Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi beban dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Kebijakan tersebut terdiri dari program belanja barang publik dan belanja barang non-publik senilai Rp 903,46 triliun. Dana tersebut akan dipenuhi dari skema burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Skema burden sharing ini didasarkan pada pembagian kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods. Pembiayaan public goods yang menjadi beban BI menyangkut hajat hidup orang banyak meliputi pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, sektoral kementerian/lembaga, dan pemda. Pembiayaan public goods dianggarkan sebesar Rp 397,56 triliun.
Adapun pembiayaan non-public goods yang menjadi tanggungan pemerintah menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha dan terdiri dari pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), Korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya. Dana untuk pembiayaan non-public goods adalah Rp 505,90 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesepakatan mengenai burden sharing menunjukkan dinamisnya pengelolaan APBN 2020 dan kebijakan pemulihan ekonomi. Sejak disahkannya UU APBN pada Oktober 2019 postur APBN mengalami dua kali perubahan melalui Perpres 54/2020 dan Perpres 72/2020. Pada Perpres 54/2020 biaya pemulihan ekonomi dianggarkan sebesar Rp 607,65 triliun yang terbagi dalam kategori demand side sebesar Rp 205,20 triliun dan supply side sebanyak Rp 402,45 triliun.
Pembiayaan demand side dihajatkan untuk perlindungan sosial yang terdiri dari program PKH, sembako, bansos, pra kerja, diskon listrik, logitik/pangan/sembako, BLT dana desa, dan insentif perumahan. Sementara pembiayaan supply side ditujukan sebagai insentif bagi usaha ultra mikro dan UMKM, korporasi, BUMN, pemerintah daerah, dan cadangan perluasan.
Selain kebijakan fiskal, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan moneter dan keuangan. Kebijakan moneter meliputi penurunan suku bunga acuan BI, penurunan GWM, perpanjangan tenor SBN, dan penyediaan uang higienis. Di sektor keuangan pemerintah memberikan kelonggaran persyaratan kredit/pembiayaan/pendanaan bagi UMKM dan keringanan pembayaran kredit bagi UMKM.
Pada Perpres 72/2020 terjadi perubahan biaya penanganan pandemi Covid-19 menjadi Rp 695,2 triliun. Dana tersebut dipergunakan untuk pembiayaan public goods/reliefs dan pemulihan ekonomi masing-masing sebesar Rp 397,56 triliun dan Rp 297,64 triliun. Perubahan ini sejalan dengan ketidakpastian yang tinggi pada masa pandemi sehingga kebijakan keuangan negara dan stabilitas sektor keuangan dibuat berdasarkan data proyeksi. Itulah sebabnya mengapa APBN dibuat fleksibel untuk menyesuaikan defisit yang terjadi akibat perubahan asumsi.
Pilihan Kebijakan
Meskipun terminologi yang digunakan mengatasi krisis akibat pandemi berbeda, tetapi isi kebijakannya sama karena karakteristik krisis ekonomi yang dihadapi tidak berubah. Krisis ekonomi yang bermula dari krisis kesehatan akibat pandemi belum pernah terjadi sebelumnya. Namun persoalan yang dihadapi tidak jauh berbeda dengan krisis ekonomi di masa lalu. Hanya saja krisis ekonomi akibat pandemi berdimensi global dan menyangkut berbagai aspek sosial dan politik.
Pencegahan penularan Covid-19 melalui kebijakan pembatasan sosial dan jaga jarak fisik yang diterapkan di wilayah penyebaran Covid-19 berdampak pada menurunnya aktivitas ekonomi. Penurunan aktivitas ekonomi baik di sektor formal maupun informal menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Akibatnya, pengangguran meningkat, konsumsi terganggu, ekspor dan impor terkontraksi, dan pertumbuhan ekonomi menurun tajam.
Meskipun kebijakan pemulihan ekonomi yang diambil pemerintah pernah dipraktikkan dan masih relevan saat ini, beberapa hal berikut perlu diperhatikan dalam menakar pilihan kebijakan tersebut. Pertama, tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan pemulihan ekonomi harus dirumuskan secara jelas. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai memudahkan formulasi teori yang dijadikan landasan mengatasi krisis dan pemilihan instrumen kebijakan.
Secara teoritis, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial dibedakan menjadi tujuh yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tingkat penggunaan tenaga kerja penuh, kebebasan ekonomi, efisiensi ekonomi, pemerataan ekonomi, dan keamanan ekonomi (Cobb, 2010). Perumusan tujuan menjadi krusial karena antara tujuan satu dengan lainnya dapat saling meniadakan (trade off). Misalnya, upaya mengatasi pengangguran berpotensi menimbulkan inflasi. Begitu juga ketika mengejar pertumbuhan yang tinggi maka aspek pemerataan kemungkinan besar terabaikan.
Kedua, efektivitas instrumen kebijakan memiliki dimensi waktu yaitu jangka panjang, menengah, dan pendek. Oleh karena itu, pilihan instrumen harus memperhitungkan jangka waktu penyelesaian masalahnya. Persoalan kemiskinan dan rendahnya daya beli, misalnya, harus diselesaikan dengan instrumen kebijakan berdimensi jangka pendek. Itulah sebabnya kebijakan pemberian dana bantuan sosial harus segera dieksekusi agar dampaknya cepat terlihat. Kebijakan penurunan suku bunga acuan BI berdimensi jangka menengah karena tidak bisa segera diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga ada tenggang waktu untuk melihat dampaknya.
Ketiga, instrumen kebijakan yang digunakan dipengaruhi oleh asumsi dan teori yang melandasinya. Kebijakan pengurangan pajak, misalnya, di satu sisi mengurangi penerimaan pemerintah tetapi di sisi lain menambah konsumsi atau tabungan rumah tangga. Peningkatan pengeluaran publik dapat menggerakkan kegiatan produksi, tetapi di saat yang sama bisa mengerek inflasi. Oleh karena itu takaran dari setiap kebijakan harus selalu disesuaikan dengan kondisi empiris (fine tunning) sehingga berdampak optimal.
Pilihan kebijakan sangat bergantung pada persoalan yang hendak diselesaikan. Kebijakan akan efektif apabila dilandasi asumsi dan teori yang tepat sehingga potensi kegagalannya dapat diminimalkan. Selain itu, aspek waktu sangat krusial, oleh karena itu eksekusi kebijakan yang berdimensi jangka pendek harus segera, terukur, dan tepat sasaran. Dengan demikian, meskipun anggaran yang dimiliki pemerintah terbatas tetapi efektivitasnya dapat dioptimalkan dengan pilihan kebijakan dan waktu eksekusinya yang tepat.
Mansur Afifi Guru Besar Universitas Mataram