Saat masih bocah dulu, setahu saya jerawat adalah tanda seseorang telah dewasa. Pasalnya, kata bapak dan ibu memang seperti itu. Wajah mereka juga berjerawat. Oleh karena itu, ada keinginan untuk memiliki wajah yang berjerawat agar bisa dianggap dewasa.
Pengetahuan itu diperkuat lagi oleh materi pelajaran IPA di sekolah, bab pertumbuhan dan perkembangan manusia yang membahas pubertas yang dialami saat remaja. Dan, dijelaskan bahwa salah satu ciri-ciri pubertas adalah timbulnya jerawat pada wajah.
Tapi keinginan memiliki wajah berjerawat mulai saya kubur dalam-dalam ketika saya duduk di bangku SMA. Bagaimana tidak, wong saat wajah saya mulai berjerawat, alih-alih dianggap sudah dewasa, justru dibilang jelek, kotor, dan tidak bisa merawat diri. "Mulai dipikir buat ngerawat diri, kan sudah gede," kata teman-teman.
Dan, pengetahuan tentang jerawat sebagai tanda pubertas mulai saya pertanyakan. Teman-teman yang berkomentar pedas terhadap wajah berjerawat ini justru harusnya nggak heran dong. Bukankah timbulnya jerawat sebagai ciri-ciri pubertas sama seperti tumbuhnya kumis, jenggot, dan rambut lainnya di bagian tubuh tertentu? Lalu mengapa mereka harus heran? Seperti tidak pernah mendapat materi tentang pubertas saja!
Sebenarnya, berbagai usaha seperti memakai sabun cuci muka yang katanya ampuh, berbagai jenis masker wajah, hingga perawatan di klinik kecantikan sudah dilakukan. Namun komentar mereka tetap akan ada selama jerawat belum hilang, dan membuat saya jadi rendah diri --yang sekarang saya tahu perasaan itu disebut insecure.
Bahkan saya pernah di tahap sedih sekali dengan komentar teman-teman saya. Pokonya tidak tertahankan. Mungkin akan dianggap cengeng atau apa, namun nyatanya memang demikian. Coba bayangkan saja, mereka tidak melihat bagaimana Anda berusaha, kemudian Anda terus menerus direndahkan. Bahkan, wajah Anda dijadikan standar bagaimana buruknya wajah seseorang. Bagaimana rasanya?
Saya tak bisa membayangkan apabila komentar-komentar pedas itu ditujukan pada perempuan. Apalagi dalam kesadaran masyarakat --dan perempuan itu sendiri-- terdapat anggapan bahwa perempuan harus cantik, mulus, dan bersih.
Dan, hal itu sudah pasti terjadi. Saya sebagai lelaki saja --yang sebenarnya tidak masalah dengan jerawat-- bisa merasa insecure. Apalagi mereka, para perempuan, yang dituntut berpenampilan ideal, pasti lebih terbebani oleh komentar pedas saat wajahnya berjerawat.
Bagi saya, permasalahannya bukan pada kuat-kuatan menahan komentar buruk itu. Namun lebih pada pemahaman masyarakat tersebut. Sebab, sebesar apapun usaha memperbaiki diri serta sekuat apapun usaha meredam sakitnya komentar jahat itu, perasaan insecure tak bisa hilang begitu saja. Lebih jauh lagi, perasaan tersebut mendorong siapa pun korban body shaming menjadi over thinking bahkan depresi.
Lebih bahaya lagi, kebiasaan body shaming jika dibiarkan akan melanggengkan produk budaya patriarkis dan warisan kolonialisme lainnya. Katanya, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan? Padahal body shaming menurut Kamus Oxford adalah bentuk agresi terhadap tubuh orang lain. Itu merupakan penjajahan atas tubuh (bahkan jiwa) manusia yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Masalah Serius
Memang body shaming menjadi masalah serius yang tak mengenal gender. Namun, kaum perempuan pasti lebih dirugikan. Sarah Bartky dalam esainya di Feminist Social Thoght: A Reader mengatakan bahwa berkat kekuatan patriarkal, tubuh wanita diatur untuk mencapai keidealan. Pengidealan tersebut bahkan hanya menurut mode pada waktu tertentu.
Dan, meski di dunia tempat maskulinitas lebih mendominasi ini, kaum lelaki juga terkena dampak buruknya. Perasaan insecure pada lelaki seakan menjadi hal yang tidak normal. Apalagi "hanya" karena dicela wajahnya berjerawat, seperti yang pernah saya alami. Akan dianggap lemah, "baperan", dan segala cacian sejenis jika tak kuat menahan sakitnya body shaming. Mereka kira perasaan seorang lelaki itu nggak bisa terlukai atau bagaimana sih?
Maka dari itu, self love sebagai solusi perasaan insecure akibat body shaming rasa-rasanya menjadi utopis. Sudah pasti menerima kekurangan dan mencintai diri sendiri di tengah lingkungan yang tidak mendukung ini adalah hal yang begitu sulit. Sebesar apa pun kecintaan terhadap diri sendiri, di hadapan penghalang bernama tuntutan patriarki hanya akan menemui kesia-siaan.
Mungkin akan beda cerita jika mencintai dan menghargai diri sendiri sebagai kesadaran yang dimiliki oleh setiap orang. Apalagi jika sudah didapatkan sejak usia dini melalui edukasi oleh orangtua sebelum masuk ke dunia sekolah. Sebab jika semua edukasi dibebankan pada sekolah --meski memang itulah tugasnya-- akan terlalu ribet dengan urusan kurikulum.
Selain itu, pendidikan tersebut lebih baik diberikan oleh orangtua agar saat anak-anak dikenalkan dengan kehidupan sosial di sekolah; mereka sudah sampai pada pemahaman untuk menghargai orang lain. Sebab mereka sudah mampu menghargai diri sendiri lebih dulu.
Menghargai orang lain adalah kunci utama dari permasalahan ini. Dengan kemampuan itu, tidak akan ada lagi tuntutan terhadap keidealan tubuh seseorang. Bagaimana pun bentuknya, semua ideal. Kecintaan pada diri sendiri berarti juga kecintaan pada orang lain. Tentu hal tersebut harus menempuh jalan panjang untuk mewujudkannya. Tapi tidak ada yang mustahil, bukan?
Jika pemahaman itu sudah dimiliki semua orang, tentu akan mengurangi praktik-praktik lain yang dihasilkan dari budaya patriarki. Dan dunia yang equal bukan sesuatu yang utopis lagi. Semoga saja.
Alaska Young, tokoh perempuan dalam novel Looking for Alaska karya John Green pernah berkata, "Bagaimana mungkin patriarki akan musnah dari dunia ini, jika sesama wanita masih saling menusuk dari belakang!". Dan saya, seorang lelaki yang menulis tulisan ini akan berkata, "Bagaimana mungkin dominasi maskulinitas akan musnah, jika setiap lelaki yang merasa insecure selalu dianggap lemah!"
Oleh karena itu, kaum insecure sedunia, bersatulah!
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini