Presiden Jokowi berkali-kali mengungkapkan kekecewaan terhadap para menterinya. Seperti pada sidang Kabinet Paripurna (18/6), rendahnya penyerapan Anggaran Kementerian dalam mengatasi Covid-19 di sektor kesehatan, program perlindungan sosial, program UMKM, stimulus ekonomi, dan dukungan untuk pemerintah daerah menjadi penyulut kemarahan Presiden kepada para menteri.
Kemudian, pada rapat terbatas kabinet (3/8), selain realisasi serapan anggaran yang rendah, Presiden Jokowi juga mengeluhkan banyaknya kementerian dan lembaga negara yang masih belum menentukan prioritas dan menyusun Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Tak hanya dalam situasi krisis Covid-19 saja, pada keadaan normal pun pemerintah juga sering dihadapkan dengan fenomena rendahnya serapan anggaran. Tentunya ada banyak hal yang dapat dijadikan alasan atas lambatnya penyerapan anggaran tersebut. Salah satunya adalah ketakutan aparatur negara bila keputusan yang dibuat menjadi bumerang yang menyeret mereka ke ranah hukum pidana (baca: kriminalisasi).
Ada semacam fobia dari para pejabat pemerintahan ketika mendengar kata ''kerugian negara''. Mereka khawatir dengan adanya kerugian negara yang identik dengan korupsi dan masuk penjara. Penelitian disertasi Dian Puji N. Simatupang menunjukkan 72,2% beberapa perkara yang seharusnya kesalahan administrasi semuanya dipidanakan.
Beberapa kasus kriminalisasi kebijakan seperti kasus kebijakan bailout Bank Century yang merupakan diskresi pemerintah di bawah Menteri Keuangan ketika mengatasi gejolak perekonomian dan kasus pengadaan mobil listrik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan tentunya menjadi memori buruk bagi para pembuat kebijakan. Akibatnya, terjadi stagnasi proses penyelenggaraan negara, mengganggu pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan investasi, dan tidak membantu memperbaiki kelesuan ekonomi.
Padahal, kebijakan dan diskresi aparatur negara bukanlah ranah hukum pidana dan kompetensi peradilan umum untuk mengujinya. Kebijakan dan keputusan adalah ranahnya kewenangan aparatur negara yang memuat norma pemerintahan (berstuursnorm) dan norma perilaku aparat (gedragsnorm) serta tunduk pada hukum administrasi negara. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.534K/Sip/1973 yang menyatakan faktor sosial dan ekonomi adalah wewenang pemerintah dalam melakukan perbuatan kebijaksanaan penguasa --pengadilan tidak berwenang untuk meninjaunya.
Pertanggungjawaban Keuangan Covid-19
Bencana non alam wabah Covid-19 adalah keadaan tidak normal dan mendesak. Situasi tidak normal sekalipun tidak boleh menghentikan layanan pemerintah kepada rakyat sebagaimana asasnya gouverneur c'est prevoir (menjalankan pemerintahan itu, berarti melihat ke depan dan merencanakan apa saja yang akan atau harus dilakukan).
UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah menjamin agar pembuat kebijakan tidak mudah dikriminalisasi yang dapat melemahkan mereka dalam melakukan inovasi pemerintahan. Pertanggungjawaban hukum penggunaan anggaran dalam situasi tidak normal menurut UU Administrasi Pemerintahan tidak mesti harus sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid), tetapi beralih menjadi kewajiban pelaporan kepada atasan pejabat dalam penggunaan anggaran.
Pelaksanaan kewenangan dilandaskan pada asas umum pemerintahan yang baik untuk mencapai tujuan dan kemanfaatan (doelmatigheid) ketimbang harus sesuai dengan hukum. Salus publica supreme lex atau kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 9 ayat (4) jo. Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) jo. Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan menjadi payung hukum bagi kebijakan dan inovasi Kementerian/Lembaga Negara dalam mengatasi krisis ekonomi akibat wabah Covid-19.
Aturan mainnya: (1) Pejabat yang menggunakan diskresi wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang ditimbulkan. (2) Pejabat yang menggunakan Diskresi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. (3) Pelaporan disampaikan paling lama lima hari kerja terhitung sejak penggunaan diskresi.
Meskipun seandainya timbul kerugian negara, tidak secara otomatis ada korupsi di dalamnya. Kerugian keuangan negara bisa saja terjadi karena perbuatan administrasi, perdata, maupun pidana yang juga belum tentu adalah tindak pidana korupsi. Itu sebabnya menurut Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 harus dipilah dulu mana yang masuk ranah administrasi dan pidana.
Aparatur negara adalah wakil dari jabatan (ambt) padanya melekat norma hukum administrasi negara. Sehingga sesuai dengan asasnya: (1) lex spesialis systematis (fakta yang dominan menunjukkan UU mana yang digunakan); (2) lex lex consumen derogat legi consumple (ketentuan yang dominan memakan ketentuan yang lainnya); dan (3) tilulus est lex (judul perundang-undangan menentukan UU mana yang harus digunakan).
Maka UU Administrasi Pemerintahan yang berlaku dan digunakan, bukan UU Tipikor. Hal tersebut senada dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003 yang menyatakan bahwa manakala suatu dakwaan dikaitkan dengan masalah kewenangan dan kedudukan, maka berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability ambt), sehingga menurut Mahkamah Agung pertanggungjawaban jabatan adalah pertanggungjawaban yang dibebankan kepada jabatan.
Pertanggungjawaban jabatan merupakan mekanisme penyelesaian secara administratif dalam bentuk sanksi administrasi, pengembalian kerugian negara, dan pengujian di Peradilan Tata Usaha Negara. Bagian terpenting yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya salah atau merugikan, tetapi niat jahat (mens rea) dari pengambil kebijakan ketika membuat kebijakan.
Parameter penyimpangan hukum dalam penggunaan keuangan negara berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.88K/Kr/1969 adalah dengan menggunakan uang untuk tujuan lain daripada yang ditetapkan sehingga melampaui batas wewenang dan merugikan keuangan negara. Maka padanya dapat diterapkan UU Tipikor.
Instrumen hukum pidana itu sejatinya melanggar HAM. Itu sebabnya penggunaan hukum pidana di level penegakan hukum harus dilakukan secara hati-hati, cermat, dan tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan. Sebab, menurut Ronald Dworkin, keliru memvonis pidana orang yang tidak bersalah itu lebih berbahaya secara moral daripada keliru membebaskan orang yang bersalah.
Agus Hermansyah alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat FHP Law School Jakarta, Associate Lawyer di NA Lawyer Pekanbaru
(mmu/mmu)