Kita lahir di era kecepatan. Semua serba cepat. Dari dapur, menu makanan tiba cepat di meja saji. Dari sana pun muncul istilah fast food. Jarak tempuh juga ikut dipangkas di era kecepatan. Dari sana pun muncul kereta cepat, kapal cepat, bus cepat. Di tengah pandemi Covid-19, dilema era kecepatan pun dibidik. Dari sana muncul istilah tes cepat (rapid test).
Tuntutan untuk kerja cepat, bergerak cepat, dan bertindak cepat merupakan slogan yang selalu di-update di tengah pandemi Covid-19. Kita takut tertinggal jauh sekaligus takut berlama-lama berdiam dalam situasi pendemi. Karena tuntutan era kecepatan, tagar "Indonesia Terserah" pun mendadak viral beberapa bulan lalu.
Tuntutan untuk kerja cepat, bergerak cepat, dan bertindak cepat merupakan slogan yang selalu di-update di tengah pandemi Covid-19. Kita takut tertinggal jauh sekaligus takut berlama-lama berdiam dalam situasi pendemi. Karena tuntutan era kecepatan, tagar "Indonesia Terserah" pun mendadak viral beberapa bulan lalu.
Di tengah pandemi Covid-19, banyak orang merindukan kecepatan. Hal yang paling ditunggu-tunggu adalah mendengar hasil tes cepat (rapid test). Pemerintah bahkan mengerahkan seluruh tenaga, biaya, personel, dan waktu untuk proyek tes cepat ini. Selain pemerintah, masyarakat juga ikut masuk dalam gelombang proyek percepatan. Tetapi, hasilnya selalu ganda, yakni kita tetap menunggu sekaligus adanya desakan untuk menikmati hasil dari kelamaan menunggu.
Tanda lain dari tuntutan era kecepatan ini adalah soal kebelet mendapatkan vaksin.
Entering The World of Speed
Alexander Poniewierski menyebut dunia sekarang dengan istilah the world of speed. Dalam bukunya Speed: No Limits in The Digital Era (2019) Poniewierski mengemukakan alasan ia menulis. I have called this book SPEED because rapid change is effecting everything from economic develompment to business models and management behavior. Poniewierski melihat segala sesuatu di sekitarnya "accelerating".
Alexander Poniewierski menyebut dunia sekarang dengan istilah the world of speed. Dalam bukunya Speed: No Limits in The Digital Era (2019) Poniewierski mengemukakan alasan ia menulis. I have called this book SPEED because rapid change is effecting everything from economic develompment to business models and management behavior. Poniewierski melihat segala sesuatu di sekitarnya "accelerating".
Era abad ke-21 sering dibubuhi tanda "speed". Speed menunjukkan bahwa orang tengah berlomba-lomba tidak hanya dengan sesama dan waktu, tetapi dengan tuntutan zaman. Tuntutan itu bermacam, di antaranya bagaimana agar seseorang bisa menghemat waktu dan tidak ketinggalan waktu. Banyak orang kemudian berlomba-lomba untuk menerjemahkan tuntutan ini ke kehidupan nyata.
Di dunia kuliner, muncul McDonalisasi dengan konsep restoran cepat saji. Di dunia otomotif kita menyaksikan peluncuran kereta api cepat demi memangkas track laju waktu perjalanan. Dan, teknologi bahkan meluncurkan berbagai platform-nya dengan visi menyediakan yang lebih cepat. Kata pendiri Facebook Mark Zukerberg, "Move fast, and break things!"
Kita tidak bisa menolak semua realitas ini. Kita hidup di era kecepatan (the world of speed). Kita ada dalam tuntutan kemendesakan. Ray Kroc (1902-1984), sosok pria jenius di belakang persalinan waralaba restoran McDonald mampu membaca era kecepatan ini sebagai sebuah peluang bisnis. Di usia yang relatif muda, ia berambisi memasung keinginan konsumen dengan menawarkan konsep restoran cepat saji (fast food).
Pada awalnya, Kroc memulai konsep McDonald ini di Amerika Serikat. Tetapi, dalam waktu yang sangat singkat, McDonalisasi berkembang pesat hampir ke seluruh dunia.
Memasuki kultur yang mengutamakan kecepatan membuat orang begitu sibuk dan terusik. Orang tidak lagi mau berlama-lama untuk menunggu. Orang ingin cepat sampai ke tujuan. Orang ingin cepat menggenggam sesuatu. Inilah karakter yang dibawa serta di era kecepatan. Semua orang justru mendesak siapa dan apa saja, agar apa yang diinginkan bisa tercapai.
Bahkan, tuntutan era kecepatan ini mendesak para anggota DPR untuk sesegera mungkin meratifikasi produk Undang-undang penuh polemik. Inilah sebagian dari litani yang bisa diabadikan dari proyek era kemendesakan.
Proyek besar yang tengah diluncurkan era kecepatan adalah Industri 4.0. Dalam kerangka industri 4.0, kecepatan menjadi jargon utama. Dengan kata lain, era Industri 4.0 memandang kecepatan sebagai kunci utama kemajuan. Oleh karena itu, untuk memangkas waktu, semua jenis pekerjaan dan usaha dikendalikan secara rapid dan otomatically oleh teknologi. Hasilnya pun cepat dan manusia dengan cepat menikmatinya.
Lalu bagaimana tuntutan era kecepatan ini mempengaruhi perilaku manusia khususnya di tengah pandemi Covid-19?
Pandemi dan Kecepatan
Coronavirus disease 2019 merupakan jenis virus yang mudah menular. Awalnya, virus ini hanya mengintari daerah Wuhan, Provinsi Hubei, China. Dunia bahkan tidak pernah membayangkan bahwa penyebarannya akan sampai ke seluruh dunia. Penyebarannya begitu cepat (rapid). Kecepatannya melahirkan beberapa istilah yang dengan cepat pula bermetamorfosis, antara lain wabah, epidemi, dan pandemi.
Karena telah menyebar ke seluruh pelosok dunia, virus korona diberi label pandemi. Semuanya ini, sekali lagi, lahir dari kemendesakan yang dituntut pada era kecepatan. Semenjak virus korona ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), semua orang cepat-cepat membuat kebijakan dan mengatur strategi penanggulangan. Negara China sendiri kemudian membangun rumah sakit untuk penanganan pasien virus korona dalam waktu 10 hari. Sangat cepat.
Di Vietnam, pemerintah dengan cepat memberlakukan kebijakan lockdown, karantina wilayah, dan social distancing. Orang kemudian berlomba-lomba memborong masker, hand sanitizer, mengekspor dan mengimpor alat-alat kesehatan, serta menimbun kebutuhan pokok. Semuanya ini merupakan langkah antisipatif dari gelombang era kecepatan.
Di Indonesia, pemerintah dengan cepat membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019. Gugus tugas ini diyakini mampu mengerem laju penyebaran virus korona di Indonesia. Pembentukan gugus tugas ini, sesuai namanya --Gugus Tugas Percepatan-- juga merupakan reaksi dari tuntutan yang dihidupi di era serba cepat.
Saat ini, kita menyaksikan bahwa pandemi dan kecepatan ada dalam satu barisan yang sama. Keduanya berpacu memangkas waktu. Tahun 2020 sudah berada di pertengahan, tetapi tidak ada pencapaian yang terlihat. Bisnis gulung tikar. Buruh di-PHK. Wabah ketakutan merajalela. Tahun ini benar-benar tahun khusus untuk kecepatan dan kemendesakan. Kita tidak menikmati apa-apa. Kata orang, "Sebaiknya tahun 2020 diinstal ulang!" Terlalu banyak virus.
Era kecepatan atau kemendesakan memang membuka ruang agar setiap orang cepat bergerak dan bereaksi. Dalam konteks pandemi Covid-19, semua negara mempercayakan upaya penanggulangan ini kepada para dokter, team medis, dan petugas kesehatan. Mereka adalah ujung tombak dan garda terdepan dari proses penanggulangan penyebaran virus korona. Di Indonesia, para petugas kesehatan diberi ruang dan waktu untuk berproses selama pandemi.
Tetapi, di tengah perjuangan mereka, selalu ada kemendesakan dan tuntutan akan kecepatan. Banyak orang ingin agar pandemi ini cepat hilang tanpa mempedulikan perjuangan mereka selama pandemi mengintai. Di media sosial, ada yang menuntut agar tim medis, dokter, dan pelayan kesehatan bergerak cepat mengatasi pandemi Covid-19. Teriakan ini hemat saya merupakan watak bawaan dalam diri masyarakat yang sudah terinstal sebelum pandemi.
Masyarakat sudah terbiasa dengan kereta cepat, fast food, serta portal lain yang disuguhkan teknologi dalam waktu cepat. Oleh karena itu, mereka mendesak agar garda terdepan bertindak cepat. Tuntutan kemendesakan di era kecepatan ini mendorong pemerintah dan pelayan kesehatan mencari cara agar memanage ketidaksabaran masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah berupaya mengadakan alat tes cepat atau rapid test untuk mendeteksi secara dini pasien yang terpapar virus korona.
Sekali lagi, pengadaan alat rapid test adalah bagian dari kultur era kecepatan. Orang tidak mau berlama-lama menunggu dan hidup dalam bayang-bayang pandemi. Orang ingin segera pulih.
"Indonesia Terserah" vs Kemendesakan
Tagar yang pernah viral di media sosial adalah "Indonesia Terserah". Reaksi ini diperlihatkan oleh mereka yang bekerja keras dalam penanganan pandemi virus korona. Para medis dan petugas kesehatan justru merasa kecewa dengan karakter masyarakat yang tidak toleran dalam proses melawan virus korona. Banyak orang yang keluar rumah, tidak menjaga jarak, tidak menggunakan masker, dan praktik-praktik lain yang jauh dari upaya kolektif melawan korona.
Tagar yang pernah viral di media sosial adalah "Indonesia Terserah". Reaksi ini diperlihatkan oleh mereka yang bekerja keras dalam penanganan pandemi virus korona. Para medis dan petugas kesehatan justru merasa kecewa dengan karakter masyarakat yang tidak toleran dalam proses melawan virus korona. Banyak orang yang keluar rumah, tidak menjaga jarak, tidak menggunakan masker, dan praktik-praktik lain yang jauh dari upaya kolektif melawan korona.
Masyarakat Indonesia dan pemerintah dinilai kurang mengakui peran para pelayan kesehatan. Inilah cikal bakal kelahiran tagar "Indonesia Terserah." Di sana-sini, masyarakat masih mengabaikan protokol kesehatan. Selain itu, pemerintah masih belum tegas dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan selama upaya pemutusan rantai penyebaran Covid-19 ini. Kesannya pemerintah masih bongkar-pasang kebijakan.
Dari semua realitas yang ada, kita bisa menilai bahwa watak solidaritas bangsa Indonesia masih perlu dilatih. Egoisme dan intoleransi masih terlihat dalam diri setiap pribadi. Di tengah upaya para pelayan kesehatan mengerem kecepatan laju penyebaran virus korona, masyarakat justru melakukan hal sebaliknya, yakni mempercepat laju penyebaran. Inilah realitas yang terlihat. Inilah yang dinamakan dilema "between".
Di satu sisi, ada sekelompok orang yang tidak menginginkan kecepatan itu diburu. Mereka adalah para dokter dan pelayan kesehatan. Mereka benar-benar memberi waktu dan tenaga untuk menangani, mengobati, melayani, meneliti, serta berupaya mencari vaksin yang cocok untuk penanganan. Oleh karena itu, mereka berproses. Mereka butuh waktu. Mereka tidak terburu-buru. Mereka memperlambat laju.
Di sisi lain, masyarakat mendesak agar segera pulih. PSBB dilanggar, protokol kesehatan diakali, dan berbagai macam alasan dibanderol demi alasan kecepatan. Dalam hal ini, tuntutan era kecepatan mendorong masyarakat untuk keluar dari bingkai kerja sama dan solidaritas. Kecepatan membuat masyarakat enggan menoleh ke belakang melihat semua perjuangan pemerintah dan para petugas medis.
Kecepatan mendesak masyarakat agar segera berjualan, bekerja, sekolah, membuka usaha, beribadah, rekreasi, nongkrong, hingga menjumpai sesama. Inilah tuntutan yang di-back up oleh kultur kecepatan dari sisi suara publik.
Mengerem Kecepatan
Poniewierski kemudian mengingatkan kita mengenai bahaya "the world of speed". Salah satu hal yang membuat kita celaka saat menikmati "speed" adalah kita lupa mengencangkan sabuk pengaman. Fasten your safety belt! Dalam rengkuhan kecepatan, kita tetap memperhatikan keselamatan. Hal inilah yang justru diabaikan masyarakat di tengah upaya melawan pandemi Covid-19.
Kita terkontaminasi oleh kultur kecepatan, lalu terburu-buru, dan lupa akan nilai yang lebih tinggi, yakni keselamatan jiwa (salus animarum).
Poniewierski kemudian mengingatkan kita mengenai bahaya "the world of speed". Salah satu hal yang membuat kita celaka saat menikmati "speed" adalah kita lupa mengencangkan sabuk pengaman. Fasten your safety belt! Dalam rengkuhan kecepatan, kita tetap memperhatikan keselamatan. Hal inilah yang justru diabaikan masyarakat di tengah upaya melawan pandemi Covid-19.
Kita terkontaminasi oleh kultur kecepatan, lalu terburu-buru, dan lupa akan nilai yang lebih tinggi, yakni keselamatan jiwa (salus animarum).
Kita memang tengah berada dalam dilema: antara cepat (fast) dan lambat (slow). Memaksa untuk cepat justru merugikan mereka yang tengah mati-matian berjuang melawan pandemi ini --para dokter dan pelayan kesehatan. Mereka telah meluangkan waktu, tenaga, materi, raga, bahkan jiwa mereka demi memutus rantai penyebaran virus korona. Mereka berjuang untuk bangsa. Maka mereka memilih untuk mengikuti proses (slowly approaching).
Tetapi, slow approaching justru ditolak publik. Gerakan memperlambat justru memberikan angin ketidakpastian bagi perekonomian. Menegasi kecepatan menurut publik, justru menciptakan pengangguran, kemelaratan, dan bahkan kematian.
Maka, hal yang patut dilakukan di tengah pandemi ini adalah mengerem laju, baik laju penyebaran virus korona, maupun laju kemendesakan masing-masing pribadi yang berusaha untuk tidak mematuhi protokol kesehatan. Kita perlu memberi banyak ruang dan waktu bagi para dokter dan pelayan kesehatan untuk memotong rantai penyebaran virus korona. Caranya sederhana, yakni dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang ada. Pelan, yang penting selamat.
Selain itu, kita perlu bersyukur karena ada orang yang mau meluangkan waktu dan tenaga untuk melawan pandemi Covid-19. Mereka yang menjadi ujung tombak perlawanan Covid-19 seharusnya diberi dukungan dan apresiasi, bukan sebaliknya kita malah bersikap egois dan intoleran.
Berhadapan dengan gertakan era kecepatan, kita juga perlu memahami bahwa para dokter dan para pelayan kesehatan adalah manusia biasa. Mereka bukan robot yang bekerja tanpa kenal jam kerja. Mereka butuh istirahat. Mereka butuh ketawa. Mereka butuh interaksi. Mereka butuh dukungan dari kita semua. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk berlomba dengan kecepatan.
Mari kita berikan dukungan kepada mereka dengan mengerem aksi-aksi yang bertolak belakang dengan usaha mereka melawan pandemi virus korona. Maka, penting bagi kita untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang ada. Jaga jarak. Stay at home. Cuci tangan. Hindari kerumunan dan tetap jaga kesehatan. Sekali lagi, alon-alon asal kelakon.
Kristianto Naku blogger dan penulis daring
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini