Suatu pagi di sebuah kantor kecamatan di daerah Jawa Tengah. Kerumunan orang dilengkapi dengan masker di wajah mengantre untuk memperoleh dana bantuan sosial. Pada saat yang lain begitu rela berpanas-panasan, ada yang sudah renta, bahkan ada yang kondisinya disabilitas, datang seseorang berumur kisaran 50 tahunan berpakaian cukup rapi, menggunakan sepeda motor, dengan raut wajah terkesan angkuh langsung mendapatkan akses bantuan melalui pintu belakang.
Perilaku tersebut terlihat sangat lumrah; tidak ada yang protes, dan banyak yang memaklumi. Seolah-olah perilaku yang dipertontonkan merupakan budaya yang kental di lingkungan birokrasi.
Pada kondisi lain, terlihat seorang wanita paruh baya di daerah Banda Aceh harus ikhlas namanya tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial dari pemerintah. Profesinya yang hanya sebagai penjual jamu keliling dengan tanggungan 5 orang anak tidak membuat namanya terdaftar sebagai penerima bantuan sosial, baik Program Keluarga Harapan, Bantuan Langsung Tunai, maupun Keluarga Penerima Manfaat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, saat kondisi pandemi seperti ini, orang-orang seperti dirinya merupakan masyarakat yang sangat terdampak karena kebutuhan dan pendapatannya mengalami ketimpangan semakin dalam.
Apa yang muncul dibenak kita ketika membaca dua kondisi di atas? Kemirisan? Kemalangan? Atau, sebuah kondisi yang biasa dan telah menjadi budaya? Dua kondisi di atas merupakan akibat dari krisis moral para birokrat di lingkungan birokrasi kita dan keakuratan data yang tak pernah dijadikan prioritas.
Penyalahgunaan Wewenang
Secara fungsi, birokrasi merupakan penghubung antara negara dengan masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah membutuhkan birokrasi sebagai eksekutor. Banyak diskursus ilmu sosial menunjukkan bahwa birokrasi telah menjadi konsep yang tujuannya untuk mengimplementasi kebijakan di segala bidang kehidupan masyarakat.
Secara singkat, jika mengadopsi pemikiran Prof. Mas'oed, birokrasi adalah aktor yang omnipoten, memiliki banyak peran dan mendominasi. Segala urusan dan kepentingan publik diatur dan diurus sepenuhnya oleh birokrasi pemerintah.
Sebagai sebuah elemen kontemporer yang digagas oleh Max Wabber, birokrasi pada dasarnya memiliki karakteristik yang ideal karena mampu mengimplementasikan tujuan-tujuan yang bersifat abstrak menjadi sebuah tujuan yang kongkrit dan mengubahnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Namun pada kondisi rill, harapan menjadikan birokrasi sebagai elemen yang efektif dan efisien hanya sebatas kemegahan di tatanan imajinasi. Birokrasi negara kita nyatanya terus akrab dengan budaya amoral dan tindakan penyalahgunaan wewenang.
Indonesian Corruption Wacth pada 2017 mengumumkan peringkat teratas pelaku korupsi di Indonesia adalah kalangan birokrat. Tindakan korupsi yang dilakukan berupa pungutan liar, penganggaran proyek fiktif, manipulasi tender, pemerasan hingga korupsi kecil-kecilan seperti memanipulasi anggaran guna akomodasi biaya perjalanan. Berdasarkan data dari Kedeputian Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara, ada 2.357 PNS terpidana korupsi pada 2018.
Banyak kasus di berbagai daerah di mana masyarakatnya telah mendaftar guna memperoleh bantuan dari pemerintah, harus gigit jari karena hingga saat ini bantuan tersebut tidak sampai di tangan mereka. Hal itu dikarenakan perilaku penggelapan bantuan oleh birokrat sangat amat sering terjadi. Berbagai lembaga internasional pun memberikan laporan bahwa kondisi birokrasi di negara kita memang memprihatinkan.
Nilai Ease of Doing Business Indonesia masih di bawah Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam pada 2016-2019. Master plan program reformasi birokrasi yang digagas sejak 2010 pun tidak memberikan perubahan yang signifkan. Perbaikan yang terjadi hanya berupa angka-angka dan nihil progres positif di ranah profesionalitas dan moral kerja.
Tidak mengherankan apabila gelontoran dana bansos yang disebar pemerintah untuk membantu masyarakat terdampak corona, seperti tidak terasa di sebagian kalangan masyarakat bawah, karena pada kenyataannya para oknum birokrat di negeri ini begitu "pede" menghambat distribusi penyaluran bansos demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Tidak Tepat Sasaran
Fakta bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak di-update sejak 2015 merupakan tanda bahwa persoalan data kerap dikesampingkan dari prosedur penyaluran bantuan.
Hal tersebut kemudian berakibat pada penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran. Karena selama kurun waktu 5 tahun terakhir, kondisi masyarakat pasti mengalami perubahan. Struktur sosial dan kondisi ekonomi kita yang kerap berubah-ubah tidak bisa menjamin status sosial seseorang di kalangan kelas menengah ke bawah konsisten dalam jangka waktu lama.
Semua itu juga juga diperparah dengan kondisi tumpang tindihnya penyaluran bantuan, sehingga ada warga yang bahkan bisa menerima lebih dari satu program bantuan sosial dari pemerintah. Penyebabnya tidak adanya integrasi data yang valid. Banyak dari data Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ada warga yang mampu terdata, warga yang sudah meninggal terdata, bahkan warga yang tidak memiliki NIK pun ikut terdata. Tak heran hal itu membuat sebagian masyarakat gigit jari karena tidak kebagian bantuan sosial, meski pada kenyataannya mereka dalam kondisi yang sulit.
Singkronisasi antarlembaga dalam melakukan pendataan pun sangat minim. Misalnya data di Kementerian Sosial yang tak sinkron dengan data petani penerima bansos Kementerian Pertanian maupun data nelayan penerima bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ditambah lagi dikotomi yang amat jelas antar pemerintah daerah yang melakukan pendataan masing-masing tanpa melakukan sinkronisasi dengan pemerintah pusat. selain itu setiap Kementerian dan lembaga terkait, memiliki standar pendataan yang berbeda satu sama lainnya.
Data merupakan komponen penting dalam merumuskan kebutuhan dana sosial yang perlu disalurkan kepada masyarakat. Tentu akan sangat miris apabila penggaungan perihal Industri 4.0 tidak dibarengi dengan kesiapan negara menyediakan integrasi layanan yang basic seperti halnya data.
Pemerintah perlu memberikan kewenangan satu pintu terkait data, sehingga dikotomi data antarlembaga bisa sedikit diminimalisasi. Mengintegrasikan dan selalu memperbaharui database antar-kementerian menjadi agenda yang perlu dilakukan agar kasus tumpang tindih, salah sasaran, hingga tidak tersalurkannya bantuan ke masyarakat terdampak bisa dikurangi. Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, maupun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bisa menjadi corong utama dalam penyediaan data yang terintegrasi.
Kita semua berharap berbagai upaya pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial untuk mengatasi dampak pandemi bisa berdampak positif di kalangan masyarakat. Tentu semua itu diperlukan pengawasan ketat di tatanan birokrasi sehingga bantuan yang disalurkan bisa terbebas dari penyelewengan dan penggelapan. Pandemi ini juga menjadi pelajaran penting bagi pemerintah bahwa ketersediaan data yang update, terintegrasi, dan sinkronisasi antarapemangku kepentingan menjadi hal yang tidak bisa disepelekan begitu saja.
Muhammad Iqbal alumni Fakultas Ekonomi UIN Walisongo Semarang