Baru-baru ini Indonesia dianggap sebagai negara dengan penduduk paling religius di dunia oleh lembaga think tank asal Amerika Serikat, Pew Research Center. Hasil survei internasional tersebut membuat Indonesia unggul dari 32 negara lainnya dan hanya sejajar dengan Filipina dalam hal kepercayaan terhadap Tuhan.
Sebenarnya terdapat perbedaan religiusitas antara penduduk Indonesia dan Filipina terutama terkait dengan pengaruh agama, yang mana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan Filipina beragama Katolik. Hal itu cukup beralasan mengingat tren hijrah telah lama masuk ke budaya pop pada masyarakat muslim kota dan generasi muda Indonesia. Sehingga pertanyaan tentang hubungan antara Tuhan dengan moralitas juga memiliki pemaknaan yang berbeda.
Gerakan hijrah diperdebatkan oleh banyak orang karena ada yang mendukung dan ada pula yang mengkritisi. Di satu sisi mereka yang mendukung menyatakan bahwa itu upaya untuk memperbaiki moral masyarakat. Di sisi yang berseberangan, tren hijrah dianggap sebagai alat komodifikasi agama demi kepentingan bisnis dan politis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun mari kita cukupkan perdebatan tersebut, yang jelas apapun bentuknya variabel religius memiliki pengaruh terhadap keputusan berdonasi amal, banyak riset telah membuktikannya yang mana itu juga relevan terjadi di Indonesia. Puncaknya terjadi ketika Charities Aid Foundation mempublikasikan hasil surveinya dengan menobatkan Indonesia menjadi negara paling dermawan di dunia pada 2017. Tidak terelakkan.
Aktivitas berdonasi masyarakat kita agaknya terlihat sangat tampak ketika pademi Covid-19 ini terjadi. Banyak influencer dan selebgram berlomba-lomba membuat kampanye penggalangan dana menggunakan platform crowd-funding dengan mereka sebagai laman penghubungnya. Media sosial salah satunya Instagram menjadi alat promosi yang penting dalam menarik simpati masyarakat supaya ikut berdonasi.
Motivasi Berdonasi
Pemberian amal merupakan bagian dari ajaran Islam terbagi menjadi empat macam yaitu zakat, kafarat, wakaf, dan sedekah atau secara konvensional dikenal sebagai donasi. Dua macam awal bersifat wajib dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sedangkan dua macam akhir bersifat sukarela atas kehendak diri sendiri.
Dalam sudut padang religiusitas seseorang, indikator kebaikan seorang beragama itu adalah mentaati aturan agamanya. Motivasi berdonasi atas dasar religiusitas disebabkan oleh perintah agama dalam praktik lahiriah, yang mana ketika seorang individu melalaikan salah satu perintah agama maka akan menurunkan level religiusitasnya di masyarakat.
Di sisi lain, jika kita memaknai motivasi berdonasi atas motif spiritualitas maka itu akan mengarah ke yang transenden, sebuah cara berpikir yang melampaui rasionalitas manusia. Terdapat kepercayaan-kepercayaan tertentu dalam motivasi berdonasi bagi seorang muslim yang agak berbeda dengan umat lain.
Selain niat untuk membantu terhadap sesama yang digerakkan atas dasar altruistis atau impulsif, bagi seorang muslim ada pengharapan yang lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Mereka berharap bahwa harta yang telah disedekahkan akan mendapatkan balasan berlipat ganda dari Tuhan. Bentuk balasan tidak harus rezeki dalam berupa harta, melainkan bisa seperti kesehatan, keluarga yang harmonis, hingga teman dan lingkungan kerja yang saling mendukung --itu semua dikenal sebagai rezeki yang baik.
Bahkan terkadang pengharapannya bukan untuk hal-hal yang bersifat duniawi, namun untuk akhirat sebagai kemudahan jalan dalam meraih surga. Selain itu, kalangan muslim menyakini bahwa donasi dapat digunakan sebagai penolak bala untuk menghindarkan keburukan-keburukan yang dapat menimpa seseorang seperti sakit, kecelakaan, marabahaya, maupun musibah-musibah lainnya.
Ada makna perlidungan diri di balik tindakan berdonasi, yang mana ini terjadi karena ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan sesuatu yang gaib. Sebagai contoh, ketika kamu bercerita kepada temanmu bahwa smartphone atau dompetmu telah dicopet, biasanya ada seorang teman yang menanggapi bahwa itu ada kaitannya dengan kurang sedekah.
Memang benar bahwa pemahaman tersebut hanya dimiliki oleh seorang yang beriman dan bagi mereka yang hanya mengandalkan akal pikiran itu lebih mirip sebagai "cocoklogi" belaka. Meski demikian, sangat penting kiranya mencoba memasukkan persepsi dan pemahaman tentang pilihan dan perilaku berdonasi yang bersifat majemuk.
Masing-masing donatur memiliki persepsinya tersendiri yang sangat identik dengan afiliasinya masing-masing, kemudian dimasukkanlah pertimbangan mengenai indentitias bersama. Hasilnya ada titik temu antara akal dan iman mengenai motivasi berdonasi, yaitu kepuasan intrinsik. Yakni kepuasan yang dihasilkan dari kenikmatan-kenikmatan yang muncul setelah tindakan berdonasi yang pertama sehingga donatur ingin berdonasi lagi di kemudian hari.
Kenikmatan tersebut adalah keadaan emosional positif layaknya perasaan bahagia, senang, dan tenteram. Seorang yang berdonasi akan merasa lebih enjoy dalam aktivitas sehari-hari karena ada beban yang dirasa telah dilepas. Mereka akan menjadi lebih bersyukur atas hidup yang dijalani dan rezeki yang telah didapat, karena mereka adalah posisi yang memberi dan bukan yang menerima. Mereka yang introspeksi diri telah memahami bahwa ada banyak orang yang lebih kekurangan daripada dirinya.