Media sosial acapkali juga memperkaya dan melipatgandakan informasi itu sendiri menjadi opini dan diskursus publik. Bahkan tidak jarang public decision (keputusan publik) diambil berdasarkan deliberasi dan pertimbangan yang mengemuka dalam diskursus di media sosial.
Di tengah semakin kompleksnya persoalan kehidupan dewasa ini, seringkali begitu banyak peristiwa penting dan menarik yang luput dari pengamatan media konvensional. Media sosial yang menjadi platform bagi jutaan netizen di dalamnya acapkali begitu luas dan cepat jangkauan pengamatannya dalam merekam fenomenologi keseharian, suara liyan, dan cerita-cerita kecil yang dianggap remeh dan tercecer dari hiruk-pikuk keseharian.
Media sosial sedikit-banyak telah menyediakan ruang afirmasi bagi penggunanya untuk menyampaikan pesan dengan opini mengenai berbagai berita dan peristiwa keseharian yang menarik.
Sekarang di tengah semakin meratanya akses teknologi internet, percakapan di ruang publik melalui media sosial menjadi semakin egaliter karena media sosial memungkinkan munculnya relasi komunikasi di ruang publik yang beragam dan tidak monolitik bahkan hampir tanpa filter. Di internet terutama melalui platform media sosial tiap individu kini dengan mudahnya menjadi agen informasi.
Perlahan, kini peradaban informasi dalam gelombang ketiganya Alvin Toffler menjadi kenyataan karena media sosial sepertinya telah mendisrupsi dominasi pasar informasi dari media massa (non-daring) yang cenderung monolitik. Bagaimanapun kini tiap individu memiliki akses yang lebih mudah dalam menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali, mendistribusikan bahkan mendiseminasi informasi kapan pun, di mana pun dan kepada siapapun tanpa melalui mediasi otoritas tertentu.
Peradaban informasi kini telah menggenapi sebuah pameo futurologi di masa sebelumnya bahwa siapa menguasai informasi, maka dia akan menguasai dunia.
Melalui akses media sosial, peran individu kini terlihat lebih dihargai dalam men-drive arus informasi yang tidak semata didominasi arus informasi dari media konvensional semata (top-down) yang cenderung monolitik. Bahkan kini peran individu sebagai influencer, youtuber, selebgram, selebtweet, dan sebagainya dalam jejaring media sosial tak jarang terasa lebih besar pengaruhnya dibanding institusi dan perusahaan media konvensional tertentu.
Kini individu yang unggul dengan soft skill membikin konten menarik cenderung memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi sosok berpengaruh dan lebih dihargai. Bahkan dimungkinkan menciptakan segmen baru dan arus pasar dari bawah karena perkembangan inovasi teknologi dan industri kini tidak hanya bersifat monolitik dan top-down semata.
Oleh sebab itu, kini demokratisasi akses teknologi internet, terutama melalui platform media sosial tidak hanya menjadikan kita sebagai sasaran atau objek pasar semata, tapi seringkali (jika punya kreativitas) juga memiliki kesempatan untuk menciptakan ruang pasar (marketplace) dengan merespons selera dan tren pasar informasi melalui akses dan kemampuan soft skill dalam berkreasi membikin konten dengan menggunakan berbagai platform media sosial yang dimiliki sebagai modal.
Pada dasarnya media sosial adalah pasar bebas informasi yang lebih egaliter karena cenderung tidak lagi semata melihat siapa yang berbicara, melainkan apa (konten) yang dibicarakan. Tidak jarang muncul posting-an di media sosial yang viral dari orang biasa atau netizen pada umumnya. Meskipun tak bisa dipungkiri seringkali memang ada motif yang tidak organik dan spontan karena bias kepentingan tertentu di baliknya, semisal ambisi "panjat sosial" (pansos) maupun pesanan dari pihak tertentu demi kepentingan sepihak golongan.
Tak bisa dipungkiri bahwa eksesnya adalah banjir informasi bahkan merebaknya hoax dan sampah informasi. Media sosial juga seringkali masih menjadi ruang bagi cyber bullying, pembunuhan karakter seseorang melalui penyebaran doxing, caci-maki, ad-hominem, ajang pansos, toxic celebrity culture, buzzer dari kepentingan sempit golongan tertentu hingga matinya kepakaran karena begitu banyak orang yang tiba-tiba menjadi ahli dan serba tahu segala hal dengan berbicara (speak-up) mengomentari berbagai isu tanpa dasar keilmuan yang memadai.
Apalagi sekarang di era post-truth, preferensi suka tidak suka dan sentimen emosional subjektif seringkali mendahului sikap objektif. Pada akhirnya media sosial masih menjadi ruang yang penuh sesak dengan debat kusir, caci-maki, sikap ingin menang dan benar sendiri yang menyuburkan polarisasi sosial dan politik.
Tak jarang media sosial menjadi ruang yang sedemikian gaduh dengan berbagai persoalan picisan tentang polarisasi politik identitas, konflik pseudo-ideologi hingga fanatisme politik dukung-mendukung. Seringkali filosofi dan simbol negara di media sosial hanya dijadikan alat, slogan, dan jargon untuk menghantam lawan politik dalam kontestasi politik praktis yang banal.
Simbol-simbol kebangsaan dan agama yang sublim hanya dipahami dengan resolusi pemahaman rendah sehingga cenderung menjadi alat kepentingan politik praktis yang dangkal. Simbol-simbol kebangsaan dan agama yang sublim ternyata hanya menjadi padatan-padatan klaim eksklusif (bukan menjadi ideologi terbuka) bagi identitas kelompok tertentu yang vokal di media sosial.
Pada akhirnya simbol-simbol tersebut hanya dipahami dengan kacamata pandang hitam-putih, baik-buruk, benar-salah padahal kepentingan dalam politik praktis seringkali bersifat pragmatis dan oportunistis. Rendahnya pemahaman dan penyalahgunaan terhadap simbol-simbol agama dan kebangsaan di media sosial tentu saja berimbas pada polarisasi, perpecahan dan hilangnya keakraban dalam kehidupan antarwarga negara. Tidak mengherankan jika pada akhirnya kita terjebak pada sikap reaksioner satu sama lain yang seringkali menimbulkan kegaduhan bahkan kebencian di antara kita.
Namun bagaimanapun, media sosial hanyalah cermin dari persoalan keterbatasan literasi yang berkelindan dengan irrasionalitas sebagian netizen yang kemudian dieksploitasi demi menyebarkan kabar bohong, menyulut konflik perpecahan, hingga mengalihkan perhatian publik.
Apalagi di era media daring kini, kecepatan informasi seringkali masih belum diimbangi perilaku untuk memverifikasi dengan membaca utuh, memahami hingga mengkonfirmasi informasi sebelum menyebarkannya di media sosial. Pada titik inilah kita memahami bahwa media sosial adalah alat, pedang bermata dua, sehingga kita tidak mudah terjebak memandang media sosial dari satu sisi (baik-buruk) semata.
Terlampau naif jika kita hanya memandang media sosial sebagai penyampai pesan semata, namun melupakan bahwa media sosial adalah ekosistem budaya komunikasi yang interaktif dengan disensus moralitas di dalamnya yang beragam. Kita atau subjek di media sosial bebas memilah, memilih, menyaring hingga membatasi atau bahkan mengeksploitasi informasi dan menjalin komunikasi di dalamnya.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini