Sendu menyelimuti bar bernuansa reggae itu. Saya melangkahkan kaki ke dalamnya, di sela kursi-kursi yang disandarkan miring-pertanda memang tempat itu tidak disiapkan untuk menerima banyak tamu.
Nyaris tak ada orang di sana. Di sudut belakang ada panggung kecil, dan perangkat pelantang suara ditaruh ala kadarnya. Pada dinding latar bertengger gambar Bob Marley tersenyum, tapi entah senyumnya ditujukan kepada siapa. Tak ada siapa-siapa di hadapannya.
"Biasanya, pemasukan kotor saya dalam sebulan bisa sampai setengah M, Mas," kata pria berkaus singlet itu. Dia si pemilik bar reggae. "Tapi sekarang, nyaris nol! Palingan ada orang lewat mampir beli bir sebotol dua botol. Sebulan dapat tiga-empat juta. Padahal buat beban listrik saja lima belas juta."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gili Terawangan, pulau kecil tempat bar itu berdiri, memang tak lagi ingar-bingar pada hari-hari ini. Perahu-perahu ditambatkan tanpa penumpang. Beberapa kereta kuda cidomo mangkal, tanpa kejelasan siapa yang sedang ditunggu. Toko-toko baju, lapak-lapak suvenir, sekarang terpaksa nyambi jualan minuman. Padahal, pada hari-hari sebelum korona datang, "Mau jalan di jalur utama sini aja susah, sepeda juga mesti dituntun, saking penuhnya dengan orang," kata petugas keamanan yang saya ajak ngobrol sambil makan siang nasi campur.
Orang-orang seperti pemilik bar reggae itu mestinya termasuk kalangan yang masih punya banyak tabungan. Tapi bagaimana dengan para pengelola penginapan seratus ribuan di dalam area perkampungan? Bagaimana dengan pedagang-pedagang kecil, tukang-tukang perahu, dan sais-sais cidomo?
"Dulu, sampai tahun 90-an, kami masih punya sawah-sawah. Sebagian lainnya masih banyak yang jadi nelayan penangkap ikan," si pemilik bar mengenang masa-masa itu.
Sejak tahun 2000-an, lanjutnya, ketika booming pariwisata Gili Terawangan mencapai puncaknya, sawah-sawah itu pun berganti wajah. Vila-vila, hotel-hotel, resor-resor. Banyak di antaranya yang dimiliki orang-orang luar Terawangan, bahkan orang-orang manca. Para nelayan pun berganti profesi, mungkin jadi tukang speed boat penyeberangan ke pulau-pulau sekitar, sementara jala-jala ikan dipensiunkan.
Sekarang, ketika pariwisata tumbang dihantam korona, hotel-hotel mangkrak, sepi, lebih cocok jadi tempat pemburu hantu menguji nyali. Para turis yang biasanya menyebar lembar-lembar Euro di situ tak kelihatan lagi, toko-toko dan restoran yang mengandalkan hujan dolar tak tahu harus menjual apa lagi. Sementara, warga Gili Terawangan tetap saja butuh makan, sedangkan panen padi di sawah-sawah tinggal kenangan.
"Tapi nggak apa-apa. Ini toh nggak akan lama," ucap si pemilik bar lagi.
Nggak akan lama. Nggak akan lama. Saya merasa mendengar secuil nada ragu pada getaran tenggorokan yang mengucapkan kalimat itu. Ah, atau barangkali dia sangat yakin, tapi saya sendiri yang ragu. Ya, saya memang ragu. Nggak akan lama? Bukankah enam bulan lalu kita mengira semua ini akan berlangsung tak lebih dari dua pekan saja? Tapi nyatanya?
Kita memang berharap mimpi buruk ini lekas berakhir. Lalu kita bangun di satu pagi yang segar, keluar berjalan kaki keliling kompleks, tanpa perlu memakai masker, tanpa perlu ke mana-mana menenteng botol kecil sanitizer, tanpa perlu mandi keramas setiap kali masuk rumah selepas bepergian, dan tiap kali bertemu teman kita bebas cipika-cipiki dan berjabat tangan.
Tapi, setelah hari indah itu tiba, apa yang akan kita lakukan untuk kembali bersiaga, kalau-kalau kutukan yang sama datang untuk kali kedua, kali ketiga, dan kali ke sekiannya?
Tempat-tempat seperti Gili Terawangan telah menjelaskan dengan utuh bahwa gemerlap pariwisata ternyata berdiri di atas kaki-kaki penopang yang amat rapuh. Dan pulau kecil itu hanyalah setitik cerita di antara cerita-cerita pilu lainnya. Bali yang paling remuk, tentu saja. Maka kita mendengar puluhan ribu pekerja di-PHK, hotel-hotel mewah banting harga sampai tinggal seperlimanya.
Lalu, sekali lagi, apa yang kita persiapkan untuk menghadapi segalanya, jika petaka yang sama mampir lagi di hari-hari kita?
Saya ingat pagi yang menyeramkan itu. Rumah-rumah kami, beserta kami sendiri, digoyang habis-habisan tanpa kami bisa melawan. Rumah keluarga kami roboh. Rumah kakek-nenek kami rata tanah. Tubuh-tubuh tetangga kami bergelimpangan, bersebelahan dengan puing-puing tembok yang basah oleh cipratan darah.
Gempa pada Mei 2006 itu begitu menakutkan. Ribuan korban berjatuhan. Salah satu penyebabnya, belakangan kami pahami, rumah-rumah kami di Bantul dan Jogja tidak mengenal rangka alias tulang besi pada tiang-tiangnya. Gempa bukan sejarah kami. Selama ratusan tahun, tak ada riwayat gempa besar di sini. Maka, ketika rumah-rumah kami hanya berupa tumpukan bata yang direkatkan dengan campuran kapur dan pasir, kami merasa tenang-tenang saja.
Barulah setelah segalanya terjadi, kekonyolan itu disadari. Sejak itu, sejak rumah-rumah dibangun kembali, batang-batang besi menjadi menu wajib yang tak bisa diabaikan lagi. Beton pada tiap sudut pun dipastikan kokohnya, agar kami lebih siap jika goncangan kembali datang kapan saja.
Artinya, ada yang dilakukan sebagai hasil dari proses belajar atas situasi bencana. Kita pernah mengalami yang buruk-buruk. Dan kita ingin, jika kejadian buruk yang sama datang lagi, kita jauh lebih siap mengantisipasi. Tak bedanya dengan warga di daerah langganan banjir yang meninggikan pondasi, sama dengan penduduk di daerah rawan kekeringan yang tekun menabung air tanpa henti.
Maka, pertanyaannya, setelah bencana korona ini, apa yang akan kita tata ulang agar nanti kita bisa lebih tegak berdiri, jika sewaktu-waktu virus pembunuh berhamburan lagi? Apakah Gili dan Bali akan tetap menyerahkan nasib kepada pariwisata sepenuhnya, persis sebagaimana pada masa-masa sebelum korona? Atau sisa-sisa sawah akan dikais-kais dan dirawat lagi, padi dan sayur-mayur ditanam massal kembali, biar tetap ada sandaran napas jika hujan dolar tengah berhenti?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Sembari berkata tidak, kita merasa yakin bahwa semuanya bisa diserahkan kepada satu mantera: "Nggak apa-apa. Ini toh nggak akan lama."
Dan dari situ kita mungkin akan belajar tentang satu hal: bahwa kita tidak belajar apa-apa.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)