ODOL atau Over Dimension Over Load merupakan sebuah penyakit menular dalam sistem logistik jalan raya (truk) yang dampaknya hampir sama dengan pandemi Covid-19. Namun membereskan ODOL lebih sulit daripada membereskan pandemi Covid-19 yang baru berusia setahun karena penyebab ODOL banyak, bukan hanya sekadar perubahan ukuran truk. Persoalan ODOL sudah berlangsung kurang lebih 30 tahun, hanya saja setelah Reformasi semakin menggila.
ODOL identik dengan penyalahgunaan wewenang, baik oleh oknum aparat berseragam maupun tidak berseragam di berbagai titik yang tidak kunjung bisa diselesaikan oleh pemerintah. Mulai dari titik angkut barang (gudang-pelabuhan-bandara), titik perjalanan (arteri maupun tol) sampai titik penurunan barang (gudang).
Kalau transporter (truk) tidak melakukan ODOL, maka usaha logistiknya bisa bangkrut. Kita punya sarana dan prasarana yang baik, tetapi sistem manajemen tata kelolanya dirusak oleh oknum yang sulit tersentuh hukum. Bisnis logistik mirip dengan bisnis narkoba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi beralasan kalau regulator kesulitan menertibkan ODOL hingga saat ini karena akar permasalahannya belum disentuh. Hanya mengusik sisi hilirnya saja, yaitu operator dan awak truk tanpa membereskan sistem operasi logistik yang amburadul karena banyaknya "pungli". Pola kerja mereka jelas melanggar peraturan perundangan dan kasat mata, tetapi tidak ada yang bisa membereskan persoalan di seluruh rantai logistik darat.
Kalau persoalan ini belum dibereskan, infrastruktur mahal yang dibangun dengan uang rakyat dan hutang menjadi percuma. Itu persoalan kusut nan tragis di balik industri logistik Indonesia. Coba kita bahas singkat siapa tahu aparat hukum, pemerintah, dan publik mempunyai ide untuk membereskannya.
Cerita
Persoalan ODOL bukan persoalan sederhana yang hanya terkait dengan pelanggaran kelebihan muatan yang berakibat kemacetan, kerusakan jalan, dan tidak efisiennya biaya logistik darat selama ini. Persoalan ODOL dimulai dari titik loading atau muat barang, misalnya di pelabuhan atau di area industri atau di pusat logistik lainnya.
Hasil pengamatan saya di lapangan menemukan berbagai persoalan keamanan dan pungli yang sangat besar serta menahun tanpa dapat diselesaikan, baik oleh regulator maupun aparat keamanan. Persoalan tersebut menjadi salah satu penyebab utama tidak efektifnya sistem logistik darat di Indonesia.
Sebagai contoh pada saat truk akan memuat barang di kawasan industri di Jawa Tengah, mereka dikenakan uang pungli oleh para preman (disebut uang koordinasi penanganan barang untuk sekali masuk) untuk memuat barang di pabrik melalui pungutan sebesar Rp 1.000.000 - Rp 1.500.000 per truk dan uang kutipan di jalan sebesar Rp 500.000 - Rp 750.000. Jadi sekali jalan awak truk harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2.250.000.
Sementara itu untuk mendapatkan muatan mereka harus mengantri 1 - 3 hari, sehingga diperlukan biaya tambahan makan dan lain-lain dari awak truk. Kalau mau cepat tentu ada biaya tambahan lain lagi sekitar Rp 300.000.
Misalnya jika ada kontrak dengan sebuah pabrik untuk mengangkut sejumlah barang dengan tiga (3) truk @ 20 ton; daripada pemilik/sopir truk harus mengeluarkan uang keamanan 3 x ( 2.250.000 + 300.000) = Rp 7.650.000 lebih baik cukup diangkut oleh 2 truk yang disulap jadi truk ODOL, sehingga bisa menghemat Rp 2.550.000. Tinggal cadangkan lagi sekitar Rp 200.000 per truk per trip lagi kalau ada kutipan lain misalnya di rest area jalan tol atau lokasi biasa truk istirahat di jalan arteri daripada ban serep hilang atau solar disedot, jadi masih ada penghematan sekitar Rp 2.300.000 per trip per truk.
Pengusaha logistik atau truk bisa berhemat, tetapi perawatan jalan menghabiskan dana yang tidak sedikit, baik bagi Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR melalui APBN maupun Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) melalui anggaran perawatan yang memberatkan ketika tarif dan pengguna belum sampai pada nilai ekonominya. Belum lagi kerugian karena akibat truk ODOL menyebabkan banyak kecelakaan yang merengut nyawa manusia dan kerugian material lainnya.
Sebagai contoh di 11 ruas jalan tol yang dikelola oleh PT Jasa Marga TBk, hingga Mei 2020 ada 272 atau 48% kecelakaan di jalan tol yang disebabkan oleh truk. Terbanyak adalah patah sumbu roda atau as, kecepatan rendah sehingga ditabrak dari belakang dan rem blong. Ketiga penyebab utama kecelakaan fatal ini sebagai dampak kondisi truk yang ODOL. Sebanyak 29.02% kecelakaan tabrak dari belakang di jalan tol melibatkan truk.
Regulator dan aparat sangat mengetahui kondisi tersebut tetapi tidak dapat berbuat apa-apa karena patut diduga termasuk oknum yang menikmati buruknya manajemen logistik darat di Indonesia. Sehingga regulator dan aparat hanya fokus pada truk ODOL nya saja dan ini tidak menyelesaikan akar permasalahannya. Para pemilik dan awak truk lebih senang tidak ODOL karena kerugian kerusakan truknya pun makin kecil. Namun kalau tidak ODOL biaya angkut tidak tertutupi.
Langkah Penanganan
Sebagai regulator sebaiknya Kementerian Perhubungan harus konsisten menjalankan perannya yang tak pernah kunjung selesai terkait dengan operasional ODOL. Persoalan mendasarnya yang saya bahas di atas terkait dengan "jatah preman" tidak pernah dapat diselesaikan, padahal persoalannya ada di depan mata kita dan ini persoalan mengapa ada truk ODOL.
Persoalan ini sepertinya hanya terjadi hanya di Indonesia dan seharusnya dapat diselesaikan secara win-win supaya para "preman" tetap bisa mendapatkan pendapatan yang halal dan bisnis logistik dioperasikan dengan biaya yang pasti, sehingga industri logistik darat kita maju dan bermartabat.
Kementerian Perhubungan sebagai regulator tidak boleh angin-anginan upayanya, sehingga terkesan tidak serius dan jangan ikut-ikutan jadi oknum preman. Kerugian negara akibat ODOL tidak saja dari sisi finansial, tetapi juga sudah banyak nyawa melayang. Jadi mari kita serius bereskan ODOL dari akar penyebabnya, meskipun preman punya "taoke", baik yang berseragam maupun tidak. Ajak mereka membahas, jika menolak tindak tegas. Meskipun mereka politisi, cukong dan aparat. Berani?
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)