Revisi atas Undang-Undang (UU) Bank Indonesia (BI) sudah diselesaikan pembahasannya oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR. Secara garis besar, latar belakang terbitnya Rancanga Undang-Undang (RUU) BI karena sistem lama yang belum efektif menjawab tantangan perekonomian global dalam mendorong perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Adapun dalan RUU tersebut terjadi perubahan pada beberapa pasal di antaranya yang paling santer diberitakan terkait mekanisme pengambilan keputusan kebijakan yang diambil oleh Dewan Moneter (yang saat ini diambil oleh Gubernur BI) dan perluasan peran BI untuk mengambil kebijakan mikro (sebelumnya merupakan wewenang OJK) dan makro-prudensi.
Dengan munculnya draf RUU ke permukaan menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Munculnya Dewan Moneter dianggap akan melumpuhkan independensi BI, sedangkan kembalinya fungsi pengawasan ke BI akan secara otomatis menyingkirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang selama ini memiliki peranan penting dalam menjaga keberlangsungan moneter secara mikro-prudensial.
Dua isu yang muncul ini membuat saya tertarik untuk membahasnya. Namun pada kesempatan kali ini, fokus akan saya tujukan pada sisi independensi bank sentral; seberapa pentingkah independensi bagi bank sentral? Dan, apabila RUU BI ini disahkan apakah akan melumpuhkan independensi itu?
Beberapa Kali Berubah
Dari sisi historisnya, BI beberapa kali mengalami perubahan sistem kedudukan. Pada masa Orde Lama, mengacu pada UU BI No. 11 tahun 1953, BI dipimpin oleh Dewan Moneter yang terdiri dari beberapa menteri dan Gubernur BI dengan Menteri Keuangan sebagai ketuanya. UU BI No. 11 tahun 1953 ini belum mengatur secara jelas independensi bank sentral.
Kemudian, pada 1962 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 94, Dewan Moneter dinonaktifkan dan diganti dengan Menteri Urusan Bank Sentral (MUBS) dengan BI ank etap menjadi lembaganya. Keppres ini mempertegas bahwa BI sebagai bank sentral masuk kabinet dan mempertegas bahwa BI ada di bawah kontrol pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika Orde Lama tumbang dan masuk pada rezim Orde Baru, krisis mengharuskan restrukturisasi sistem perbankan nasional. Untuk BI, UU No. 13 tahun 1968 diterbitkan namun kedudukan BI tidak berubah. Pemerintah masih menjadi penetap kebijaksanaan bank sentral melalui Dewan Moneter sesuai Pasal 8 UU tersebut.
Selain itu, melalui UU ini, akibat krisis moneter 1997, BI mendapat izin untuk menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) tanpa batas dan persyaratan yang ketat sehingga memudahkan terjadinya konflik kepentingan sebab pemerintah tinggal memerintahkan BI mengeluarkan BLBI atau KLBI.
Pasca meletusnya Reformasi, dikeluarkanlah UU BI No. 23 tahun 1999 yang menyatakan bahwa BI sebagai bank sentral bersifat independen kecuali untuk urusan-urusan yang secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk demokratisasi kelembagaan. Hal ini juga diperkuat dengan amandemen ke empat UUD 1945 dalam Pasal 23D.
Penetapan bank sentral sebagai lembaga yang independen pada era Reformasi menghasilkan kelegaan, sebab para tokoh besar ekonomi menganjurkan bank sentral haruslah bersifat independen. Semisal pada 1824, David Ricardo menganjurkan adanya otonomi bagi bank sentral dan menganjurkan pula agar bank sentral tidak membiayai defisit anggaran pemerintah.
Kalangan monetaris seperti Milton Friedman (1976) yang memiliki peran penting dalam dunia moneter memberikan kritik kepada Keyness yang menitikberatkan perekonomian pada sisi fiskal. Bagi Friedman, pentingnya uang dan kebebasan adalah upaya untuk pengendalian inflasi dan output rill dalam jangka panjang.
Fraser (1994) mengemukakan bahwa bank sentral harus memiliki instrumen independen yang artinya bank sentral memiliki wewenang untuk menentukan cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Kemudian Meyer (2002) menambahkan bahwa bank sentral juga harus memiliki independensi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai.
Berdasarkan analisis historis dan landasan teoritis dari para pemikir ekonomi, disimpulkan bahwa independensi bagi bank sentral begitu penting dalam rangka meminimalisasi konflik kepentingan antarlembaga. Selain itu, banyak studi telah dilakukan untuk meninjau pengaruh independensi bank sentral. Hasilnya, terbukti semakin besar independensi bank sentral, semakin rendah dan stabil tingkat inflasi suatu negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Selain itu, studi lain membuktikan bahwa semakin independen bank sentral, defisit anggaran akan semakin kecil karena adanya pemisahan antara percetakan dan pembelanjaan uang.
Inkonsistensi
Menurut KBBI yang dimaksud independen memiliki arti berdiri sendiri, berjiwa bebas, dan/atau tidak terikat pada pihak lain. Merujuk pada arti independen menurut KBBI, dalam draf RUU terbaru terdapat inkonsistensi peraturan yang nyata.
Perubahan pada Pasal 4 ayat 2 berbunyi: BI adalah lembaga negara yang independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang.
Sedangkan Pasal 7 ayat 3, di dalam draf perubahan berbunyi: Penetapan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dewan Moneter. Sementara dalam Pasal 9A dijelaskan bahwa pemerintah masuk dalam komposisi Dewan Moneter bersama Gubernur BI.
Secara sederhana, pemerintah ikut dalam pengambilan kebijakan BI melalui Dewan Moneter. Hal ini bertolak belakang dengan Pasal 4 dan bahkan tumpang tindih dengan UUD 45 Pasal 23D yang menyebutkan bahwa BI bebas dari campur tangan pihak lain dalam pengertian antara BI dan pemerintah merupakan lembaga terpisah.
Berdasarkan alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa independensi BI sebagai bank sentral akan terancam dan sistem moneter Indonesia mengalami kemunduran jika RUU ini disahkan.
Oleh sebab itu, mengingat pentingnya independensi bank sentral suatu negara sebagai otoritas moneter dalam pengambilan kebijakan untuk pengendalian inflasi dan pertumbuhan output riil dalam jangka panjang dan untuk meminimalisasi risiko konflik kepentingan, sebaiknya kedudukan BI dalam ketatanegaraan tetap dipertahankan sebagai lembaga yang independen.
Renaldo Gizind Koordinator Wilayah Sumatera Bagian Selatan Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia [IMEPI]