Diksi Presiden Jokowi semakin menarik untuk dicermati. Misalnya, Jokowi telah melontarkan kosakata "gigit" dalam upaya mencegah korupsi (detikcom, 15/6), dan wacana tentang kemungkinan reshuffle kabinet dengan ekspresi yang terkesan marah, terkait penanganan pandemi Covid-19 (detikcom, 26/6).
Kosakata "gigit" tidak lazim dilontarkan seorang pemimpin, di negara mana pun, karena memuat bias tafsir yang cenderung keras. Lebih jelasnya, gigit-menggigit itu perilaku kekerasan.
Dalam pertandingan olahraga tinju misalnya, jika ada petinju di atas ring menggigit lawannya, seperti yang pernah dilakukan Mike Tyson terhadap Evander Holyfield (28 Juni 1997), sanksinya sangat keras: didiskualifikasi, lisensi betinjunya dicabut dan juga didenda cukup besar, 3 juta dolar AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sejarah sepakbola pun beberapa kali terjadi kasus menggigit lawan main di lapangan hijau. Dan, publik pasti mengecam keras dan menganggap pemain yang menggigit lawan adalah pemain paling brutal.
Dari fakta-fakta tersebut, perilaku gigit-menggigit kemudian dianggap buruk, di ranah apa pun. Kasus Tyson menggigit lawan main di atas ring tersebut, meskipun tinju dikategorikan sebagai olahraga keras, terbukti dianggap sangat jahat, selain memang tidak lazim.
Tentu, "gigit" yang maksudkan Jokowi hanya sebagai metafora saja untuk menakut-nakuti bawahan. Namun, bukan tidak mungkin ketika Jokowi mengucapkan kosakata "gigit" hanya terpengaruh kebiasaan dalam masyarakat Jawa. Misalnya, bagi banyak orangtua di Jawa kalau menakut-nakuti anak akan suka bilang "takcokot". Biasanya, setelah mendengar ucapan tersebut, anak akan baik-baik saja, tidak nakal lagi.
Sekadar membuka data empiris, sebelumnya sejarah mencatat bahwa Presiden Jokowi pernah mengucapkan ancaman: "Akan saya kejar! Akan saya hajar! Akan saya gebuk!". Kosakata "gebuk" jelas sering diucapkan Soeharto pada masa Orde Baru, yang ternyata tidak sekadar ucapan belaka melainkan menjadi tindakan nyata: banyak pihak pada masa itu yang dianggap berbahaya memang betul-betul digebuk.
Data empiris tersebut menunjukkan Jokowi pernah terpengaruh Soeharto dalam urusan komunikasi. Oleh karena itu bukan berlebihan jika ada pihak yang khawatir jika Jokowi bakal menjadi pemimpin otoriter seperti Soeharto. Kekhawatiran demikian mungkin berlebihan, karena latar belakang Jokowi adalah sipil, sedangkan Soeharto berlatar belakang militer. Sedangkan latar belakang sipil dan militer memiliki perbedaan sangat jelas jika dikaitkan dengan politik kekuasaan.
Mungkin, Jokowi ingin menjadi pemimpin yang ditakuti, tanpa harus jadi otoriter. Itulah dugaan paling rasional, mengingat punya latar belakang sipil. Dugaan ini pun muncul di ruang publik ketika Jokowi dengan ekspresi marah mengucapkan wacana reshuffle dalam rapat internal bersama kabinet.
Wacana reshuffle jika diucapkan seorang Presiden sangat menakutkan bagi pembantu-pembantunya. Apalagi jika disertai dengan nada dan ekspresi yang terkesan kecewa dan marah, seperti yang diperlihatkan Jokowi pada saat mengucapkannya. Maka wajar saja jika publik menduga, sekarang ada sejumlah anggota kabinet yang didera resah karena kemungkinan akan segera dipecat.
Tentu berdampak buruk bagi kinerjanya, jika betul anggota kabinet dirundung resah gara-gara muncul wacana reshuffle yang diucapkan Presiden. Karena itu, di banyak negara wacana reshuffle yang dilontarkan dengan ekspresi marah sering dihindari oleh pemimpin pemerintahan agar jajaran pembantunya tidak dilanda resah dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Terutama dalam pemerintahan yang dibentuk berdasarkan koalisi multipartai seperti pemerintahan yang dipimpin Jokowi sekarang, wacana reshuffle sangat sensitif bagi stabilitas politik. Dalam hal ini, wacana tersebut jika sudah terlontar akan memunculkan spekulasi-spekulasi politik yang memanaskan situasi. Ujung-ujungnya akan muncul isu pemerintahan koalisi akan bubar di tengah jalan.
Isu tersebut bukan tidak mungkin akan disusul isu lain yang lebih mengkhawatirkan: jika koalisi bubar, maka akan ada pergantian kepemimpinan nasional di tengah jalan yang disertai kegaduhan dan bahkan kerusuhan.
Dengan demikian, saran yang layak dihaturkan kepada Presiden adalah sebagai berikut: Jangan memilih diksi buruk dan ekspresi marah yang bisa meresahkan dan menakutkan jajaran bawahan, agar stabilitas politik tidak mengalami goncangan destruktif. Kalau memang ingin menegakkan hukum yang adil dan tegas, tak perlu dengan diksi buruk dan ekspresi marah, karena semua sudah ada mekanisme sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Namun, diksi buruk dan wacana reshuffle yang dilontarkan dengan ekspresi marah sebetulnya layak dianggap sebagai otokritik terhadap pemerintahan koalisi yang cenderung kurang mengutamakan profesionalisme atau lebih mengutamakan stabilitas politik sehingga kinerja sejumlah anggota kabinet dari partai-partai pendukung ternyata mengecewakan. Pada titik ini, diksi buruk dan ekspresi marah tersebut layak segera ditindaklanjuti dengan reshuffle dan rotasi jabatan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan selanjutnya, demi bangsa dan negara.
Justru jika misalnya Jokowi hanya berhenti pada diksi buruk dan ekspresi marah saja, tanpa tindak lanjut yang seharusnya dilakukan, akan mirip gertak sambal. Tak ada yang takut, sehingga yang punya kinerja buruk akan tetap buruk atau bahkan semakin buruk.
Siti Siamah peneliti Global Data Reform
(mmu/mmu)