Kopi Empat Lawang dan Ironi Anak Petani
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kopi Empat Lawang dan Ironi Anak Petani

Jumat, 25 Sep 2020 13:05 WIB
Muhammad Rizkita
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bersama Jek, buruh harian yang sudah bertani sejak kecil (Foto: Muhammad Rizkita)
Jakarta -

Mulai sekarang, jangan kerja terlalu tekun. Menjadi orang tajir, bahkan miliader, bukan soal kerja keras. Bagaimana dengan hoki? Bukan juga. Keberuntungan juga tidak akan membuatmu lebih mudah mengumpulkan pundi kekayaan. Tapi itu faktor genetik! Ya, DNA-lah yang menjadi faktor utama manusia bisa sukses secara finansial dan terlepas dari belenggu kemiskinan.

Demikian menurut rilis hasil penelitian Centre for Cognitive setahun silam. Sungguh hasil penelitian yang mengejutkan, pesimistis, dan terkesan terlalu mengeneralisasi. Yang pasti ada saja kok manusia yang terlahir miskin kemudian mampu terlepas dari belenggu kemiskinan dan sukses atas usahanya. Tapi hal semacam tidak berlaku bagi komunitas petani kopi di Kabupaten Empat Lawang.

Ada semacam fenomena yang membelenggu keturunan petani kopi di sini. Fenomena itu saya sebut sebagai coffee farmer circle atau lingkaran siklus petani kopi. Petani kopi yang benar-benar bertani, bukan pemilik kebun kopi. Bagi penikmat kopi, tentu sering mendengar kopi robusta Lampung, tapi tidak pernah mendengar kopi robusta Empat Lawang, bukan?

Kabupaten Empat Lawang digadang-gadang merupakan salah satu daerah pemasok kopi robusta terbesar di Indonesia yang letaknya berada di Provinsi Sumatera Selatan. Tentu saja anggapan ini bukan tanpa dasar. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Sumatera Selatan menjadi provinsi penghasil robusta terbesar di Indonesia. Pada 2019 sebanyak 184,168 ton berkontribusi terhadap pasokan kopi nasional dengan 19,42 persen atau sebanyak 26,275 ton berasal dari Empat Lawang.

Kendati demikian, kenikmatan yang didapatkan dalam secangkir kopi hitam robusta pekerja kantoran berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani kopi di Empat Lawang. Memperhatikan kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Empat Lawang seperti melihat oase di tengah-tengah kemajuan zaman. Ayu Anggriani (19), mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Bengkulu yang bersuku Asli Jemo Lintang mengamini:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lebih khususnyo keluarga petani kopi. Susah buat melakukan mobilitas sosial vertikal. Kalo dilihat dalam corak kehidupannya mereka relatif sebatas mobilitas sosial yang bersifat horizontal. Kakek petani, bapak petani, anaknya juga petani"

Barangkali Anda skeptis dan menyebut saya terlalu memojokkan profesi petani. Kalau anggapan Anda demikian, Anda tidak sepenuhnya salah. Saya memang menganggap kebun kopi sebagai akar dari masalah kesejahteraan masyarakat.

Seperti pada kebanyakan cerita daerah tertinggal, Anda mengharapkan sebuah kisah tentang potret semangat anak-anak untuk sekolah di tengah keterbatasan. Tetapi, itu tak ada di Empat Lawang. Kendati tidak bisa dikatakan sudah ideal, sepanjang pengamatan saya, infrastruktur pendidikan sudah sampai di sini. Secara total terdapat 397 lembaga pendidikan yang terdapat di kabupaten ini, terdiri dari jenjang TK sampai SMA.

Walaupun, jika dilihat persebarannya cenderung tidak merata dan tersentralisasi di Kecamatan Tebing Tinggi (pusat administratif Kabupaten Empat Lawang). Itu pun tidak semua sekolah dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, seperti gedung, kursi dan meja, dan sarana penunjang belajar lainnya.

Dari segi insentif pendidikan pun pemerintah melalui Dinas Pendidikan sejak 2017 telah meluncurkan Program Sekolah Gratis (PGA). PGA diharapkan dapat membantu siswa dari ekonomi menengah ke bawah untuk mendapatkan akses pendidikan. Meskipun begitu, permasalahan pendidikan di Empat Lawang tidak berhenti di sana. Masih ada stereotip buruk tentang pendidikan yang berkembang di benak para orangtua di Empat Lawang, dan ini tak lepas dari profesi orangtua mereka sebagai buruh tani kopi.

Saya acap mendengar anggapan bahwa sekolah hanya menghabiskan uang, toh nanti ujung-ujungnya berakhir di kebun. Pendidikan yang sebenarnya adalah hal pokok dan paling mendasar dianggap sangat superior di lingkungan masyarakat buruh tani kopi. Sebutlah A (21) misalnya, ia baru saja menamatkan SMA-nya lalu akhirnya memutuskan menjadi bekerja sebagai buruh tani kopi pada akhirnya. A mengutarakan:

ADVERTISEMENT

"Yak, amen cita-cita kito nih ado… Cuma, keadaan-lah lok ini… tuboh lemaklah pacak kuliah, jauh met di Jogja." --Ya, cita-cita kita juga punya, tapi keadaannya sudah seperti ini. Kalau kamu sih enak bisa kuliah jauh sampai ke Jogja.

Selain keabsenan finansial, anak buruh tani kopi juga mesti menghadapi lingkungan yang keras sejak kecil. Kurang lebih sebulan saya berada di areal perkebunan, tak jarang saya melihat balita di sini. Memang, tak banyak pilihan bagi orangtua karena pekerjaan mereka yang tak hanya sehari-dua hari, jelas Opin (38) seorang ayah dengan 2 orang anak.

Ayu kembali menjelaskan, "Memang lingkungan mereka itu kurang mendukung. Selain faktor ekonomi, kalau direnungin memang pergaulan mereka mengerikan. Cimeng (ganja) itu udah merusak usia anak usia dini, akhirnya putus sekolah dan memutuskan buat menikah."

Pengamatan saya selama satu bulan berada di dangau (semacam pondok tempat tinggal buruh tani kopi di kebun) seolah mengkonfirmasi pernyataan Ayu. Ketika malam menjelang dan pekerjaan harian mereka telah usai, biasanya ada dangau yang dijadikan tempat kumpul-kumpul. Memang perkara aktivitas menggunakan cimeng atau ganja sering saya dengar. Maraknya pernikahan dini di Kabupaten Empat Lawang juga menyisakan permasalahan.

"Banyak nian kalo yang nikah muda itu, kadangkala memang karena insiden, atau memang ingin segera menikah. Teman-teman saya ada yang saat SD atau SMP malah sudah menikah," jelas narasumber berinisial G (19).

Sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, usia kurang dari 18 tahun masih tergolong anak-anak. Sedangkan menurut rekomendasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, batasan usia pernikahan yakni 21 tahun bagi perempuan dan 24 tahun untuk perempuan. Karena tak dapat dipungkiri bahwa pernikahan diri mengandung banyak risiko. Selain dilihat dari sisi biologis calon mempelai yang belum siap, minimnya pengalaman bekerja dan ketidaksiapan laki-laki sebagai kepala rumah tangga akan membuat ketahanan keluarga menjadi rendah.

"Mereka kan kadang baru selesai sekolah, gak punya pengalaman kerja dan gak tau harus apa, karena di Empat Lawang mayoritas memang petani, apalagi kondisi lahan (hutan) itu masih luas untuk bertani, yah itulah jalan buat satu-satunya bagi yang nikah muda," ujar G lagi.

G juga menambahkan: "Yang nikah muda itu kan biasanya kebanyakan yang berekonomi rendah dan pendidikan rendah, jadi yaaa...semakin susah buat mandiri secara ekonomi."

Menikahkan anak menjadi opsi yang banyak dipilih oleh oran tua ketika mereka sudah putus sekolah dan berakhir sebagai buruh tani kopi. Nikahlah, mangke ade tukang beramu ialah alasan yang sering saya dengar, artinya "menikah saja, supaya ada yang memasakkan." Tak masalah berapa umurnya. Asal sudah dianggap mampu menggarap lahan, maka kalimat seperti itu akan sering dilontarkan.

Barangkali memang benar. Kalaulah sekolah sudah tidak lanjut dan sudah memilih pekerjaan kasar sebagai buruh tani kopi, akan lebih ringan rasanya kalau ada yang memasak dan mencuci pakaian sembari suami sedang bekerja. Sedangkan bagi para orangtua, menikahkan anak mereka tentu akan melegakan sedikit beban ekonomi keluarga. Demikian pikir saya ketika mendengarkan cerita orang-orang di sini.

Saya juga mencoba mewawancarai seseorang remaja putri asal Empat Lawang yang baru saja berhasil menamatkan SMA dengan beasiswa dan akan melanjutkan studi S-1 di Institut Pertanian Bogor, Pratiwi (18). Ia banyak bercerita tentang apa yang terjadi di daerahnya, termasuk alasan mendasar kenapa perubahan sangat sulit bagi anak-anak di sini kebanyakan. Sama seperti narasumber sebelumnya, ia mengeluhkan sikap para orangtua yang menurutnya kurang mendukung anak dalam mengenyam pendidikan.

"Sejauh pengamatan saya, memang para orangtua yang berprofesi sebagai petani (buruh tani kopi) suka mengajak serta anak-istrinya untuk ikut pergi ke kebun membantu suami atau ayah mereka dalam menunggu hasil kebun. Jadi ya sudah terbiasa ikut kerja kasar. Tidak jarang anak usia sekolah malah berhenti sekolah karena doktrin lingkungan mereka sendiri. Mereka beranggapan bahwa lebih baik menjadi seorang petani karena bisa dapat langsung menghasilkan uang ketimbang harus menempuh proses pendidikan yang memakan waktu yang lama. Anak-anak di sini punya paradigma, untuk apa sekolah kalau ujung-ujungnya masih bekerja sebagai seorang buruh tani."

Padahal, menurut Pratiwi, seharusnya anak-anak petanilah yang paling mampu mengubah kondisi daerah mereka. Ia beranggapan, tidak ada salahnya kalau anak-anak petani meneruskan kegiatan orangtua mereka, tapi harus lewat pendidikan. Ia menambahkan:

"Sekarang ini petani dipandang sebagai kaum rendahan karena mereka hanya memiliki skill bertani tapi tidak tahu ilmu bertani. Jadi tetap stuck di situ-situ saja. Padahal kalau bisa dipadukan dengan ilmu pengetahuan bisa menghasilkan produk inovasi pertanian yang sudah tentu akan lebih mensejahterakan kehidupan petani kopi. Ini harus lewat jalan sekolah, menempuh pendidikan."

Tulisan ini berisi keluh kesah anak petani kopi di Kabupaten Empat Lawang. Sulit menemukan anak-anak yang sadar akan perlunya perubahan, kendati bukanlah tidak ada. Saya pribadi sebagai putra asli Empat Lawang yang "berhasil" lolos dari jeratan stagnasi mobilitas sosial punya tanggung jawab moral untuk membawa serta lebih banyak anak muda sadar akan pentingnya pendidikan. Salah satunya melalui tulisan sederhana ini.

Muhammad Rizkita warga Empat Lawang, kuliah di Yogyakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads