Salah satu komitmen Presiden Joko Widodo selama menjabat sebagai presiden Indonesia adalah menggenjot pembangunan infrastruktur dan konektivitas antarwilayah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Salah satu daerah yang menjadi prioritas pembangunan infrastruktur adalah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Presiden meyakini program pembangunan infrastruktur, terutama di Papua, akan dapat meningkatkan mobilitas, mengangkat ekonomi lokal, dan pada akhirnya meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Maka dilakukanlah pembangunan jalan yang menghubungkan seluruh wilayah Papua, yang disebut sebagai jalan Trans Papua, dengan panjang sekitar 4.330 kilometer. Jalan tersebut membentang dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi Papua.
Pembangunan jalan Trans Papua tersebut tentu sangat berarti bagi orang Papua. Mengingat pembangunan infrastruktur seperti jalan adalah salah satu masalah mendesak yang harus dikerjakan pemerintah, karena masih terjadinya keterisolasian warga di beberapa wilayah Papua, akibat infrastruktur yang terbatas selama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehadiran jalan Trans Papua secara ekonomi bernilai tinggi karena bisa memangkas waktu distribusi barang, sehingga membuat harga bahan pokok lebih terjangkau. Selama ini harga barang-barang kebutuhan pokok di Papua relatif lebih mahal karena harus diangkut melalui udara. Dengan adanya jalan Trans Papua, otomatis akan menurunkan biaya logistik, sehingga harga-harga barang juga bisa ikut turun.
Sejujurnya, kita masyarakat di Papua, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo merasa bersyukur dan berterima kasih, karena telah banyak kemajuan pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat. Kami tidak meragukan bagaimana kesungguhan Presiden Joko Widodo membangun Papua dengan hati, sehingga kemajuan infrastruktur sangat terlihat pesat sekarang, jika dibandingkan kepemimpinan presiden sebelumnya.
Mengutamakan pembangunan infrastruktur bagi bumi Papua itu juga mengindikasikan adanya pemahaman Presiden Joko Widodo bahwa dalam menghadapi persoalan Papua tidak harus selalu melalui pendekatan keamanan, dengan memobilisasi kekuatan angkatan bersenjata, tetapi hanya diperlukan adanya kehadiran negara dalam bentuk konsistensi sikap dan komitmen tinggi untuk membangun infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara.
Dengan menerobos isolasi geografis, secara efek multiplier akan mendorong percepatan tercapainya kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan di sisi lain memperkokoh integrasi orang Papua kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Beberapa Masalah
Jalan Trans Papua tidak lain adalah bentuk aktualisasi dari konsep pembangunan Presiden Joko Widodo yang hendak menghapus kesan bahwa pembangunan hanya terpusat di Pulau Jawa saja atau "Jawasentris." Dirinya menginginkan pembangunan merata di seluruh wilayah Indonesia atau disebut "Indonesiasentris".
Terkait dengan pembangunan Trans Papua, sejauh ini sudah mulai terlihat manfaat dari pembangunan tersebut bagi rakyat Papua. Namun di samping itu, kita juga tidak bisa menghindari adanya beberapa masalah yang perlu untuk ditangani segera, agar tujuan mulia pembangunan jalan Trans Papua tidak tercederai.
Setidaknya ada beberapa catatan yang harus diperhatikan agar pembangunan jalan Trans Papua benar-benar bermanfaat bagi rakyat Papua. Pertama, pembangunan jalan Trans Papua jangan justru memfasilitasi eksploitasi Sumber Daya Alam di bumi Papua.
Selama proses pembangunan jalan Trans Papua telah bermunculan suara sumbang, baik itu dari kalangan rakyat Papua sendiri maupun pengamat di luar Papua, yang mempertanyakan manfaatnya, terutama bagi orang asli Papua. Mengingat, selama pembangunan masih saja terjadi illegal logging di beberapa tempat, bahkan banyak kamp kayu hasil penebangan ke arah sekitar Taman Nasional Lorentz Papua, yang seharusnya termasuk kawasan dilindungi.
Kedua, pembangunan jangan sampai mengancam ekonomi orang Papua. Keberadaan Jalan Trans Papua di satu sisi memudahkan akses warga, namun di sisi lain banyak dianggap malah mengancam ekonomi warga Papua sendiri. Dengan adanya kemudahan infrastruktur, hasil-hasil pertanian dan peternakan dari luar Papua menjadi lebih banyak masuk ke Papua. Sehingga hasil perkebunan dan peternakan orang asli Papua pun terancam, karena harus bersaing dengan membludaknya hasil pertanian dan peternakan dari luar Papua. Di sini perlu peran pemerintah bagaimana menerapkan kebijakan perlindungan bagi ekonomi warga lokal.
Ketiga, pembangunan jalan Trans Papua perlu memperhatikan pembangunan jalan kampung. Seperti kita ketahui bahwa proyek jalan Trans Papua hanya menghubungkan antarkabupaten atau kota. Sehingga manfaatnya kurang dirasakan secara langsung oleh warga selama jalan penghubung antarkampung belum layak. Padahal, jalan antarkampung dan distrik justru lebih dibutuhkan warga Papua untuk menunjang berbagai kegiatan usaha seperti mendistribusikan hasil perkebunan dan peternakan ke pasar.
Keempat, proses pembangunan harus melibatkan warga lokal, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan. Dalam hal ini pemerintah pusat harus melakukan evaluasi, sudah sejauh mana pelibatan warga lokal Papua diakomodasi dalam pembangunan jalan Trans Papua. Apakah sudah betul-betul mengikuti prinsip pelibatan masyarakat lokal? Kalau memang belum terpenuhi, seharusnya segera bisa diperbaiki. Pelibatan warga lokal dalam proses pembangunan itu juga penting dilakukan sebagai bentuk pemenuhan komitmen Indonesia terhadap Sustainable Development Goals (SDGs). Artinya, harus ada pelibatan masyarakat lokal dalam setiap perencanaan pembangunan.
Kelima, dibutuhkan keseriusan dalam membangun. Sejauh ini proses pembangunan jalan Trans Papua terlihat masih tidak tuntas di beberapa titik. Alias melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain. Di beberapa titik pun terlihat pembangunan tidak efisien karena melalui jalan yang lebih panjang, melewati bukit, dan berliku. Padahal ada pilihan ruas jalan lain yang lebih dekat dan relatif datar sehingga lebih efisien.
Kesan kurang serius itu juga bisa terjadi karena organisasi satuan kerja pelaksananya tidak fokus akibat beban tugas terlalu berat dan luas. Misalnya satuan kerja di Balai Bina Marga kota Sorong yang wilayah kerjanya harus meliputi kota Sorong sampai perbatasan kabupaten Sorong, bahkan sampai ke Kabupaten Tambrauw. Wilayah kerja yang terlalu luas itu membuat sulit membagi waktu dan tenaga untuk mengontrol kualitas dan efisiensi pembangunan.
Keenam, perlu ketersediaan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Demi merampungkan pembangunan jalan Trans Papua yang membentang dari Sorong sampai Merauke, memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Apalagi untuk membangun jalan yang layak dengan pengaspalan, dan bukan hanya sekadar membuat ketersambungan jalan dari Sorong sampai Merauke.
Kita memahami, anggaran yang masih terbatas membuat jalan Trans Papua belum semuanya bisa beraspal. Kadangkala di beberapa tempat ruas jalannya masih berupa tanah. Dengan keterbatasan alokasi anggaran tersebut, sudah saatnya pemerintah pusat lebih memfokuskan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur di Papua bagi pembangunan jalan Trans Papua agar bisa beraspal seluruhnya dan layak digunakan.
Oleh karena itu, demi memfokuskan anggaran untuk penyelesaian pengaspalan jalan Trans Papua, akan lebih bijak jika pemerintah pusat menunda rencana pembangunan jalan kereta api Trans Papua, yang anggarannya diperkirakan akan menelan sekitar Rp 31 triliun. Lebih baik anggaran yang besar itu dialokasikan untuk menuntaskan pembangunan jalan Trans Papua. Apalagi kereta api belum menjadi alat transportasi yang urgen untuk rakyat Papua saat ini.
Jimmy Demianus Ijie, SH anggota DPR F-PDI Perjuangan Dapil Papua Barat