Pada 3 November 2020, atau sekitar dua bulan lagi, Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) akan digelar. Tidak hanya publik AS yang menanti momentum ini, tapi juga banyak masyarakat di berbagai belahan dunia. Banyak prediksi bermunculan, dan berdasarkan analisis hasil polling sejumlah lembaga survei, tidak sedikit yang meramalkan kekalahan Donald Trump dalam pilpres kali ini. Tapi, benarkah demikian?
Dalam sejarah negara Amerika, setidaknya dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, mungkin bisa dikatakan tidak ada presiden yang lebih kontroversial dibanding Donald Trump. Kontroversi ini tidak hanya terkait dengan kebijakan AS di luar negeri, tapi juga bagi rakyatnya di dalam negeri. Bahkan, keberhasilan sosok seperti Donald Trump duduk di kursi orang nomor satu di AS itu sendiri adalah sebuah kontroversi yang luar biasa.
Sebab, tidak main-main, sosok yang dilawan Donald Trump pada Pilpres AS 2016 lalu adalah politisi senior dari Partai Demokrat, Hillary Clinton dengan sederet prestasi dan pengalaman politik yang panjang. Tak hanya itu, Hillary juga maju dengan mengusung tajuk sebagai "petahana", serta menawarkan sejumlah ide inklusif dan pro-rakyat untuk memecahkan masalah rakyat AS waktu itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, ide-ide Trump sangat rasis, chauvistik, bahkan banyak statement politiknya yang bersifat tabu untuk diucapkan oleh seorang politisi sekelas calon presiden sebuah negara kampiun demokrasi. Hingga tidak mengherankan bila bagi sebagian kalangan, ide-ide Trump awalnya hanya dianggap sebagai lelucon.
Tapi Trump tetap melenggang dengan ide-ide kontroversialnya. Dan, sebagaimana kita tahu, dengan atribut kontroversi seperti inilah Trump akhirnya memenangkan Pilpres 2016 tersebut. Tidak sedikit yang bertanya, bagaimana mungkin Trump dapat melenggang ke kursi presiden sebuah negara kampiun demokrasi dengan tingkat toleransi, inklusivitas, dan rasionalitas rakyatnya yang sangat tinggi?
Mengikuti Arus Besar
Bila kita telaah, sebenarnya proses kemenangan Trump pada Pilpres AS 2016 lalu sedang mengikuti arus besar kemenangan kelompok konservatif di hampir semua belahan dunia. Pada waktu itu, gelombang kemenangan ini sudah menyelimuti hampir semua negara di Eropa, bahkan kelompok tersebut mendominasi institusi Uni Eropa. Dalam nuansa ideologis yang sama, kemenangan Trump bisa dianggap memiliki korelasinya dengan arus kemenangan konservatisme ini.
Dalam diskursus politik, konsevatisme distigmakan sesuatu yang negatif, seiring dengan menguatnya dukungan masyarakat dunia terhadap ide-ide sosialisme yang inklusif dan pro-rakyat. Tapi menurut Anthony Giddens, konservatisme yang diusung oleh banyak kelompok dunia belakangan bukan konservatisme biasa (klasik) yang kita kenal. Ini adalah konservatif radikal yang sudah meninggalkan tradisinya, dan berbalik menggugat tradisi itu sendiri.
Bahkan menurut Gidden, konservatisme ini sangat membela ekonomi kapitalis dan pasar yang selama ini menjadi musuhnya. Sehingga menurut Giddens, saat ini jalur politik radikal sudah tidak lagi dimotori oleh kelompok sosialis yang saat ini justru terjebak dalam upaya mengamankan institusi-institusi kesejahteraan daripada terus menerus melanjutkan perjuangan yang progresif bagi masyarakat (Anthony Giddens, 2012).
Tetapi, meski sudah lebih radikal, kerangka dasar pemikiran kelompok konservatif tidak hilang. Sebaliknya, fundamen-fundamen ini yang menstimulus gerakan konservatisme di seluruh dunia. Teori-teori konservatif didasarkan pada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasi oleh nurani dan impuls yang rendah, dan senantiasa siap untuk berbalik kepada keadaan kebuasan primitif. (Maurice Duverger, 2003)
Dalam hiruk pikuk keamanan global yang semakin tidak menentu pada Pilpres AS 2016 lalu, perspektif kelompok konservatif terhadap sifat alami manusia seperti menemukan pembenarannya. Bagaimana tidak, terorisme dan kekerasan acak terjadi hampir setiap pekan di seluruh negara di berbagai belahan dunia. Konflik antarnegara, krisis energi dan pangan, hingga ancaman kerusakan ekosistem global telah menghadirkan kecemasan yang merata di semua negara.
Dalam kerangka inilah ideologi konservatif menemukan momentumnya. Konservatisme yang saat ini begitu progresif dan radikal sudah dianggap sebagai solusi dalam menyelesaikan semua persoalan keamanan. Jargon-jargon tentang nasionalisme, primordialisme, dan fundamentalisme agama menjadi ide yang sangat populis untuk dijadikan landasan pemikiran yang solutif. Sebab jargon-jargon ini menawarkan sebuah justifikasi untuk melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mempertahankan diri.
Di AS, selama masa pemerintahan Obama, tingkat kekerasan dan kriminalitas meningkat tajam, disusul dengan krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Maka tidak mengherankan bila AS yang selama bertahun-tahun mengenyam rasa aman yang tanpa batas tiba-tiba terhenyak melihat potensi ancaman sudah berada di pekarangan rumahnya. Dalam konteks inilah ide-ide kontroversial Trump menemukan objektivitasnya. Kebutuhan masyarakat AS yang tinggi akan rasa aman telah secara piawai ditunggangi oleh Trump untuk mencapai posisinya sekarang ini.
Bisa Terulang?
Maka demikianlah, kemenangan fenomenal Donald Trump di Pilpres AS 2016 bisa dianggap sebagai keuntungan kontekstual. Tapi, apakah kemenangan itu bisa terulang di Pilpres AS 2020 kali ini? Mengingat, setelah hampir 4 tahun berlalu, apa yang dulu ditawarkan Trump alih-alih memberi rasa aman bagi publik AS dan dunia, justru menambah kekacauan baru baik di dalam maupun luar negeri.
Pada Pilpres kali ini, pemerintahan Trump malah dihadapkan pada masalah internal yang tak terduga, seperti munculnya isu rasisme dan pandemi Covid-19 yang secara signifikan menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat AS. Ini belum lagi ditambah dengan semakin peliknya probematika politik luar negeri yang dihadapi AS, seperti eskalasi ketegangan antara AS dengan China, Iran, dan Rusia. Bahkan di PBB, popularitas AS seperti terjun bebas setelah baru-baru ini usulannya untuk memberlakukan "Snapback mechanism" atau pemberlakuan kembali semua sanksi terhadap Iran, ditolak oleh DK PBB yang dipimpin oleh Indonesia.
Kali ini, yang dihadapi Trump dalam Pilpres AS 2020 adalah Joe Bidden, sosok politisi yang sudah malang melintang selama hampir setengah abad di belantika politik Amerika. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Obama, dan hadir dengan sejumlah solusi pro-rakyat untuk masyarkat AS. Menurut sejumlah polling yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei, elektabilitas Trump sekarang masih kalah beberapa persen dengan Bidden.
Tapi, apakah sejumlah fakta di atas sudah cukup untuk meramalkan kekalahan Trump di Pilpres 2020 kali ini? Jawabannya tentu belum. Sebab bila kita mengingat pada 2016 lalu, posisi elektabilitas Trump terhadap Hillary bahkan lebih terpuruk dibanding saat ini. Bahkan hingga menjelang hari pencoblosan tak sekalipun elektabilitas Trump mengalahkan Hillary. Artinya, di balik kontroversi yang dibuatnya, Trump sebenarnya memiliki target market yang jelas dalam kampanye politik. Mereka adalah silence majority di Amerika yang ternyata sangat mendukung ide-ide kontroversial Donald Trump.
Pertanyaannya, setelah empat tahun merasakan langsung kepemimpinan Trump, seberapa jauh perkembangan atau penyusutan jumlah kelompok ini sekarang? Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, preferensi mereka --salah satunya-- banyak didorong oleh konteks situasi keamanan nasional yang global yang tidak menentu. Bila pada konteks situasi keamanan dalam dan luar negeri AS 2016 kelompok ini memilih Trump, lantas bagaimana dengan konteks saat ini?
Wim Tohari Daniealdi dosen Hubungan Internasional FISIP Unikom Bandung