Pengesahan Revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan betapa Indonesia tengah berada pada titik paling rendah dalam berkonstitusi. Praktik ini merupakan sebuah paradoks, cara-cara konstitusional ditempuh oleh DPR dan pemerintah guna menihilkan nilai-nilai konstitusi. Revisi UU MK berpotensi menjadi komoditas yang hendak ditukarkan dengan cita negara hukum yang terpatri pada mahkota MK: independensi dan imparsialitas peradilan konstitusi.
Upaya untuk membajak MK bisa jadi dilatarbelakangi oleh eksistensi MK yang "mengancam". Kendati lahir di era Reformasi dan baru berusia 17 tahun, MK memegang peran signifikan dalam menegakkan sendi-sendi konstitusi pada setiap aspek bernegara yang digariskan dalam undang-undang.
Berdasarkan catatan KoDe Inisiatif, hingga Juli 2020, dari 1319 putusan, MK mengetuk 91 putusan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan 180 putusan mengabulkan sebagian. Ketukan palu MK menyematkan putusan monumental, misalnya pembatalan keseluruhan 11 undang-undang akibat detakan "pasal jantung" tak senada dengan UUD 1945 dan tak berorientasi pada kemaslahatan publik, di antaranya UU Sumber Daya Air (2015), UU Perkoperasian (2014), dan UU Ketenagalistrikan (2003). Tak menutup kemungkinan, yurisprudensi demikian diadopsi kembali di masa depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dominasi 516 amar putusan ditolak pun tak dapat dipandang sebelah mata. Dalam perkembangannya, ratio decidendi MK bertendensi memberikan tafsiran pagar-pagar yang menjaga konstitusionalitas norma, tanpa perlu membatalkan pasal atau ayat tertentu.
Cepat atau lambat, ketukan palu MK dapat melabeli produk legislasi bermasalah bernilai inkonstitusional. Untuk mengantisipasi "ancaman" ini, satu yang bisa menjadi opsi ialah memperpanjang tangan kuasa legislator ke dalam tubuh MK, yaitu melalui Revisi UU MK, untuk kemudian menanggalkan mahkota MK.
Potret Kemunduran
Revisi UU MK menunjukkan deteriorasi moralitas berkonstitusi yang serius. Pembentuk undang-undang gagap menunjukkan urgensi pentingnya revisi yang sarat transaksi politik untuk memanjakan hakim yang saat ini menjabat. Terlebih, revisi ini pun dibangun dengan fondasi yang cacat formil. Waktu pembentukan yang memecahkan rekor tercepat, yaitu 7 hari saja, bukanlah sebuah prestasi, melainkan degradasi.
Niatan pembentuk undang-undang semakin kentara ketika proses yang mengandung cacat formil ini ditautkan dengan substansi revisi. Benih yang beracun, ditanamkan dengan cara-cara yang buruk, akan menghasilkan buah yang tengik.
Pertama, revisi UU ini bermasalah sejak tahap perencanaan, ia tak masuk Prolegnas 2020-2024. Tanpa memperhatikan sense of crisis terhadap pandemi COVID-19 dan tanpa kemendesakan, ia masuk dalam daftar kumulatif terbuka berkedok tindak lanjut putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, 34/PUU-X/2012, dan 7/PUU-Xl/2013 guna menitipkan pasal-pasal bermasalah: perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari 2.6 tahun menjadi 5 tahun; perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi maksimal 15 tahun hingga usia pensiun 70 tahun; dan peningkatan usia minimal menjadi hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun.
Dalil carry over dari periode 2016-2017 pun tak terpenuhi akibat tidak adanya kesinambungan pembahasan. Pengusul perubahan berbeda, sebelumnya diusulkan oleh Pemerintah, saat ini diusulkan oleh DPR. Draf rancangan yang dibahas pun berbeda. Draf 2016-2017 cukup banyak mendiskusikan perbaikan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK, materi yang luput dari sorotan pembentuk undang-undang di revisi yang sekarang.
Kedua, bukannya dibahas dengan penuh kehati-hatian dan mempertimbangkan aspek kemerdekaan peradilan, revisi UU ini malah dibahas kebut-kebutan, dilakukan secara tertutup, dan publik pun tak dilibatkan. Kehendak dan daulat rakyat itu tak bermakna lagi di mata para wakil rakyat.
Ketiga, Revisi UU MK tak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan sulit pula dijustifikasikan secara ilmiah. Di naskah akademik sepanjang 23 halaman, DPR sebagai pengusul tak menguraikan rasionalisasi pasal-pasal kontroversial secara yuridis, filosofis, maupun sosiologis, seperti aturan perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK; perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi; penghapusan periodisasi jabatan hakim; dan peningkatan usia minimal menjadi hakim konstitusi.
Keempat, materi muatan juga mengandung problema konstitusionalitas. Ketentuan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi maksimal 15 tahun hingga usia pensiun dan perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK mesti dibaca bersamaan dengan Pasal 87 Revisi UU MK. Secara eksplisit, Pasal 87 Revisi UU MK adalah "kado" bagi hakim konstitusi petahana. Pasal-pasal ini ialah poin inti revisi UU MK yang menjadi akar masalah, aturan berkenaan jabatan hakim berlaku mengikat bagi para hakim yang saat ini sedang menjabat.
Aturan ini berbahaya, sebab ia tak diimbangi dengan perbaikan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim konstitusi pada tiga lembaga pengusul serta pengetatan pengawasan hakim konstitusi dan penegakan kode etik dan code of conduct. Ketiga aspek ini tak tersentuh dalam Revisi UU ini, ia berpotensi membentangkan karpet merah bagi abuse of power dan judicial corruption.
Terlebih, untuk menjaga independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman serta menghindari potensi konflik kepentingan, aturan penambahan masa jabatan hakim seyogianya diberlakukan prospektif bagi hakim di periode selanjutnya.
Ketentuan ini terindikasi sebagai komoditas yang berpotensi ditukar dengan mahkota MK, terutama dalam hal pelaksanaan kewenangan constitutional review yang bertujuan untuk menilai, mengoreksi, dan menyandingkan kesesuaian produk legislasi pembentuk undang-undang dengan nafas konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Menilik praktik pada periode ini, penyusunan legislasi mengalami dekadensi signifikan. Sejak dalam proses, ia telah menuai protes karena tidak taat prosedur dan tak berorientasi pada kemaslahatan publik. Apalagi produk legislasi demikian kerap menguntungkan kuasa segelintir kelompok kepentingan tertentu dan berpotensi mengesampingkan hak-hak konstitusional warga negara, seperti yang terjadi pada Revisi UU KPK, UU Minerba, dan yang masih digodok RUU Cipta Kerja dan RUU Pemilu.
Melalui revisi ini, MK hendak ditempatkan sebagai sekutu yang mematikan sistem checks and balances terhadap legislator. Ini adalah persoalan konstitusional serius; ia berpotensi menimbulkan constitutional disaster yang dapat melumpuhkan penyelenggaraan negara berbasis supremasi konstitusi dan demokrasi konstitusional.
Ke mana publik akan memperjuangkan pemulihan dan perlindungan hak konstitusional yang diduga dilanggar oleh produk legislasi jika MK sendiri jadi perpanjangan tangan pembentuk undang-undang? Ke mana publik mesti menghalau legislasi yang membelot dari nilai-nilai konstitusi jika MK sendiri berpotensi turut melegitimasi? Pasal-pasal dan jaminan hak dalam konstitusi hanya akan jadi aturan mati tanpa keluhuran dan kemerdekaan MK yang menegakkan dan mengaktualisasikannya.
Ujian Kenegarawanan
Revisi UU MK menjadi satu ujian kenegarawanan yang prominen bagi hakim konstitusi. Paradigma para hakim dalam memandang revisi UU ini akan menjadi pertaruhan kredibilitas terhadap pribadi hakim dan institusi MK.
Tinggal menunggu waktu, bola panas akan dilemparkan ke ruang sidang MK, cepat atau lambat Revisi UU MK akan diuji konstitusionalitasnya. Tanpa pertimbangan pelik, publik dapat mengukur kadar negarawan dan integritas yang mengalir di tiap-tiap nadi hakim konstitusi melalui pengujian undang-undang ini.
Semoga, tidak ada hakim konstitusi yang memutus nadi yang mengalirkan kenegarawanan, integritas, independensi, dan imparsialitasnya guna menegakkan konstitusi, mengawal demokrasi, dan melindungi hak-hak konstitusional rakyat.
Violla Reininda Haikal Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan pada Konstitusi dan Demokrasi [KoDe] Inisiatif
(mmu/mmu)