Orangtua mengeluh karena pembelajaran daring menimbulkan segudang masalah, seperti penambahan pengeluaran, repot menemani anak belajar, sulit mengendalikan penggunaan gawai, dan lain sebagainya. Sampai ada yang berkeinginan merumahkan anaknya jika proses belajar dan mengajar terus menggunakan daring.
Guru pun menjadi lampiasan kekesalan orangtua. Beragam ejekan ditujukan pada guru. Di media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter beredar cerita viral tentang seorang anak yang ingin mencetak tugas dari guru di sebuah warung internet (warnet). Rupanya anak tersebut hanya memiliki uang Rp 5.000, jauh dari harga sebenarnya Rp 24.000. Anak tersebut melongo. Lalu meminta izin penjaga warnet pulang sebentar mengambil kekurangan biaya cetak. Seseorang, seperti yang tercantum pada kisah tersebut, lalu membayari ongkos cetak tugas anak tersebut.
Begitu banyak kisah positif yang dapat membawa semangat orangtua membantu guru mendidik siswa pada masa pandemi, namun kisah yang memojokkan guru di atas yang menjadi viral. Cerita tersebut bergerak cepat, dibagi dari satu orang ke orang lain menjadi isu hangat, bahan tertawaan, dan ejekan kepada guru. Di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, guru turut menjadi terdakwa sebagai penambah beban ekonomi keluarga.
Bukan kisah itu saja yang memojokkan guru. Banyak beredar flyer digital di media sosial berisi sindiran kepada guru yang masih menerima gaji berbentuk uang nominal. Seharusnya pembelajaran daring yang dilakukan guru tak perlu dibayar uang, tapi cukup gambar uang di berbagai situs internet. Di tengah pandemi, profesi guru dipandang sebelah mata hingga dijadikan sumber lelucon.
Korban Kebijakan
Guru hanya korban kebijakan dari pusat. Bukan mereka yang memilih pembelajaran daring. Jika boleh memilih, lebih baik mereka mengajar seperti biasa, meskipun risiko tertular Covid-19 sangat tinggi. Guru di Indonesia belum siap dengan pembelajaran daring sebab kemampuan penguasaan teknologi informasi belum sehebat negara maju. Masih banyak guru yang gaptek (gagap teknologi), terutama yang berusia 40 tahun ke atas.
Survei Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2018 menyebut dari seluruh jumlah guru di Indonesia, baru 40 persen yang melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sisanya, sebanyak 60 persen masih gaptek di era digital ini. Jika jumlah seluruh guru di Indonesia tiga juta orang, berarti baru 1,2 juta yang baru melek teknologi informasi komunikasi. Sisanya 1,8 juta guru masih gaptek alias tidak siap pembelajaran daring.
Dengan kondisi tersebut, jangan berharap banyak atas kualitas pembelajaran daring. Apalagi, proses pembelajaran daring belum memiliki panduan, pelatihan, dan standar prosedur dari pemerintah. Demikian juga dengan bantuan operasional untuk guru selama pembelajaran daring yang memerlukan biaya besar, pemerintah pun tak menyediakan. Semuanya ditanggung guru. Bahkan gawai pun milik pribadi. Padahal penghasilan guru di negeri ini, apalagi guru swasta masih sangat minim, bahkan masih jauh dari upah buruh. Di tengah krisis ekonomi ini, justru guru yang memberi subsidi pada anak bangsa.
Pemerintah hanya bisa membuat kebijakan, tapi tidak memberikan dukungan yang memudahkan guru melakukan pembelajaran daring. Guru di negeri ini dibiarkan berjuang sendiri di medan pekerjaan yang penuh tantangan dan ancaman Covid-19.
Di tengah ancaman Covid-19, guru harus tetap bekerja mendidik anak bangsa. Di daerah yang belum tersentuh jaringan internet, mereka terpaksa mengunjungi rumah-rumah siswa mengantarkan bahan ajar atau melakukan pembelajaran berbasis komunitas. Betapa berat beban guru di daerah tersebut. Mereka harus berjibaku di tengah ancaman Covid-19 yang bisa saja mewabah di rumah siswa yang dikunjungi. Betapa besar perjuangan guru di masa pandemi ini.
Mendikte Guru
Pada abad yang lalu, guru adalah manusia terdidik di antara komunitas masyarakat. Mereka dihormati dan dihargai. Kini, sebaliknya orangtua merasa lebih hebat dari guru sebab mengambil gelar sarjana mudah. Orangtua merasa selevel dengan guru, lalu mendikte guru dengan berbagai aturan. Guru tak boleh galak, tak boleh memberi pekerjaan rumah (PR), tak boleh menghukum anak, dan lain sebagainya.
Ya, anak dijadikan hiasan yang tidak boleh rusak, tidak boleh jatuh dan pecah layaknya intan berlian. Guru tidak boleh memarahi anaknya karena di rumah orangtua tidak pernah memarahinya. Itulah mengapa banyak siswa yang tidak bisa diajari disiplin oleh guru.
Padahal, menjadi guru itu tak semudah membalik telapak tangan. Tidak semua elemen masyarakat sanggup menggantikan profesi tersebut. Guru bekerja 6 hari dalam seminggu dengan durasi 6 hingga 8 jam, pergi pagi sebelum siswa berdatangan, dan pulang setelah siswa seluruhnya pulang.
Selain mengajar, guru juga menangani siswa bermasalah, menyiapkan rencana pembelajaran, merancang soal kuis dan ujian, mempelajari konsep-konsep pembelajaran, dan mengembangkan metode belajar agar siswa bersemangat belajar.
Justru pada masa pandemi seperti ini orangtua harus saling sinergi dan membantu guru. Jika tak mampu memberi bantuan finansial, apalagi menggantikan profesi guru di rumah, alangkah baiknya diam saja, tak perlu mengolok-olok guru. Jika akhirnya tetap menyerahkan anak untuk guru, lalu mengapa mengolok-olok guru? Apakah rasa berterima kasih kepada orang yang berjasa pada anak Anda dan Anda sudah tak ada lagi?
Arfanda Siregar dosen Politeknik Negeri Medan, Mudir Islamic Center Ali Bin Abi Tholib, Program Dokor PTK UNP
(mmu/mmu)