Banjir di Jakarta adalah peristiwa berulang yang terjadi setiap musim hujan pada akhir dan awal tahun. Pangkal soalnya kita ketahui dengan jelas. Pertama, wilayah resapan air sangat sedikit. Kedua, saluran air juga sangat sedikit. Ditambah, saluran yang ada pun banyak yang tidak terawat, sehingga tidak berfungsi optimal.
Ketiga, tidak tersedia waduk-waduk penampung air dalam volume yang memadai, dan waduk yang ada pun tidak terawat dengan baik. Keempat, pendangkalan dan penyempitan sungai. Kelima, adanya pemukiman di daerah aliran sungai, yang sebetulnya memang tidak boleh dijadikan wilayah hunian.
Cara mengatasi masalah-masalah itu sebenarnya cukup jelas. Masalahnya ada pada pelaksanaannya. Dalam hal ini kinerja Pemda DKI kedodoran. Soal wilayah serapan, misalnya, ada begitu banyak pelanggaran yang dilakukan masyarakat, baik individu maupun korporasi, yang dibiarkan tidak ditindak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saluran air banyak yang tidak berfungsi, tersumbat oleh sampah atau rusak. Yang paling menonjol adalah normalisasi sungai yang tidak berjalan selama tiga tahun pemerintahan Gubernur Anies Baswedan. Ia ngotot untuk memperjuangkan konsepnya sendiri, yaitu naturalisasi sungai, yang entah bagaimana wujudnya, dan kapan akan dilaksanakan.
Singkat cerita, dalam beberapa bulan ke depan, Jakarta akan berada di bawah ancaman banjir. Peliknya, itu terjadi di tengah berkecamuknya pandemi Covid19. Setelah Gubernur DKI mengambil langkah pengetatan PSBB selama dua pekan, belum ada tanda-tanda perbaikan yang berarti di Jakarta. Penambahan pasien harian masih di atas 1000 orang hingga saat ini.
Banjir saja sudah membuat banyak kekacauan dan penderitaan. Pandemi pun begitu. Banjir datang di tengah pandemi, adalah kekacauan dan penderitaan yang berlipat ganda.
Jakarta dalam situasi siaga, mencari berbagai cara untuk mencegah orang berkumpul dan berinteraksi rapat, guna mencegah penularan Covid19. Usaha ini, selama terjadinya pandemi belum menunjukkan hasil yang berarti. Terbukti dari jumlah penularan harian yang terus meningkat. Artinya, perilaku sadar pandemi belum terbentuk pada warga Jakarta.
Banjir akan makin mengacaukan upaya penanganan pandemi yang sudah kacau itu. Ini sebenarnya perkara timbal balik secara negatif. Pandemi telah membuat upaya pencegahan banjir terbengkalai dalam hal perhatian, pendanaan, dan alokasi sumber daya manusia selama 6 bulan terakhir. Kini dampak banjir akan memperburuk situasi pandemi.
Apa yang risiko yang dihadapi oleh warga Jakarta kalau terjadi banjir besar di tengah pandemi ini? Proses penanganan banjir dan korban, serta situasi di tempat pengungsian akan meningkatkan risiko penyebaran virus. Dalam situasi bukan pandemi saja pun sudah biasa terjadi penyebaran penyakit saat banjir. Itu karena sanitasi yang buruk di tengah keadaan yang serba darurat. Kini masalah itu jadi berlipat-lipat skalanya.
Penanganan korban banjir akan sangat sulit dilakukan dengan penerapan protokol pencegahan infeksi Covid19. Demikian pula saat orang-orang berkumpul di tempat-tempat pengungsian. Banjir berpotensi melonjakkan jumlah pasien baru Covid19. Potensi meningkatnya korban banjir maupun korban penularan Covid19 akan meningkat secara drastis.
Jadi apa yang harus dilakukan? Kata kuncinya adalah penanganan dini. Jakarta selalu lemah dalam soal ini. Jangankan persiapan penanganan banjir, mekanisme peringatan dini saja pun selama ini tidak berjalan. Selama ini meski sudah diketahui situasi gawat di Katulampa, misalnya, di Jakarta tidak ada gerakan khusus memberi peringatan dini dan evakuasi warga di daerah rawan banjir.
Hal minimal yang harus dilakukan oleh Pemda DKI sekarang adalah menyiapkan tempat pengungsian dengan mempertimbangkan protokol pencegahan penularan Covid19. Dengan pertimbangan protokol itu setidaknya perlu disiapkan tempat pengungsian lima kali lebih luas dari yang biasa disiapkan. Warga yang mengungsi tidak mungkin lagi ditampung secara beramai-ramai dalam suatu ruangan seperti yang selama ini dilakukan.
Gedung-gedung sekolah yang saat ini kosong karena tidak dipakai untuk kegiatan belajar mengajar harus disiapkan untuk tempat-tempat pengungsian. Mekanisme penjagaan protokol pencegahan penularan juga harus disiapkan di tempat-tempat pengungsian itu.
Mekanisme pengungsian dengan penerapan protokol pencegahan penularan Covid19 juga harus disiapkan. Yang lebih penting adalah petugas pelaksananya harus dilatih. Melatihnya sekarang, sebelum musim banjir mencapai puncaknya. Bila tidak dilakukan pelatihan memadai, pada pelaksanaannya akan terjadi kekacauan.
Kuncinya sekali lagi penanganan dini. Pemda harus berani mengambil tindakan mengungsikan warga yang tinggal di kawasan berpotensi banjir, sekecil apapun ancaman risiko yang ada. Jangan sampai lengah, menganggap remeh ancaman banjir. Kalau pengungsian baru dilakukan ketika banjir sudah terjadi, segala macam protokol jadi tidak berarti lagi, karena pasti akan dilanggar.
Dalam dua minggu ini harus ada upaya penyadaran secara spesifik dan intensif di daerah rawan banjir soal dua ancaman besar ini. Warga harus disiapkan untuk patuh kepada arahan pemerintah.
Penanganan banjir setiap tahun masih buruk. Jakarta belum sigap dalam menangani banjir. Penanganan penularan Covid19 juga masih sangat buruk. Pemerintah dan masyarakat belum menunjukkan kinerja yang baik dalam hal ini. Kombinasi dua keburukan itu akan memperparah situasi. Tidak ada jalan lain, selain secara serius bersiap untuk menghadapi dan menanganinya.
(mmu/mmu)