Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa pembagian beban alias burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) akan diperpanjang hingga 2022. Alasannya karena pemerintah membutuhkan pembiayaan yang pasti dari BI seiring pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di atas 3% yang telah ditentukan hingga tiga tahun ke depan (2020-2022).
Seperti kita ketahui, pemerintah telah melakukan burden sharing di mana bank sentral membiayai belanja pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli melalui private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate. Burden sharing dilakukan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan pemerintah sebesar Rp 903 triliun.
Skema burden sharing itu pun didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan, yaitu public goods dan non public goods. Untuk pembiayaan public goods (menyangkut hajat hidup orang banyak) yang terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga dan pemda, beban ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian SBN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan, pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan korporasi non- UMKM, beban ditanggung oleh pemerintah melalui penjualan SBN ke pasar, dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%. Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar market rate.
Mekanisme extra ordinary ini dilakukan dalam situasi luar biasa dan hanya dilakukan satu kali saja, yaitu pada 2020. Namun, pemerintah berdasarkan UU Nomor 2/2020 merasa perlu mengeluarkan burden sharing jenis kedua, di mana bank sentral bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer) dalam lelang SBN di pasar perdana, rencananya dilakukan sampai 2022. Langkah ini harus dilakukan secara hati-hati, karena bisa berdampak negatif terhadap kondisi makro ekonomi yang sedang terhuyung diterpa pandemi.
Beberapa Risiko
Kebijakan burden sharing jenis kedua, di mana BI bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer) melalui pasar perdana sampai 2022 tidak bebas dari risiko terkait komitmen pemerintah dan BI dalam menjaga disiplin kebijakan fiskal dan moneter. Serta, menjaga mekanisme pasar yang kredibel demi memastikan tetap terpeliharanya kepercayaan para investor pada instrument SBN.
Setidaknya ada beberapa risiko yang harus dihadapi jika mekanisme burden sharing kembali dikeluarkan. Pertama, kebijakan skema burden sharing yang berlangsung lama akan membuat kebijakan fiskal pemerintah tidak prudent. Berbagai data empiris membuktikan bahwa perekonomian negara akan hancur bila fiskal tidak dikelola dengan baik dan penuh kehati-hatian (prudent).
Kedua, dengan terus melakukan burden sharing sampai 2022, maka bisa berdampak buruk bagi kepercayaan investor. Para investor melihat utang pemerintah melalui BI merupakan tindakan yang berisiko tinggi karena dapat menyebabkan gangguan terhadap arus modal dan pelemahan nilai tukar.
Investor asing pun melihat bahwa pembelian SBN rupiah oleh BI akan menyebabkan minat mereka menjadi berkurang. Jika pasar sudah kehilangan kepercayaan, maka kondisi ini sangat berbahaya. Pasalnya, pemerintah sangat bergantung pada pasar karena perlu menerbitkan obligasi dalam membiayai defisit. Saat ini, 80 persen utang pemerintah berasal dari penerbitan surat utang.
Ketiga, ancaman inflasi. Perpanjangan burden sharing antara BI dengan pemerintah juga akan menimbulkan masalah inflasi. Meskipun di masa pandemi ini angka inflasi terjaga di kisaran 1 persen, namun pemerintah tidak boleh lupa bahwa burden sharing yang dilakukan BI ini di masa depan bisa mengancam inflasi karena adanya kenaikan peredaran uang di saat permintaan sedang rendah. Kondisi ini bisa meningkatkan inflasi di atas 3 persen.
Berdasarkan simulasi saja, diperoleh bahwa pembelian SBN oleh BI untuk public goods sebesar Rp 397,6 triliun pada 2020 ternyata bisa meningkatkan inflasi pada 2021 sekitar 4,88% hingga 6,69%.
Keempat, yang perlu dikhawatirkan lagi adalah adanya moral hazard yang bisa terjadi dalam pembiayaan defisit APBN; belanja negara menjadi tidak efektif dan juga dapat menyebabkan independensi BI teramputasi. Secara teori, tindakan monetisasi utang memang membawa risiko kredibilitas akibat adanya ruang terjadinya moral hazard yang ditimbulkan berkurangnya independensi bank sentral.
Makin besarnya ruang kemungkinan moral hazard ini bisa berisiko pada kredibilitas. Pada akhirnya dapat mengarah kepada penurunan rating negara dan memicu kenaikan imbal hasil yang harus ditawarkan dari surat utang pemerintah.
Kelima, pelemahan rupiah. Skema burden sharing yang berkepanjangan akan memicu pelemahan nilai tukar rupiah yang disebabkan bukan hanya karena jumlah uang rupiah beredar menjadi lebih banyak, namun juga disebabkan menurunnya kepercayaan investor, yang pada akhirnya menimbulkan capital outflow.
Kondisi itu setidaknya terjadi saat BI dimandatkan membeli SBN di pasar primer pada Juni lalu. Data transaksi aliran modal menunjukkan dari 29 Juni 2020 sampai dengan 3 Juli 2020, terjadi aliran modal keluar (outflows) sebesar Rp 8,39 triliun, terdiri dari outflows SBN Rp 6,80 triliun dan saham Rp 1,59 triliun. Keluarnya aliran modal tersebut mendorong kepada pelemahan rupiah sekitar 1,8% selama Juli 2020 --selama 2020, rupiah melemah sekitar 3,6%.
Sejak pemerintah mengumumkan program monetisasi utang itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memang telah turun 2 persen. Direktur dan Analis Utama Fitch Ratings untuk Indonesia Thomas Rookmaaker mengemukakan, jika dihitung sepanjang 2020 ini, kurs rupiah telah menciut 6 persen terhadap dolar AS, dan menjadikannya mata uang berkinerja terburuk di Asia.
Kebijakan burden sharing sejatinya adalah permasalahan kompleks dan serius, karena tidak hanya menyangkut "pembagian beban" atas bunga utang pemerintah, mengingat bisa berdampak pada kredibilitas kebijakan fiskal dan moneter, yang pada akhirnya mempengaruhi ekonomi makro. Oleh Karena itu, pemerintah dan BI harus hati-hati atau mempertimbangkan kembali kebijakan untuk melakukan perpanjangan burden sharing hingga 2022.
Ade Wiharso peneliti InMInd Institute