Meneladani Jakob Oetama

Obituari

Meneladani Jakob Oetama

Ishadi SK - detikNews
Rabu, 09 Sep 2020 20:22 WIB
Tiga tokoh pers nasional Mochtar Lubis (tengah), Rosihan Anwar (kiri), Jakob Oetama (kanan) beramah tamah sebelum acara peluncuran buku Tajuk-tajuk Mochtar Lubis yang pernah dimuat dalam Harian Indonesia Raya, Jumat malam (7/3/1997) di Jakarta. Peluncuran buku tersebut bersamaan dengan acara HUT ke 75 wartawan kawakan tersebut. FOTO ANTARA/ARIS/SF01/97
Jakob Oetama bersama Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis (Foto: ANTARA/ARIS/SF01)
Jakarta -

Pada Kamis, 27 September 2018 ratusan karyawan telah berkerumun sejak pagi di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta. Sementara itu, di lantai 6 tempat Pak JO (demikian Jakob Oetama biasa disapa) berkantor tiap hari, sekelompok karyawan yang lain berlatih beberapa lagu, di antaranya "kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati" dan Oh My Papa, lagu lawas yang menjadi kesukaan Pak JO. Pukul 08.30, JO masuk ke ruang kerja, serentak karyawan menyampaikan selamat seraya menyanyikan lagu kesayangannya tersebut. Hari itu Pak JO berulang tahun ke-87.

Suasana meriah sekaligus mengharukan, melihat betapa karyawan Kompas Gramedia sangat menghormati, mencintai, dan menyayangi JO. Memang luar biasa, menyelesaikan sekolah SMA Seminari pada 1951, JO melanjutkan sekolahnya di Seminari Tinggi Kota Baru Yogyakarta, namun hanya 3 bulan ia mengundurkan diri. Keputusan mundur dari pendidikan seminari itu mengecewakan khususnya orangtuanya, maupun para pengasuh seminari. JO kemudian sekolah Publisistik di UGM, sekolah yang mengubah sejarah kehidupannya dari calon pastor menjadi calon jurnalis.

April 1961, begitu selesai kuliah Publisistik di UGM, dia diajak PK Ojong, pendiri majalah mingguan Star Weekly, mendirikan majalah bulanan Intisari. Terbit pertama kali Agustus 1963, Intisari segera berkembang diminati khalayak. Masyarakat menginginkan sebuah bacaan yang syarat dengan ilmu pengetahuan seperti Reader's Digest. JO merekrut Swantoro, J Adisubrata, Indra Gunawan, Kurnia Munaba, dan Irawati SH --lulusan FH Undip Semarang yang menyatakan rela tidak dibayar berbulan-bulan asal diperbolehkan bergabung di Intisari. Kelompok ini kemudian menjadi cikal bakal kekuatan Harian Kompas yang didirikan 28 Juni 1965, sebuah harian yang didukung oleh umat Katolik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zaman itu koran memang terbagi dalam berbagai kepentingan sosial, agama, maupun politik, mulai dengan Abadi (Masyumi), Duta Masyarakat (Partai NU), Suluh Indonesia dan Suluh Marhaen (PNI); Harian Rakyat, Harian Bintang Timur, Warta Bhakti (PKI); Pedoman, Harian Nusantara (PSI), dan Sinar Harapan (Protestan). Serta, berbagai koran partisan lainnya.

JO mengakui belajar jurnalistik dari PK Ojong yang dianggap kuat di bidang humaniora serta prinsip nilai-nilai kemajuan, juga dari Mochtar Lubis, sosok yang berani dan memegang teguh prinsip, dan Rosihan Anwar yang pakar dalam menorehkan tulisan jurnalistik yang juga kuat dalam persoalan humaniora.

ADVERTISEMENT

Kompas perlahan namun pasti berkembang menjadi koran independen yang disukai pembaca dari kelompok agama maupun aliran politik mana pun. Meskipun amat sangat menjaga independensi, Kompas tidak luput dari turbulensi. Pada 21 Januari 1978, Kompas menjadi salah satu dari koran dan majalah yang dilarang terbit oleh Presiden Soeharto.

Tiga minggu kemudian pemerintah mengizinkan Kompas terbit kembali asal bersedia menandatangani pernyataan tertulis yang isinya permintaan maaf sekaligus berjanji tidak akan memuat tulisan yang menyinggung penguasa. JO dan PK Ojong saling beda pendapat. PK Ojong menolak keras, dan lebih baik menutup Kompas selama-lamanya sementara JO kemudian tampil ke depan dan menandatangani permintaan maaf serta janji kesetiaan kepada pemerintah.

Hingga 20 tahun kemudian JO memegang teguh janjinya untuk tidak melakukan kritik terbuka dan vulgar. Sikapnya yang hati-hati sering menjadi bahan cemooh pembaca. Rosihan Anwar, pemimpin Harian Pedoman, menyebut Kompas sebagai jurnalistik kepiting. Artinya, selalu menata kata dalam menulis kritikan terhadap pemerintah. Kalau dirasa membahayakan, layaknya "kaki kepiting" bisa mundur beberapa langkah.

JO sadar melihat kelemahan ini dan mengimbanginya dengan jurnalisme berkualitas. Lewat kemampuan profesional para jurnalisnya, secara terus-menerus Kompas juga dikenal memberi ruang bagi para pengambil keputusan, khususnya para tim ekonomi pemerintah untuk menjelaskan secara jujur dan lengkap apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Akhirnya, Kompas tidak lagi menjadi koran biasa tapi menjadi forum diskusi intelektual yang bernas. Ini yang membuatnya beda dan tidak bisa ditiru koran lain. Selama berpuluh tahun JO kemudian menjadi tempat untuk menguji kebenaran hakiki. Kualitas wartawan ditingkatkan, antara lain dengan peningkatan gaji dan pendapatan bersaing dengan surat kabar lain yang ada. Ini yang menyebabkan wartawan "betah" dan berdedikasi penuh menjaga kualitas jurnalistiknya dengan cara lebih akurat, lebih lengkap, dan lebih cepat.

Sejak awal JO menyadari bahwa usaha media rawan terhadap guncangan politik. Pada Februari 1970, dirilis usaha Toko Buku Gramedia. JO juga menyetujui ketika diusulkan untuk memulai usaha baru di sektor perhotelan. Diawali dengan mendirikan hotel kecil di Jalan Sumatera, Bandung, Santika Group berkembang pesat hingga mencapai lebih dari 100 hotel di Indonesia. Grup ini juga berhasil membangun convention center terbesar di Indonesia, yakni di Nusa Dua Bali dan BSD Jakarta. Hotel Santika di Nusa Dua menjadi lokasi utama Pertemuan Tingkat Tinggi Dunia, dan menjadi lokasi IMF dan World Bank Annual Meeting.

Di usia yang ke-78, Jakob Oetama telah membangun sebuah kelompok usaha media yang komprehensif dan menjadi Kompas Indonesia yang sesungguhnya. Tidak hanya di media cetak, namun juga media online, termasuk televisi; Trans 7 (berasal dari TV 7 yang pada 2006 diakuisisi 55% sahamnya oleh CT Corp) dan Kompas TV.

Jakob Oetama tidak pernah memberhentikan karyawan. Mereka yang memasuki usia pensiun ditawari kerja di berbagai usaha non media Kompas Gramedia yang ada.

Melihat perkembangan yang demikian pesat usahanya, pada 2012 ketika Kompas Gramedia berusia 50 tahun, JO menulis: "Pohon yang kita tanam berbuah mekar, berkembang sehingga jadi berkat yang bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang."

Ishadi SK Komisaris Transmedia

Catatan: tulisan ini pertama kali diunggah di kolom "Common Sense Ishadi SK" pada 2 Oktober 2018, diunggah kembali untuk mengenang Jakob Oetama yang meninggal dunia pada hari ini di usia 88 tahun.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads