"Sama saya saja tidak apa-apa, Pak. Kepala Desa kami tidak bisa berbahasa Indonesia."
Begitu kata pemuda yang memandu kami hari Minggu lalu. Kami bingung, padahal kami harus mengambil banyak data dan cerita dari kampung adat itu untuk kebutuhan penulisan buku yang sedang kami kerjakan.
Tapi apa boleh buat. Tak hanya kepala kampung, bahkan hampir seluruh warga di sana memang cuma bisa berbahasa Sasak. Lebih hebat lagi, mereka juga tak kenal dengan satuan panjang ala meter-meteran sebagaimana yang kita pakai, tak kenal juga sistem kalender Masehi, dan entah nggak kenal apa lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu karena kami tidak sekolah, Pak," sambung si pemuda kampung.
***
Ketika mendengar kalimat, "Kami tidak sekolah," jujur saja, yang terlintas seketika di kepala saya adalah hal-hal semacam keterbatasan akses, atau kebodohan, atau penolakan kepada kemajuan.
Padahal, dengan mereka membatasi diri di lingkungan sendiri yang cuma beranggota inti 700 orang itu, kawin-mawin pun dengan sepupu dan misan sendiri, sebenarnya apa yang mesti mereka akses dengan huruf-huruf abjad? Tak terkecuali, dengan jengkalan tangan untuk mengukur kain-kain yang mereka tenun, masihkah mereka perlu paham soal meter dan sentimeter?
Dalam situasi seperti itu, rasanya urusan sekolah dan tidak sekolah hanyalah soal pilihan. Perkara paham alfabet atau tidak juga perkara pilihan, tak bedanya saya belajar bahasa Inggris atau Jepang ya tujuannya hanya agar sedikit lebih tahu tentang dunia luar, bukan karena benar-benar membutuhkan.
Sialnya, kita seringkali berada dalam situasi tak bisa memilih di tengah pilihan-pilihan, tak bisa menjadikan hal-hal opsional benar-benar semata sebagai urusan opsional. Akan ada tekanan, akan ada pandangan mencibir, atau minimal akan ada ekspresi iba sebagaimana yang muncul dari wajah saya ketika pertama kali mendengar "Kami tidak sekolah" itu.
Dengan serbuan tekanan dari depan dan belakang, sebenarnya perlahan-lahan pertahanan mereka mulai jebol juga. Toh, apa yang saya ceritakan di depan tadi hanyalah "berita resmi". Selebihnya, saya mendengar penuturan bahwa warga dewasa yang sudah berkeluarga di kampung itu sekarang sudah boleh main hape, dan kain-kain tenun dijual kepada para turis dalam satuan harga rupiah.
Dengan situasi baru seperti itu, sampai kapan orang-orang kampung adat bisa bertahan dari paparan ABCD alfabet, karena mau tak mau akhirnya mereka memencet-mencet pula berbagai fitur dan aplikasi yang nongkrong di layar ponsel mereka?
Sampai kapan pula mereka akan bertahan tanpa bahasa Indonesia, ketika lambat laun mereka punya berlembar-lembar uang rupiah, dan kepemilikan atas uang menumbuhkan kebutuhan atas barang-barang yang tadinya tidak dibutuhkan, sementara untuk bertransaksi di luar kampung adat mereka mau tak mau harus berkomunikasi dengan bahasa Indonesia?
Dan, tak perlu menunggu terlalu lama, mereka akan menjadikan huruf-huruf yang sebelumnya mereka hindari itu sebagai kebutuhan. Awalnya terpapar, lalu kenal, lalu mengakses, dan akhirnya berujung pada mencandu. Begitu yang selalu terjadi dalam setiap pergeseran fase sejarah manusia, bukan?
Saya jadi ingat tokoh Chuck Nolan di film Cast Away, setelah pesawatnya jatuh ke laut dan ia terdampar di sebuah pulau tanpa penghuni. Saat berusaha mengais-ngais sisa harapan hidup, memunguti butir-butir kelapa dan menangkap beberapa ekor kepiting, ia masih mengejar dan mengambili ceceran paket FeDex yang tumpah ruah dari badan pesawat yang hancur. Ada baju, bola voli, sepatu ski, juga kaset video.
Bisa jadi ia melakukannya karena berpikir siapa tahu benda-benda itu berguna untuk upaya survival-nya. Tapi saya lebih melihatnya sebagai hasil dari akumulasi ketergantungan.
Chuck Nolan adalah seorang anggota masyarakat "modern". Ia lahir dan dibesarkan dengan produk-produk teknologi, mulai pakaian berbahan kain hingga kaset video. Tindakannya memunguti benda-benda itu adalah tindakan instingtif yang lahir dari proses keterikatan yang panjang. Benda-benda itulah yang menghubungkan dirinya dengan dunia yang ia kenal, sedangkan pulau dengan buah kelapa dan ikan berlimpah yang mampu membuatnya tetap hidup hanyalah masa lalu nenek moyangnya pada zaman pra-agraris, dan tentu saja bukan dunia yang dikenal Chuck.
Maka, kaset video, setidak-berguna apa pun di pulau sunyi itu, adalah produk budaya yang mampu sedikit memuaskan Chuck atas candu barang-barang. Dengan memegang bola voli atau sepatu ski, Chuck merasa tetap terhubung dengan dunianya, dunia yang telah begitu lama tak bisa berjalan hanya dengan daging kepiting dan butir-butir buah kelapa.
***
"Kami tak bisa lagi hidup tanpa huruf-huruf. Kami tak bisa lagi hidup tanpa buku-buku," begitu barangkali suatu hari warga kampung adat berbahasa Sasak itu akan bicara. Dengan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Sasak, dalam situasi yang agak mirip dengan Chuck Nolan ketika dia merasa lebih hidup bersama pita kaset, dan persis sebagaimana kita hari ini bilang tak bisa bernapas tanpa internet.
Lalu, apakah mereka, warga kampung adat itu, akan baik-baik saja? Apakah segala kebahagiaan dan martabat yang tegak karena ratusan tahun menjaga jarak dari hal-hal di luar diri mereka itu tidak layu kemudian mati, di tengah-tengah predikat semu sebagai, misalnya, masyarakat yang sukses membangun literasi?
"Kami tak bisa hidup tanpa wifi. Kami tak bisa hidup tanpa Instagram dan Tiktok. Kami tak bisa hidup tanpa email dan Google Drive. Kami tak bisa hidup tanpa Zoom. Kami tak bisa hidup tanpa video call...."
Itu bukan suara para pemuda kampung adat berbahasa Sasak. Itu suara kita, yang sudah lupa bagaimana dulu pertama kali terpapar dengan makhluk-makhluk yang disebut itu, lalu kenal, lalu mengakses, lalu mencandu, dan akhirnya sulit membayangkan bisa bertahan hidup tanpa semua itu.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)