Pandemi, Rasio, dan Rasa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi, Rasio, dan Rasa

Selasa, 25 Agu 2020 15:06 WIB
Anicetus Windarto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
corona
Jakarta -

Dalam sebuah webinar tentang pandemi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta salah satu masalah yang menarik untuk dibahas adalah dengan cara pandang apakah wabah mesti disikapi? Rasional atau irasional?

Jika dilihat dari data kasus pandemi Covid-19, yang justru mengalami peningkatan hingga saat ini, tampak bahwa bencana, baik alam maupun non alam, tidak dapat diprediksi. Hal itu menandai betapa ilmu atau sains memiliki keterbatasan yang tak dapat memastikan apa yang akan terjadi. Karena itu, segala yang terjadi, apalagi terkait dengan bencana, patut diperiksa secara jeli dan waspada, khususnya melalui rasa tanpa mengabaikan rasio.

Dalam buku berjudul Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa (2009), Paul Stange menunjukkan bahwa rasa dapat menjadi "politik perhatian". Artinya, rasa bukan sekadar hal atau masalah yang lewat begitu saja, namun dapat menjadi menentukan dan mengarahkan apa yang akan terjadi.

Contohnya, ketika sedang melintas di jalan yang kebetulan tepat berada di depan kompleks militer, setiap jenis kendaraan bermotor tidak bisa tidak akan mengurangi kecepatannya. Bukan semata-mata karena ada polisi tidur misalnya, yang melintang di sana, namun seakan-akan sudah ada "pengetahuan umum" untuk memperlambat laju kendaraan bermotor meski tidak ada rambu-rambu lalu lintasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentu, jarang ada yang mempertanyakan, bahkan menggugatnya. Segalanya tampak berjalan "normal" seperti biasanya. "TST" atau "tahu sama tahu", begitulah ungkapannya. Sebab di sanalah antara kuasa dan bahasa tampak menjadi nyata sebagai politik yang bukan hanya menuntun, tapi juga menuntut, siapapun untuk tunduk.

Ketertundukan yang dilandasi oleh rasa, takut khususnya, membuat segalanya dapat diatur dan dikendalikan secara efektif dan operatif. Pada tataran ini, rasa yang sesungguhnya merupakan "kulit ari" dari suara hati perlu untuk dilatih agar tidak mudah tunduk pada hal dan masalah yang ada di sekitarnya. Caranya dengan lebih memberi perhatian pada pikiran-pikiran intuitif daripada pikiran-pikiran rasional.

Hal itu dikarenakan yang bersifat intuitif cenderung lebih untuk menerangi, sementara yang rasional hanya sebatas sebagai pembantu yang setia. Itulah mengapa Albert Einstein tidak pernah mementingkan rasionya lebih daripada intuisinya. Apa yang diyakini oleh Einstein itu terumuskan dalam hukum kekekalan energi yang terbukti mampu menghasilkan daya dan kekuatan yang luar biasa.

Lihat saja pada sejarah kelam dari peristiwa kekejaman yang mengakhiri Perang Dunia II lewat pemboman Nagasaki dan Hiroshima pada awal Agustus 1945. Itulah kehancuran kehidupan, termasuk peradabannya, yang terbesar dan hanya dalam sekejap sehingga membuat para pemimpin dunia tidak lagi dengan mudah bermain-main dalam mengelola segala yang dapat menimbulkan konflik, apalagi perang dunia.

Berkat pemikiran dan karya intuitif Einstein, alam dan seluruh makhluk di bumi ini terdampak dengan akibat yang sedemikian tak tertanggungkan. Meski sempat muncul "Perang Dingin" antara Amerika dan Uni Soviet/Rusia, dan diikuti dengan "Perang Dagang" antara Amerika dan China, namun hingga kini belum ada tanda-tanda yang menunjukkan intensi akan perang terbuka.

Sebaliknya, pandemi ini yang justru nyaris membuat berantakan tatanan hidup segala bangsa, termasuk di Indonesia. Apalagi dalam momen perayaan 75 tahun kemerdekaan, resesi ekonomi akibat pandemi sudah semakin tampak di depan mata. Sementara sampai kini belum terdengar kabar baik berkaitan dengan vaksin dari virus itu. Tak heran jika telah terdeteksi sejumlah rasa yang salah satunya memandang hanya doa yang mampu menuntas segalanya di masa pandemi. Doa yang telah menjadi keyakinan yang lebih sukar digoyang daripada pengetahuan semakin dimaknai sebagai mantra penolak pandemi.

Dalam konteks ini, menarik untuk mengamati bahwa keyakinan, seperti doa di tengah pandemi, telah menjadi aksi bersama yang lebih berintensi mengusir, bahkan meniadakan, bencana. Padahal bencana sesungguhnya adalah dering peringatan kritis bahwa alam semesta sedang mencari keseimbangan baru. Hal inilah yang membuat doa sekadar menjadi wahana untuk merasionalkan rasa tanpa dibarengi dengan merasakan rasio.

Itu artinya, doa tak lebih hanya untuk mengembalikan kenyamanan yang dirasakan telah hilang selama pandemi, antara lain berbelanja, berekreasi, dan beribadah. Maka bukan kebetulan jika doa menjadi tampak irasional lantaran tidak mampu mengubah apapun meski selalu didaraskan dengan keyakinan yang tak jarang melampaui pengetahuan akan pandemi.

ADVERTISEMENT

Hal itu semakin diperparah dengan pengkambing-hitaman virus sebagai dalang segala bencana. Dengan kata lain, makhluk hidup yang tak tampak di depan mata itu justru dituduh dengan semena-mena sebagai pengacau dan perusak kehidupan saat ini. Padahal, jika ditelusur dengan lebih jeli dan waspada, virus yang adalah bagian dari alam semesta merupakan elemen-elemen penting dari pembentukan kehidupan, termasuk dalam penciptaan manusia.

Singkatnya, virus merupakan genom yang ada dalam DNA manusia. Genom itulah yang menjadi "catatan jiwa" dari kehidupan manusia. Dengan catatan itu, manusia dapat dikenali secara spiritual sebagai makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk hidup yang lain. Perbedaan itu menunjukkan derajat dan martabat kemanusiaan yang dalam ajaran keagamaan tertentu dikenal dengan "karma". Dan inilah yang sesungguhnya membuat kehidupan di bumi dapat terus-menerus berlangsung. Sebab di sana ada genom yang selalu dapat memperbaharui diri dengan cara pembelahan sel sebagaimana terjadi pada virus.

Jadi, bukankah rasional alias masuk akal bahwa pandemi saat ini adalah tempat pembaruan yang tak terhindarkan lantaran kehidupan sudah semakin rusak-rusakan dan tak tertanggungkan lagi, termasuk bagi makhluk hidup yang kasat mata seperti virus?

Rasionalitas yang kerap dituduh irasional sebagaimana saat pandemi ini justru menjadi penanda hilangnya rasa atau politik perhatian dalam kehidupan di masa kini. Rasa yang bukan sekadar keyakinan tanpa pengetahuan telah diabaikan, bahkan disembunyikan, dalam beragam tuntutan dan tuduhan yang mengorbankan kehadiran sesama makhluk yang selalu dimangkirkan hanya karena tak terlihat mata biasa.

Karena itu, menjadi penting dan mendesak untuk segera membenahi cara pandang yang hanya mengutamakan rasio dan mempercayai rasa secara irasional agar tidak terjebak dalam sumur tanpa dasar di tengah pandemi ini. Ingat dan catatlah selalu bahwa pandemi tidak dapat diprediksi datang dan perginya sebagaimana angin berembus ke arah mana pun yang membutuhkan kehadirannya.

A. Windarto peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads