Belanja di Warung Tetangga
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Belanja di Warung Tetangga

Jumat, 21 Agu 2020 11:26 WIB
Yudi Rachman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Warung Pecel di Blitar Bantu Belajar Online
Foto: (Erliana Riady/detikcom)
Jakarta -
"Biasanya sehari saya bersih dapat 500 ribu, sekarang dapat 200 ribu aja sudah alhamdulillah banget."

Sambil memasukkan belanjaan ke kantong plastik, Kang Ali tukang sayur langganan masih terdengar sayup-sayup nyerocos yang entah ditujukan ke siapa. Ternyata Kang Ali mengeluhkan penurunan pendapatan yang sudah dialaminya selama beberapa bulan; penurunannya hingga separuh dibanding sebelum pandemi. Dengan curhat, paling tidak beban yang menggelayut dalam hati sudah bisa dilepaskan meski belum mengubah keadaan.

Pendapatan yang menurun sepertinya juga dialami yang lain. Seminggu yang lalu saya sempat bepergian ke luar kota menggunakan bus umum. Sesuai ketentuan protokol kesehatan, bus diperbolehkan mengangkut penumpang separuh dari total kapasitas tempat duduknya. Pada waktu itu hanya ada tiga penumpang yang berada di dalam bus. Ditambah kondektur dan sopir, berarti hanya ada lima orang.

Pada satu sisi saya merasa lega melihat jumlah penumpang yang sedikit. Karena jarak antarkami semakin jauh, sehingga membuat saya merasa aman selama perjalanan yang kira-kira membutuhkan waktu tempuh sekitar tujuh jam. Namun ketika saya mencoba memposisikan sebagai kondektur, timbul rasa iba juga dalam diri saya.

Biaya perjalanan hari itu pasti tekor. Karena biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional seperti bahan bakar dan ongkos tol mustahil dapat tertutupi dengan ongkos penumpang yang hanya berjumlah tiga orang --sedangkan ongkos penumpang sudah tidak mungkin untuk dinaikkan lagi.

Ketika menagih ongkos, kondektur sedikit bercerita, bahkan sehari sebelumnya tidak ada sama sekali penumpang. Selama perjalanan, di dalam bus yang ada hanya duet sopir dan kondektur saja.

Kondisi ekonomi memang sedang sulit, hampir semua mengatakan itu. Begitu juga berita yang berseliweran di media daring. Tidak hanya di tingkat perorangan saja, tapi juga menimpa perusahaan bahkan negara.

Beberapa hari yang lalu Jerman, salah satu negara maju di benua Eropa mengibarkan bendera putih tanda negaranya sudah mulai mengalami resesi. Kondisi ketika pertumbuhan ekonomi minus selama tiga kuartal berturut-turut. Jauh sebelumnya, Perdana Menteri Singapura pun mengumumkan kondisi yang sama tengah terjadi di negaranya.

Memantik Diskusi

Dua hari yang lalu salah satu Grup Whatsapp saya berulang kali menerima materi yang sama dari sumber yang berbeda: presentasi Ketua Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kondisi ekonomi Indonesia pada kuartal kedua.

Tidak sampai di situ, kemudian laman grup itu ramai dengan obrolan yang cukup hangat mengenai angka pertumbuhan ekonomi yang jeblok pada kuartal kedua ini. Selama ini penurunan dan kenaikan angka pertumbuhan tidak pernah menjadi perbincangan hangat. Selain karena di antara kami tidak ada yang ahli-ahli banget mengenai makro ekonomi, meski hampir semuanya sarjana ekonomi, diam-diam kami memiliki kesepakatan yang tidak tertulis bahwa kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan. Apalagi sampai memutuskan tali silaturahmi seperti yang pernah terjadi kala diskusi menjelang pilpres tahun lalu.

Itu hanyalah dinamika ekonomi biasa yang terjadi pada sebuah negara; semua negara pasti pernah mengalaminya, apa pun jenis negaranya: maju, berkembang, atau terbelakang. Namun, pengumuman yang terjadi pada awal bulan kembali memantik diskusi. Karena penurunan yang terjadi begitu dalam, di luar nalar bahkan prediksi lembaga kredibel di tingkat internasional dan nasional. Sehingga dalam kepala kami ketika membaca bahan tayang itu seperti punya bayang-bayang yang sama mengenai resesi. Saya segera menepis bayangan itu dan berdoa semoga tidak pernah terjadi.

BPS mengumumkan, pada kuartal kedua ini pertumbuhan ekonomi sudah minus dengan jumlah angka yang sama dengan anggota jari sebelah kami. Dalam rumus yang berlaku umum, ekonomi sebuah negara dikatakan resesi bila selama tiga kuartal berturut-turut pertumbuhannya minus, berarti dua kuartal ke depan kinerja ekonomi negara kita harus lebih baik agar tidak sampai jatuh dalam kubangan resesi.

Roda ekonomi yang melambat menjadi penyebab pertumbuhan sulit bergerak. Sementara pergerakan itu ditentukan oleh tingkat konsumsi. Ketika konsumsi meningkat, roda bergerak, maka pertumbuhan akan naik. Begitulah secara sederhana kaitannya. Konsumsi itu seperti bahan bakar dalam sebuah sistem ekonomi. Bagaimana roda ekonomi melaju kencang, bila indikator tangki bahan bakar pada speedometer-nya sudah mendekati huruf E.

Ibarat roda pada mobil yang harus menekan pedal gas lebih dalam dan pada waktu bersamaan memindahkan gigi rendah ke tinggi agar laju kecepatannya terus meningkat, tentu harus memiliki persediaan bahan bakar yang memadai, maka begitu pun dengan ekonomi sebuah negara.

Untuk mengurangi jurang defisit agar tidak lagi dalam bahkan terus berkurang perlu upaya sungguh-sungguh semua pihak. Semua itu tentu sudah ada para pakar yang memikirkan dan merumuskan strategi jitu.

Tindakan Sederhana

Bagi saya, untuk menggerakkan ekonomi cukup dengan tindakan sederhana. Saya melakukannya sudah lumayan lama dan tidak ada teori yang melatarinya. Bila dicari mungkin ada kaitannya dengan salah satu dari ribuan teori ekonomi, tapi saya tidak mau menghabiskan waktu untuk itu. Hehehe.

Untuk memenuhi kebutuhan dapur dalam bentuk sayur-mayur, saya mendapatkannya dari tukang sayur langganan. Kemudian kebutuhan pokok lain, seperti beras, gula, dan mie instan, saya membelinya di warung Bu Hendi yang letaknya hanya sepuluh langkah dari rumah saya, termasuk bila anak-anak saya jajan makanan kecil. Keperluan yang lain, seperti buku tulis anak-anak dan pakaian saya mencarinya pada ajang car free day yang digelar setiap hari Minggu pagi.

Selama masa pandemi ini, bisa dihitung jari keluarga kami pergi ke mall. Kalaupun ke sana karena anak-anak menginginkannya, bukan untuk belanja. Tujuan ngemall lebih sering untuk cuci mata dan mencari suasana baru saja. Bahkan ke minimarket yang berhadap-hadapan di depan perumahan kami pun sudah jarang mendatanginya.

Saya tidak terlalu paham dengan rumus ekonomi cara menggerakkan roda pertumbuhan agar tidak menuju resesi. Saya pun tidak bisa memastikan, apakah upaya yang saya lakukan hampir tiga tahun ini akan turut menyumbang perbaikan ekonomi. Batas pikiran saya cuma bisa mengimajinasikan, bila kita berbelanja di warung tetangga, warung pinggir jalan, juga pedagang-pedagang kecil yang bertebaran di mana-mana, kemudian hal itu menjadi kesadaran bersama, syukur-syukur menjadi gerakan, meski tidak bisa mencegah kedatangan resesi, paling tidak cara itu dapat sedikit melonggarkan himpitan belenggu ekonomi mereka.

Yudi Rachman pemerhati sosial

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads