Yang terlewat dalam hal ini adalah klarifikasi posisi negara sebagai regulator yang menjamin kelangsungan strukturasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Ada situasi bahwa selama ini kalkulasi SDA dan SDM sebagai modal nasional banyak terdistorsi dan tumpang tindih dengan kondisi yang berlaku sebagai pemetaan (kepentingan) politik.
Dalam rangka objektif, memang kita mendapati kebutuhan untuk dilakukannya abstraksi Indonesia sebagai suatu satuan ekonomi yang bisa mengkonsolidasikan aturan umum baik yang berbasis pembidangan sektoral ekonomi maupun persebaran teritorial dari modal. Omnibus Law menjadi keniscayaan dalam lingkup konteks tersebut. Tetapi dengan catatan, negara harus lebih terbuka dengan argumentasi masyarakat di luar sebatas representasi parlementarian seperti tarik menarik pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR beberapa waktu terakhir.
Kenapa (argumentasi) masyarakat? Ini bisa dijelaskan dengan contoh misalnya kebijakan politik SDM dalam hal kesiapan para lulusan sekolah atau perguruan tinggi untuk masuk produktivitas kerja yang diatur pemerintah termasuk tingkat upahnya, sedangkan masyarakat menggunakan perhitungan: "bukankah anak saya sekolah atau kuliah dengan biaya (orangtua) sendiri?"
Artinya, kita perlu membaca ulang tahap-tahap regulasi yang sedang dikanalkan menjadi kebijakan satu pintu RUU Cipta Kerja tidak sebatas kecukupan pertanggungjawaban konseptual, melainkan juga hitungan nyata mengenai keseimbangan antara proyek ekonomi dalam rangka keseimbangan internasional di tengah ketergantungan kita pada investasi asing di satu sisi dan regulasi berdasar apresiasi atas pertumbuhan modal dan perkembangan sumber daya nasional di sisi lain.
Negara harus memberitahukan keberadaannya sebagai organisasi sedemikian rupa sehingga terbentuk standar baku dari nilai keorganisasian negara dalam konteks ekonomi sebagai penjelasan bahwa negara punya hak penuh, misalnya, dalam hal pungutan pajak. Atau contoh lain, bahwa negara bisa menjamin mata uang yang kuat di antara mata uang lain dalam tatanan finansial global.
Sedikit naif, RUU Cipta Kerja tidak boleh mengabaikan apa yang dalam sistem ekonomi politik di Indonesia dipahami sebagai "kerja". Di masyarakat kita, ada kondisi upah penghasilan yang tidak sesuai harapan yang kemudian memunculkan semacam "hiburan" bahwa kerja adalah ibadah dalam arti mencari nafkah untuk anak istri, misalnya. Bahkan ada di antara kita yang dengan organisasi tertentu memiliki kesanggupan untuk mensejahterakan diri dengan "kerja politik".
Kita bicara ekonomi dan kemudian melihat budaya. Dan pada saat yang sama, ada juga kita menjalani budaya lalu mendapat ekonomi seperti dalam industri pariwisata. Dan dari penjelasan budaya ekonomi modern, hal tindakan tertentu bisa disebut sebagai pekerjaan ketika menjadi proses teratur dari terbentuknya pertambahan nilai. Kerja dan (pertambahan) nilai inilah yang negara perlu hadir dalam bentuk kesadaran melalui instrumen kebijakan yang menghormati, termasuk ketika perkembangan terakhir banyak cetusan mengenai aktivitas kerja sebagai proses aktualisasi diri seperti produktivitas para artis dan seniman.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini