Golongan Muda, Terima Kasih Inspirasinya!
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Golongan Muda, Terima Kasih Inspirasinya!

Jumat, 14 Agu 2020 11:34 WIB
Aris Munandar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ilustrasi kemerdekaan
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Kata pemuda seringkali menerbitkan kebingungan perihal batasan usia sebenarnya. Namun dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009, batas usia yang dikategorikan sebagai pemuda adalah 16-30 tahun. Ini jauh berbeda dengan batasan usia pemuda yang ditetapkan WHO, yaitu 18-65 tahun.

Saya pikir, usia yang ditetapkan hanya agar urusan administrasi menjadi mudah. Di tengah kerancuan definisi pemuda melalui angka, agaknya lebih mudah mengkategorisasikannya melalui sikap, sifat, perilaku dan pola pikir.

Menggali lagi buku-buku yang menulis sejarah sepanjang Agustus 1945, ternyata ada perbedaan yang mencolok antara sikap dalam merespons keadaan masa itu dari pemuda dan orang-orang tua. Puncaknya terlihat pada Peristiwa Rengasdengklok. Namun baiknya kita juga melihat kiprah Sukarno dan kawan-kawan pada masa muda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peka

Tak seperti era kiwari dengan jargon "dunia dalam genggaman", di tengah keterbatasan para pemuda pada masa pergerakan punya perspektif berpikir yang luas. Banyak yang cakrawala berpikirnya sampai pada wawasan internasional. Di kaitkan dengan kondisi Hindia Belanda pada masa itu. Juga di masa Jepang.

ADVERTISEMENT

Lihat bagaimana Suwardi Suryaningrat pada umur 24 tahun membuat pemerintah Hindia Belanda frustrasi. Als ik een Nederlander was, tulisannya di De Expres mengkritik perayaan gegap gempita 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis. Ironi ditampilkan Suwardi Suryaningrat saat Belanda juga merayakannya di negara jajahannya dan meminta sumbangan ke seluruh rakyat Hindia Belanda.

Sukarno masih berusia 29 tahun saat membacakan pledoi Indonesia Menggugat di persidangan kasus tuduhan upaya menggulingkan penguasa oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia bicara situasi Internasional dan penderitaan rakyat di bawah jajahan Belanda. Pembelaan itu menginspirasi lebih banyak orang untuk keluar dari penjara imperialisme dan kolonialisme.

Kepekaan akan kondisi bangsa, mulai akar rumput sampai puncak kekuasaan menjadi pemicu pemikiran-pemikiran luar biasa ini. Kaum pemuda pada masa pergerakan seringkali berasal dari golongan ningrat. Namun mereka yang kritis dan progresif, tidak larut dalam konservatisme mempertahankan privilese dan status quo. Wawasan internasional pada masa itu dikawinkan dengan kepedulian pada segala penindasan yang dialami bangsa.

Responsif terhadap Perubahan

Saat mendengar Jepang menyerah kalah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, para pemuda yang dimotori Wikana spontan memutuskan bertemu esok harinya di bawah pohon di dekat Asrama Menteng. Mereka membicarakan apa yang harus dilakukan.

Mereka memutuskan untuk mengirim perwakilan bertemu Sukarno dan Hatta. Maka diutuslah Wikana, Aidit, Suroto dan Subadio untuk ke Pegangsaan Timur No. 56. Sedari awal tujuannya bukan lagi berdiskusi, tetapi mendesak proklamasi secepatnya dikumandangkan.

Berani Menantang Risiko

Tak hanya mengancam diri mereka sendiri, pilihan itu juga berpotensi menumpahkan darah seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, Jepang yang sudah kalah dalam perang pasifik, bisa saja jadi tambah frustrasi dengan rencana proklamasi kemerdekaan. Namun cita-cita yang mereka impikan dan semangat muda yang berapi-api membelakangi risiko itu.

Saat Sukarno dan Hatta diangkut golongan muda ke Rengasdengklok, golongan tua lainnya seperti Ahmad Subarjo kebingungan mencari mereka. Ia mengira Sukarno dan Hatta diculik Rikugun. Tak hanya Ahmad Subarjo, Laksamana Meida dan asistennya, Nishijima juga kebingungan. Lalu mereka mendatangi asrama di Menteng tempat pemuda-pemuda tinggal.

Di sana ia menemukan Wikana. Terjadi perdebatan. Keberanian Wikana mendebat dan mendesak Laksamana Meida, akhirnya membuahkan hasil. Laksamana Meida menjamin untuk bekerjasama dalam memproklamasikan kemerdekaan. Setelah usahanya berhasil, Wikana pun mengatur kepulangan Sukarno dan Hatta ke Jakarta. Wajar saja jika Soe Hok Gie di Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1969) menulis, "Tanpa Wikana, proklamasi Indonesia tidak akan berjalan lancar."

Menelusuri perbuatan Wikana masa itu, saya jadi ingat ucapan seorang ronin yang bernama Musashi, tokoh rekaan dari serial Westworld. Ia pernah berkata, "Cowardice is a tin shield." Kebalikannya, golongan muda masa itu dengan keberaniannya menjadi tameng yang tebal untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia.

Lalu saya berpikir, mungkinkah kalimat, "Pemuda yang harus mencetak sejarah hari ini dan menentukan bagaimana masa depan," yang ditulis Pram di buku Anak Semua Bangsa salah satunya terinspirasi dari kejadian ini? Mungkin saja. Yang jelas kalimat rekaan akan makin bermakna jika dikaitkan dengan sebuah peristiwa yang nyata.

Kolaboratif

Tentu tak sembarang memilih teman bekerja sama. Hal ini juga mempertimbangkan kecocokan gagasan dan tujuan. Jika memilih jalan mudah, tentu bekerja sama dengan Jepang akan lebih menyenangkan. Menjadi pembocor rahasia atau mata-mata.

Namun itu tidak dilakukan golongan muda. Para golongan tua yang banyak pertimbangan, tidak responsif terhadap keadaan, dan takut mengambil risiko tetap mereka ajak kolaborasi untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Karena mereka tahu, mereka punya gagasan, semangat dan tujuan yang sama. Meski pada akhirnya golongan tua seperti Hatta enggan mengakui peran golongan muda di dalam proklamasi kemerdekaan, tetapi tujuan sudah tercapai.

Melihat sikap-sikap yang ditunjukkan pemuda mulai dari masa kemerdekaan, kita dapat merefleksikannya kepada diri kita di masa sekarang. Bukankah Gojek lahir dari kepekaan Nadiem melihat permasalahan transportasi di Indonesia? Bukankah Ruang Guru lahir dari rasa prihatin terhadap kolot dan konvensionalnya sistem pendidikan? Lihatlah cara Bukalapak dalam membantu perekonomian UMKM. Tentu banyak ide yang lahir jika kita peka terhadap keadaan.

Ide adalah satu hal. Responsif adalah hal lain. Mungkinkah pendiri start up itu mampu mendirikan dan mengembangkan idenya tanpa mengikuti perkembangan zaman. Teknologi digital di seluruh lini kehidupan adalah keniscayaan di masa depan. Era revolusi industri 4.0 sudah terjadi di sekitar kita. Maukah kita tertinggal dan terus menikmati keterbelakangan?

Di setiap gagasan dan selanjutnya percobaan, selalu dibayangi ketakutan. Ialah kegagalan.

Namun bukankah masa muda, meminjam kalimat Najwa Shihab, adalah masanya menghabiskan stok kegagalan. Setiap langkah ke depan tentu ada risiko. Namun jika tidak melangkah, tentu kita tidak akan maju.

Terakhir, saya belakangan suka menonton video-video fashion hypebeast. Bukan tertarik untuk mencoba. Namun lebih pada bagaimana cara mereka berkolaborasi melahirkan suatu produk dan menjadikannya memiliki nilai tambah lebih banyak.

Supreme berkolaborasi dengan Oreo melahirkan biskuit yang mau dibeli orang dengan harga Rp 500 ribu per bungkus yang isinya hanya tiga keping biskuit. Kerja sama Nike dan Michael Jordan melahirkan produk sepatu yang fenomenal dan selalu banyak diburu di setiap peluncuran model teranyarnya. Kolaborasi NASA dan Lego melahirkan mainan yang dapat memicu anak untuk menyenangi dunia sains. Unik dan seringkali dianggap aneh, namun berhasil diwujudkan.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads