Menghentikan Kegaduhan Merek Dagang Merdeka Belajar
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menghentikan Kegaduhan Merek Dagang Merdeka Belajar

Kamis, 27 Agu 2020 11:15 WIB
Ardian Nur Rizki
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ikan Kaleng dan Pendidikan Kita
Ilustrasi: tim infografis detikcom
Jakarta -

Dewasa ini, Merdeka Belajar menjadi diskursus yang meriuhkan jagad pendidikan Indonesia. Gebrakan dari Menteri Nadiem Makarim ini digadang-gadang menjelma sebagai pembebas dari beban administratif dan belenggu didaktis dalam penyelenggaraan pendidikan. Terlepas dari polemik Merdeka Belajar sebagai merek dagang sekolah swasta yang dihibahkan pada negara, konsep ini memang diproyeksikan menjadi oase di tengah kegersangan dunia pendidikan.

Konsep Merdeka Belajar yang digaungkan Menteri Nadiem memang membawa angin segar bagi transformasi pendidikan era kiwari. Murid mendapat suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani pencapaian skor tertentu. Sekolah diberi kesempatan untuk berinovasi dan berkreasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Guru diberi ruang seluas-luasnya untuk beraktualisasi dan berekspresi dalam mengejawantahkan kemerdekaan belajar.

Bukan Formula Baru

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara konsepsi, merdeka belajar sejatinya bukan formula baru dalam filsafat pedagogis. John Dewey, pelopor filsafat progresivisme pendidikan, sejak awal abad ke-20 telah mencetuskan konsepsi yang senapas dengan merdeka belajar. Aliran progresivisme menghendaki adanya asas fleksibilitas dan demokratisasi dalam pendidikan (Bernadib, 1997). Dalam konteks ini, pendidikan harus memberikan kemerdekaan pada guru dan kebebasan kepada peserta didik, sehingga potensi, minat, dan keunikan yang dimiliki siswa dapat berkembang dengan baik (Dewey, 1916).

Namun demikian, dalam kondisi tolok ukur kualitas pendidikan yang kian terstandardisasi, Merdeka Belajar rentan disalahtafsirkan menjadi suatu kebebasan dalam menentukan khitah dan filosofi. Jika tidak dilandasi pilar kukuh yang berakar pada kultur luhur khas Indonesia, arah pendidikan Indonesia dapat terombang-ambing --karena silau dan ingin mengekor program dari negara lain.

ADVERTISEMENT

Jika mengacu pada hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) yang terbaru (2018) terhadap kualitas pelajar, negara-negara seperti China, Singapura, Jepang, maupun Finlandia dianggap berhasil mengimplementasikan inovasi pendidikan yang sesuai dengan karakter dan keperluan negaranya masing-masing. Yang berbahaya adalah apabila kita tergagap dalam mengadopsi pelbagai inovasi dari negara lain, tanpa difilter dan diselaraskan dengan kebutuhan bangsa. Alih-alih menuai peningkatan mutu, pendidikan kita justru berpotensi terus memanen gerutu

Oleh karena itu, agar tidak tersesat arah, seyogianya kita sudi membuka lagi warisan luhur pemikiran pendiri bangsa mengenai arah dan khitah pendidikan nasional. Bung Karno, dalam pidato monumental bertajuk Menjadi Guru di Masa Kebangunan, telah mewanti-wanti bahwa suatu bangsa hanya bisa mengajar apa yang ada dalam jiwanya sendiri.

Bangsa budak akan mendidik anak-anaknya dalam roh penghambaan dan penjilatan, bangsa yang dikungkung kapitalisme akan terpecah belah di dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, bangsa monarki akan mendidik anak-anaknya menjadi abdi atau bawahan, dan bangsa merdeka akan mendidik anak-anak menjadi orang-orang merdeka.

Bung Karno menghendaki agar setiap orang memerankan diri menjadi guru. Politisi menjadi guru bagi simpatisan yang mendengarkan pidato dan mengikuti taktik perjuangannya, jurnalis menjadi guru bagi pembaca media massa, pebisnis menjadi guru bagi pegawai-pegawainya, lurah menjadi guru bagi masyarakat desa, tukang kopi menjadi guru bagi anak-istri yang membantu pekerjaannya --semua orang menjadi gurunya semua orang.

Pesan Bung Karno ini tak ubahnya sintesis konsepsi Tri Pusat Pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara. Dalam alam pemikiran Ki Hajar Dewantara, hakikat pendidikan diletakkan pada pilar pekerti, tanpa menanggalkan aspek kognisi. Untuk merealisasikannya, perlu sinergi keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai Tri Pusat Pendidikan. Sebagai garda pengiring proses pembelajaran, ketiganya harus saling tunjang dan baku topang untuk mewujudkan proses pendidikan yang paripurna (Dewantara, 2009).

Telah lebih dari satu dekade, pemerintah menggelontorkan setidaknya 20 persen anggaran negara untuk menyokong penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun, merunut hasil penilaian PISA sejak tahun 2000 sampai dengan 2018, kualitas pelajar di Indonesia malah mengalami stagnasi --jika tidak boleh disebut degradasi. Miris lagi ironis!

Akan sangat arif jika kita sudi menekuri kembali mutiara pesan dari 'Bung Besar' untuk menggelorakan perombakan pendidikan sebagai ikhtiar kolektif seluruh elemen bangsa. Dengan demikian, pemerintah harus berani 'melompati' tembok sekolah, untuk kemudian membangun seluruh ruang kehidupan layaknya sebuah madrasah. Pemerintah perlu menginklusifkan makna guru untuk membangun kesadaran bahwa semua insan adalah guru yang tindak-lakunya selalu digugu dan ditiru.

Senada dengan Bung Karno dan Ki Hajar Dewantara, Engku Moehamad Sjafei juga telah mewanti-wanti bahwa musuh besar dari filosofi penyelenggaraan pendidikan adalah pragmatisme. Sebagai penopang eksistensi Ruang Pendidik INS di Kayutanam, Sumatera Barat pada masa pra kemerdekaan, Sjafei selalu menekankan pentingnya penempaan karakter dan mentalitas.

Sjafei beranggapan bahwa penyelenggaraan pendididkan seyogianya berfokus pada penempaan mentalitas gigih dan bekerja keras. Orang-orang yang terbiasa kerja keras, tidak tertarik menempuh jalan pintas yang culas.

Melalui amanat Sjafei, bangsa Indonesia bisa mengambil jalan tengah antara cara Finlandia yang memberi kebebasan mahaluas dan cara China yang menggembleng siswa keras-keras. Pendidikan yang diselenggarakan tanpa tekanan, acap disebut dengan cara Finlandia, berpotensi diremehkan oleh siswa. Sementara pendidikan yang penuh dengan tekanan, alih-alih membuat siswa bermental teguh, malah menempa siswa menjadi pribadi yang tidak kritis dan sekadar penurut.

Carut marut politik dan ekonomi yang berakibat pada dekadensi moral, menurut Sjafei, tidak dapat diperbaiki dengan sistem dan program pendidikan yang menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi dan alam tradisinya. Pemilikan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut mental bangsa yang memiliki etos kerja yang disiplin dan gigih (Sjafei, 1982).

Menghentikan Perdebatan

Pendidikan yang terprogram dengan tepat dapat mengubah watak bangsa, sebagaimana dicontohkan oleh pendidikan Sparta, yang hingga kini masih acap didengung-dengungkan bak dongeng. Sistem pendidikan Sparta menekankan pada aspek kontinuitas dan totalitas. Sementara pelaksanaan pendidikan di Indonesia umumnya diselenggarakan secara parsial dan acap saling bertentangan.

Sebagai contoh klise, di sekolah, guru berjuang mati-matian menumbuhkan minat baca dan kecintaan anak kepada buku. Namun, di layar televisi, anak-anak mendapat tontonan yang mengisahkan anak kutu buku sebagai objek perundungan, berkaca mata tebal, antisosial, dan penakut. Seketika ikhtiar guru di sekolah buyar.

Saya kembali teringat dengan cerita Anies Baswedan pada 2014. Dalam pertemuan bersama Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kota/Kabupaten seluruh Indonesia, Anies yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan ketakjubannya bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara menjadi pilar transformasi pendidikan di Finlandia! Ironisnya, di Indonesia, karya-karya Ki Hajar Dewantara hanya dimaknai sebatas slogan kulit luar.

Di tengah pagebluk yang memilukan ini, kita seyogianya menghentikan perdebatan kusir dan kegaduhan nihil esensi. Polemik Merdeka Belajar sebagai merek dagang sepatutnya segera disudahi. Kita perlu bergotong-royong untuk menyamakan visi Merdeka Belajar. Sudah saatnya, bangsa ini menentukan diskresi mengenai arah pendidikan nasional yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan bangsa.

Bagaimana jika kita bergandengan tangan untuk mengukuhkan makna Merdeka Belajar dengan memasukkan filosofi pemikiran Bung Karno, M. Sjafei, dan Ki Hajar Dewantara?

Ardian Nur Rizki guru di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) Johor Bahru, Malaysia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads