Menonton video musik Till It Happens to You yang dinyanyikan oleh Lady Gaga berhasil membuat saya bersedih hati hingga menitikkan air mata. Video, yang menggambarkan jelas perjuangan para penyintas pelecehan dan kekerasan seksual tersebut ingin sekali saya sodorkan ke hadapan para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual. Pun, seketika saya teringat sebuah kasus yang masih hangat dibicarakan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sekitar awal Juni hingga akhir Juli lalu beredar berita mengenai sebuah kasus pelecehan seksual yang terjadi di Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram). Pelecehan dilakukan oleh Nanda Ivan Natsir, seorang dosen di fakultas tersebut; ia melecehkan seorang mahasiswi yang sedang menjalani bimbingan skripsi padanya. Dirangkum dari berbagai sumber berita, pelaku telah mengaku bersalah dan dikenai sanksi dari Komisi Etik FH Unram.
Karena terbukti melanggar Kode Etik Dosen Unram yang tertuang dalam Peraturan Rektor No.1 Tahun 2011, ia dijatuhi dua sanksi: (1) diskors selama lima tahun, atau 10 semester, dari kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi --pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, pengabdian pada masyarakat; (2) diberhentikan dari jabatan sekretaris bagian (hukum) pidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sanksi-sanksi di atas, muncul sebuah pertanyaan, mengapa ia tidak dipecat sebagai dosen? Ternyata, kepada aparatur sipil negara (ASN), pemberhentian dapat dilakukan jika dan hanya jika ia diancam pidana di atas lima tahun. Sehingga, jika tidak ada yang melapor ke ranah pidana agar kasus ini diproses sampai ada keputusan pidana, pemberhentian tidak dapat dilakukan.
Hingga saat ini, kasus tersebut hanya dilaporkan ke ranah fakultas. Oleh karenanya pelaku hanya mampu dijerat dengan aturan kode etik. Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa jalur hukum telah dijalankan meski belum optimal. Penyintas belum menindaklanjuti laporannya ke ranah pidana.
Penyintas meminta dosen pembimbingnya diganti, dan kini permintaan tersebut telah dipenuhi. Selanjutnya, apakah kasus ini akan dianggap selesai dan dibiarkan senyap? Di kalangan media mungkin saja iya, tapi di kalangan masyarakat bisa jadi tidak. Desas-desus dan obrolan perihal ini telah meluas. Bahkan, karenanya kini telah ada dua orang alumni FH Unram yang melaporkan pelaku ke pihak fakultas atas tindakan serupa.
Kita telah mendapatkan tiga orang penyintas; apakah bertambahnya penyintas ini mungkin terjadi? Mungkin saja. Namun, sayangnya, tidak (atau belum) ada jaminan keamanan yang tegas bagi para pelapor/penyintas. Apakah para pihak berwenang --pada kasus ini-- mampu menjamin itu? Belum tentu.
Seorang pengamat kebijakan publik di Kota Mataram, Aliurridha dalam sebuah artikelnya berjudul Dosen Pelaku Pelecehan Seksual Diskorsing tapi Dapat Izin Belajar Lanjut Doktoral, Ini Sanksi Apa Hadiah? pun jelas menyatakan pendapat bahwa ketakutan akan keterungkapan identitas diri merupakan penghalang utama mereka untuk melapor.
Jika keamanan identitas saja belum mampu dijamin, bagaimana dengan keamanan fisik? Siapa yang akan --dan bagaimana cara-- menjamin si penyintas supaya tidak dirundung, dikecam, diancam, atau bahkan dibungkam dengan segala cara? Sudah cukup kita dengar bagaimana masyarakat berbalik menyalahkan penyintas selama kasus mereka diproses.
Di lain sisi, para pelaku seakan-akan diamankan --disamarkan identitasnya, dijunjung tinggi peran sosialnya, dimohonkan belas kasihan atas nama keluarga, dan lain-lain. Fenomena ini agaknya tak lepas dari tipisnya rasa empati antarsesama, enggan mencoba untuk menempatkan diri di posisi penyintas. Ditambah dengan lemahnya literasi masyarakat terhadap ilmu hukum secara umum, maka tidak heran jika sikap tersebut dibenarkan dan dibiarkan.
Masih segar ingatan saya tentang kasus Baiq Nuril. Apakah para penyintas ini akan bernasib sama seperti dia jika melapor ke ranah pidana? Atau jangan-jangan saya yang akan bernasib demikian, sebab telah menulis nama lengkap pelaku di awal tulisan ini tanpa sensor.
Kembali ke soal pelaku, penting untuk diketahui apa motivasi yang mendorongnya bertindak demikian, di kampus pula --tempat para intelektual berkumpul, tempat sirkulasi ilmu (idealnya) berlangsung, serta tempat para agen perubahan menempa dirinya! Apakah fungsi kampus secara berangsur-angsur telah bercabang?
Menara gading pencetak intelektual minim akal budi tampaknya bukan lokus yang dibutuhkan oleh masyarakat umum. Jika masyarakat yang, katakanlah, berpendidikan, menyelesaikan pendidikan formal, gagal bersikap profesional dan berakal budi, lantas apa bedanya mereka dengan masyarakat yang kerap dicap tidak berpendidikan?
Dalam teori evolusi dasar, organ seksual tubuh manusia (heteroseksual), secara natur akan bereaksi ketika berhadapan dengan lawan jenis yang bagi mereka menarik dari segi penampilan atau pun kognitif, tergantung selera. Jika melihat kasus ini dari kacamata tersebut, maka kita tahu bahwa sikap seksual si dosen sangatlah wajar terjadi.
Andaikata si mahasiswi pun tertarik pada si dosen dan mereka bercinta di luar kampus, itu jelas bukan urusan publik karena aktivitas terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak. Perkara aktivitas tersebut, di lingkup sosial, akhirnya akan jatuh ke istilah perselingkuhan, itu urusan lain.
Tetapi, ia akan jadi urusan publik jika salah satunya tidak menyetujui tindakan seksual terjadi di antara mereka, dan si pihak yang tidak setuju menyatakan diri bahwa ia tidak setuju, merasa keberatan tubuhnya diperintah melakukan aktivitas seksual, dan merasa dilecehkan. Dalam kasus ini, laporan dari si mahasiswi telah membuktikan bahwa ia keberatan, tidak setuju, dan merasa dilecehkan!
Lagi pula, dalam perjalanan evolusi manusia, sikap-sikap liar di atas merupakan tabiat manusia primitif yang notabene belum mampu berpikir hingga mencapai akal budi. Tindakan pelecehan seksual jelas bukan cerminan tabiat manusia modern --mengedepankan kerja nalar ketimbang dorongan nafsu kawin-mawin. Sebagai dosen, si pelaku gagal memahami batas-batas sikap wajar di ruang profesional. Ia gagal memainkan peran sosialnya secara bijak. Ia gagal menempa dirinya menjadi manusia berakal budi luhur.
Sampai di sini, saya akhirnya mempertanyakan kembali apa fungsi sekolah formal dan apa tujuan manusia belajar, sebab pergi sekolah hingga jenjang strata dua (S2) ternyata tidak membuat si pelaku ini mampu mengontrol hasrat seksualnya. Konyolnya, ia kini dikabarkan akan melanjutkan pendidikan strata tiga (S3) selama menjalani sanksi.
Hingga Agustus kini, saya belum membaca satu pun berita, atau publikasi diskusi dari sebuah forum, atau wacana perkembangan tentang tindak lanjut kasus ini. Apakah para penghuni menara gading merasa itu bukanlah ranah mereka untuk ikut campur? Apakah pelecehan dan kekerasan seksual masih belum menjadi hal darurat di sana? Atau, jangan-jangan ada budaya tutup-mulut-demi-kedamaian yang menjadi virus bagi mereka di sana.
Ilda Karwayu guru Bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institure (MaLFI)
(mmu/mmu)