Beban krisis akibat dampak pandemi Covid-19 memunculkan kebutuhan tera ulang alat dan aturan politik negara dalam hal ekonomi. Paling tidak, berlaku koreksi mengenai edar waktu pertumbuhan dengan efektivitas kebijakan. Di Indonesia, koreksi itu terutama menyangkut peran dan posisi tenaga ahli, para ilmuwan, dengan pihak pengambil keputusan dan atau pemangku kebijakan.
Perlahan tapi pasti, sepertinya kita sedang "membangunkan" dilema lama soal apakah ilmu pengetahuan itu (boleh) memihak atau ia, ilmu pengetahuan itu, adalah (harus) bebas nilai dan karenanya niscaya dalam posisi netral. Sementara itu, konsep modern mengenai pembagian kerja terbangun dalam integral dengan bagaimana sumber daya manusia disiapkan melalui pendidikan. Pembidangan kerja berlaku secara paralel dengan pembidangan fakultatif ilmu pengetahuan.
Mari melihat sejarah. Dalam hal ini, sejarah ilmu: khususnya ilmu ekonomi dan ilmu politik. Pertanyaannya, apakah ilmu ekonomi dan ilmu politik itu lahir dari teori atau dari praktik? Apa batas signifikan antara ilmu ekonomi atau ilmu politik di satu sisi dengan cita-cita ekonomi dan paham politik di sisi lain? Apakah itu seperti membandingkan atau mengukur jarak antara menara gading dengan gerbang istana?
Perlahan tapi pasti, sepertinya kita sedang "membangunkan" dilema lama soal apakah ilmu pengetahuan itu (boleh) memihak atau ia, ilmu pengetahuan itu, adalah (harus) bebas nilai dan karenanya niscaya dalam posisi netral. Sementara itu, konsep modern mengenai pembagian kerja terbangun dalam integral dengan bagaimana sumber daya manusia disiapkan melalui pendidikan. Pembidangan kerja berlaku secara paralel dengan pembidangan fakultatif ilmu pengetahuan.
Mari melihat sejarah. Dalam hal ini, sejarah ilmu: khususnya ilmu ekonomi dan ilmu politik. Pertanyaannya, apakah ilmu ekonomi dan ilmu politik itu lahir dari teori atau dari praktik? Apa batas signifikan antara ilmu ekonomi atau ilmu politik di satu sisi dengan cita-cita ekonomi dan paham politik di sisi lain? Apakah itu seperti membandingkan atau mengukur jarak antara menara gading dengan gerbang istana?
Politik Harapan
Sudah kurang lebih enam bulan Indonesia berjuang menanggulangi Covid-19. Kita mendapati bukan saja jumlah korban dalam kurva yang tidak atau belum turun melandai, melainkan juga risiko berupa pergeseran skala prioritas belanja anggaran sekaligus melemahnya daya tahan ekonomi. Dalam beberapa kondisi, kejadiannya menunjukkan bahwa secara tanpa sadar sepertinya kita menggunakan penjelasan sebagai tidak ada masalah dalam hal pertumbuhan ekonomi sehubungan logika "negara lain juga begitu".
Dalam hal ini, komunikasi sosial kita berlangsung dalam relasi permakluman, sedangkan krisis sudah semakin masuk dalam hitungan keras karena menyangkut jaminan hidup dan keselamatan masyarakat. Sebagai wewenang dan tanggung jawab, yang kita hadapi bukan saja hidup dan atau keselamatan secara alam ideal kemanusiaan, melainkan juga kenyataan material biofisik mengenai hal daya tahan kesehatan orang per orang secara keseluruhan.
Seperti dalam politik berlaku mekanisme perwakilan, dalam ekonomi juga ada disiplin pembagian kerja sampai unit "terkecil". Dalam konteks tanggung jawab dan wewenang bidang kesehatan di negara kita pada masa darurat seperti sekarang, kita mendapati bahwa sumber kewenangan tidak lagi tunggal dari pemerintah, melainkan terbentuk dari berbagai sumber yang di antaranya berupa otoritas ilmu kedokteran.
Lebih jauh, Covid-19 menunjukkan pada kita bagaimana rentang tanggung jawab yang tidak hanya domestik misalnya antara pusat dengan daerah atau antarbidang kedinasan, tetapi juga meniscayakan pertimbangan berjangka internasional. Mungkin bisa dikatakan, kita sudah sama tahu akan hal itu. Tetapi, itu perlu dikemukakan di sini terutama ketika manajemen krisis kita terkesan hanya mengandalkan manajemen "buka/tutup informasi".
Lebih dari sekadar publikasi angka statistik secara nasional atau secara daerah per daerah, masyarakat membutuhkan pegangan moral terutama dalam --setelah dalam waktu yang lama belum ada tanda-tanda membaik-- menghadapi simpang siur berita yang di antaranya bisa saja memunculkan prasangka soal siapa yang mendapat untung dan siapa yang menanggung rugi sehingga kemudian membuat sulit akan hal saling peduli.
Ekonomi Kepercayaan
Sebagai kompleksitas, ada runutan yang berawal dari persepsi bahwa sakit itu (butuh obat) mahal. Sebagian kita sudah mendapat solusi ketika mahalnya Kesehatan mendapat topangan aturan dan lembaga semisal BPJS Kesehatan. Tetapi, tak kurang: ketika dinyatakan sakit, kita segera harus membiayai bahwa mungkin kita terbawa masuk dalam garis kelompok "tidak produktif". Artinya, ada relasi yang tidak bisa diabaikan mengenai krisis ekonomi seiring pandemi dengan anggaran biaya yang diambil dari berbagai cadangan untuk mengatasi pandemi.
Lalu kenapa kita bicara kepercayaan? Ini adalah tentang profesi di bidang kesehatan yang belakangan ini menjadi bagian dari persaingan bebas industri bidang jasa. Berhubungan dengan pabrik obat dan bagaimana dokter menulis dan membaca resep serta lingkungan Indonesia dalam hal penggunaan dan pemanfaatan teknologi medis standar internasional.
Kondisi saat ini membuat kita kembali membaca, "Seandainya pun punya modal dan didukung partai kuat, kalau dokter menyimpulkan Anda sakit, Anda mungkin harus membatalkan pencalonan Anda dalam pilkada?" Dengan tambahan, yang "sakit" dalam hal ini adalah daerah berdasar zonasi pandemi; adalah masyarakat. Maksud saya, banyak gejala politik sekitar Covid-19 di Indonesia yang masih merupakan pertanda dari bagaimana cara kita selama ini memperlakukan "daerah dan masyarakat" dalam rangka visi-misi ekonomi berbasis investasi.