terlapor di BPJS Ketenagakerjaan di bawah Rp 5 juta, temannya baru saja mendapat rapelan BLT selama dua bulan sebesar Rp 1,2 juta, meskipun sebenarnya dia sudah memperoleh gaji lebih dari Rp 5 juta per bulannya.
Seharusnya memang orang tersebut mengembalikan BLT yang didapatkannya, tapi itu masalah moralnya pribadi. Permasalahan yang bisa kita diskusikan kembali kepada perusahaan yang mencari-cari celah untuk mengurangi beban pengeluaran. Permainan perusahaan seperti ini marak terjadi, dengan contoh di atas, kasus BLT salah sasaran sepertinya juga tidak sedikit.
Negara dan pemerintah tentu tidak bisa lepas tangan dan menyalahkan perusahaan sepenuhnya. Permasalahannya utamanya memang kita tidak memiliki integrasi sistem administrasi negara yang baik. Misalnya nomor KTP yang digunakan dalam layanan perbankan. Tentu seharusnya sangat mudah melihat nomor KTP tersebut dipakai di bank mana saja. Lalu dengan kewenangan negara, tentu juga mudah untuk mengetahui bagaimana arus keluar masuk uang di tiap-tiap rekening tersebut. Data tersebut dapat diolah untuk menentukan apakah memang orang tersebut berhak memperoleh BLT atau tidak.
Contoh di atas tentu penyederhanaan saja, namun dengan teknologi informasi seperti sekarang, hal-hal administratif memang seharusnya sesederhana itu. Kita punya banyak ahli terkait sains data dan juga big data yang sangat berkompeten, dan pastinya akan bersedia memperbaiki sistem administrasi negara ini.
Sudah zaman digital lho, katanya gampang, tinggal mempekerjakan programmer anak bangsa semua pasti beres. Masak iya setiap ada BLT dan sejenisnya kita harus konflik horizontal dulu?
Faisal NH buruh start-up di ibu kota, menulis untuk cuan di kantor, menulis demi akal sehat di kehidupan
(mmu/mmu)