Merdeka artinya bebas. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, bapak-bapak dan ibu-ibu kita dulu, para pendiri Republik ini berjuang agar kita sebagai anak bangsa bebas untuk menentukan nasib kita sendiri. Merdeka artinya berdaulat, kita bebas memilih untuk mengambil tindakan apa saja untuk kita sendiri.
Tujuan itu boleh dibilang telah tercapai saat kita memproklamasikan kemerdekaan, 75 tahun yang lalu. Meski masih ada sejumlah perselisihan dengan Belanda, pada akhirnya proklamasi itu adalah saat penjajahan panjang atas tanah kita berakhir. Masalahnya, apakah proklamasi itu serta merta membawa kita pada tujuan kemerdekaan, yaitu bersatu, berdaulat, adil, dan makmur? Jawabannya, tidak.
Kedaulatan ternyata terkait dengan soal apakah kita makmur atau tidak. Tanpa kemakmuran, ada banyak hal yang tidak bisa kita lakukan dengan bebas. Bahkan kedaulatan kita terancam. Awal tahun ini sebuah kapal coast guard Cina dengan enteng masuk ke wilayah perairan kita. Awak kapal Cina itu terang-terangan mengatakan bahwa mereka sedang melakukan kegiatan resmi, menjaga perairan Cina. Aartinya, mereka menganggap bahwa perairan Natuna itu miliknya --tak menghormati kedaulatan kita di situ.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa Cina berani bertindak begitu? Salah satu alasan yang mungkin adalah karena mereka merasa superior. Untuk mengusir sebuah kapal coast guard, kita harus mengerahkan kapal perang TNI AL. Kapal-kapal coast guard kita tak sebanding dengan kapal milik Cina. Ibaratnya, Cina adalah seorang pria kekar yang seenaknya merundung seorang pria kerempeng yang tak berdaya untuk melawan.
Dalam hal persenjataan militer kita jelas kalah jauh dengan Cina. Sebabnya, anggaran militer kita jauh di bawah Cina. Anggaran militer kita jauh di bawah Cina. Artinya, kita tak punya cukup uang untuk melengkapi diri dengan persenjataan memadai yang membuat kita disegani.
Tentu ini bukan hanya soal senjata. Untuk makan nasi kita selalu mengimpor beras. Tak hanya beras, kita juga mengimpor kacang kedelai, jagung, buah-buahan, berbagai produk pertanian. Padahal sepanjang usia sekolah kita belajar bahwa kita ini negara agraris. Negara agraris, tapi tak sanggup memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri.
Dalam hal industri, kita hanya sekadar berperan sebagai tuan rumah bagi pabrik-pabrik milik perusahaan dari negara lain. Mereka mendirikan pabrik di sini karena tanah kita murah, dan tenaga kerja kita juga mau dibayar murah. Alasan lain, karena mereka ingin mengambil sumber daya alam yang kita miliki, atau menjual produk mereka untuk kita konsumsi.
Ada begitu banyak produk industri sederhana yang masih harus kita impor. Sekadar ember plastik, mainan anak-anak, jarum, dan gunting kuku pun harus kita impor. Kita tak membuat itu semua.
Sumber daya alam yang kita miliki tak bisa kita olah sendiri. Sekadar menangkap ikan di laut pun kita tak sanggup, sehingga laut kita dipenuhi oleh kapal-kapal asing. Minyak, tembaga, dan emas kita, diambil dengan teknologi dan modal asing.
Itu adalah deretan kenyataan pahit yang harus kita saksikan pada usia 75 tahun kemerdekaan kita. Ringkasnya, kita hanya merdeka secara formal, tapi sama sekali tak mandiri. Setiap tahun kita mesti berutang untuk mencukupi anggaran belanja kita sendiri.
Kenapa kita begini? Ini adalah hasil dari kesalahan kolektif kita. Salah pemerintah, salah pengusaha, salah kaum buruh, salah petani, salah pedagang. Ini salah kita semua.
Mari kita tinjau soal industri. Pemerintah salah. Banyak salahnya. Strateginya tidak jelas. Rencananya tidak jelas. Prioritas juga tidak jelas. Ditambah lagi, korup!
Usaha untuk membangun industri logam dasar dengan membangun Krakatau Steel dimulai dengan mega-korupsi. Kalau Anda ikuti kasus perburuan harta Taher di zaman Orde Baru dulu Anda akan tahu ceritanya. Usaha membangun industri kimia dasar (olefin) dulu menghasilkan skandal Eddy Tanzil. Ada banyak lagi salah pemerintah, dari zaman Soeharto sampai sekarang.
Lalu bagaimana dengan korporasi? Perusahaan raksasa Indonesia banyak. Tapi nyaris tidak ada yang mau berivestasi di riset teknologi dan pengembangan produk. Maaf saja, mereka hanya mencari kekayaan. Setelah kaya, duitnya diparkir di Singapura. Mereka kendalikan bisnis dari sana.
Lalu apa lagi? Peneliti kita banyak yang lebih suka cari popularitas ketimbang bekerja serius untuk riset. Tentu saja ada orang-orang yang bekerja serius. Tapi jumlahnya masih jauh dari cukup. Kualitasnya, dalam hal kreativitas, integritas, dan motivasi, juga rendah.
Pekerja kita kebanyakan bermental budak. Sedikit yang mau bersusah payah mengasah kemampuan dan menambah skill. Skill rendah, disiplin minim, motivasi melempem, tapi gaji mau tinggi.
Intinya, ini kesalahan kolektif kita sebagai bangsa. Ini harus diperbaiki. Bagaimana memperbaikinya? Sadarilah bahwa kemerdekaan hakiki baru akan kita raih kalau kita merdeka secara ekonomi. Untuk mencapai itu, kita perlu teknologi. Dengan teknologi kita bisa mengolah potensi sumber daya alam kita menjadi uang. Tapi tentu saja itu pun tak cukup. Kita perlu pengusaha yang mau berinvestasi dengan tujuan membangun kemandirian, bukan sekadar untuk memperkaya diri. Kita perlu pekerja yang bekerja keras tak sekadar untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Ringkasnya, segenap komponen bangsa ini perlu bekerja lebih keras lagi, lebih cerdik lagi. Yang sangat penting adalah, kita perlu bekerja untuk membangun kemandirian, bukan sekadar bekerja untuk mencukupi kebutuhan dan nafsu pribadi. Kita juga membutuhkan pemimpin yang secara serius bekerja untuk kemandirian, melalui langkah-langkah nyata dan substansial, bukan untuk pencitraan.
Meninjau keadaan kita sekarang, jalan kita masih sangat panjang untuk mencapai kemandirian. Dengan komitmen penuh, strategi yang jitu dan kepemimpinan kuat, kita mungkin membutuhkan 25 tahun untuk bisa mandiri. Tanpa 3 hal itu, sampai kapan pun kita akan terus begini. Merdeka, tapi tak mandiri.
(mmu/mmu)