Pandemi ini benar-benar membunuh kita dua kali. Pertama, ia membunuh mangsanya yang abai. Kedua, ia membunuh sendi-sendi karakter sosial kita.
Sars-Cov-2 adalah virus penyebab Covid-19 yang begitu mengerti siapa kita. Kenapa begitu? Karakter manusia Indonesia adalah berkumpul. Mulai dari sekadar berkumpul untuk bertegur sapa hingga berkumpul untuk berbagi pengalaman. Berkumpul telah menjadi kebutuhan. Bahkan, kebutuhan berkumpul ini lebih utama dari kebutuhan pokok itu sendiri.
Namun, sejak awal musim pandemi ini, manusia lebih banyak bertahan di rumah. Ada yang karena "dipaksa" bekerja dari rumah, sebagian karena cemas tertular virus. Sebagian yang lain karena menjadi memang takut keluar rumah karena tidak boleh berkumpul. Pendapatan menurun, mal tutup, tempat hiburan tidak buka, dan mudik Lebaran dilarang karena berpotensi terjadi penularan.
Akibatnya, kita begitu tertekan dengan segala protokol yang diberlakukan. Kita diharuskan menjaga jarak dan meniadakan kegiatan berkumpul. Dalam kondisi psikis yang tertekan itu kita didorong untuk menjalani semua kegiatan di media digital. Mau tidak mau kita bersosialisasi melalui aplikasi virtual. Hampir semua kegiatan komunikasi tatap muka dilakukan secara virtual. Mulai dari rapat kerjaan, lebaran virtual, wisata virtual, hingga mengikuti kelas-kelas virtual. Otomatis dari situlah kebutuhan sosial kita terpenuhi.
Pertama-tama memang tidak biasa. Sebelum virus corona menyerang, media virtual bukanlah yang utama. Perjumpaan fisik masih menjadi yang utama. Ruang digital yang sebelumnya jarang digunakan kemudian digunakan secara masif saat pandemi. Sebut saja aplikasi Zoom, Google Meet, IGTV, dan Skype kini dipakai beramai-ramai oleh segala umat dan semua kelas sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teman-teman saya yang sebelumnya pendiam dan jarang bergaul secara virtual tiba-tiba aktif menjadi host di forum-forum virtual. Saya melihat beberapa kawan yang biasanya jarang mengunggah siaran langsung tiba-tiba dengan percaya diri menampilkan kreasi masakannya dari rumah. Otomatis banyak bermunculan orang-orang baru dalam layar medsos. Banyak di antara mereka yang mendadak menjadi host, narasumber, dan moderator, dalam forum diskusi, pelatihan, dan seminar. Walau kualifikasi akademik mereka dipertanyakan, namun kehadiran mereka ikut menggeser orang-orang mapan yang selama ini bekerja dalam bidang itu.
Pandemi ini telah mengubah kita menjadi manusia abnormal. Pandemi telah merebut ruang nyata menjadi ruang maya. Tatap muka diganti menjadi tatap layar. Dan interaksi langsung berubah menjadi media sosial. Bahkan, selama lima bulan terakhir, penggunaan aplikasi konferensi video naik berkali lipat. Pengguna baru dari aplikasi tersebut pun ikut bertambah banyak. Kita pun makin terbiasa dengan dunia tatap layar.
Di situlah kini kita menghabiskan waktu. Kita menukar hampir separuh waktu kita untuk bergaul di ruang digital yang maya. Di ruang digital, ada yang kita kenal sejak lama dan ada yang baru kita kenal. Namun, ada juga yang tidak kenal sama sekali, tapi kita ikuti dan sesekali kita beri like dan komentar. Media digital berkembang sebagaimana ia dinamakan. Hampir seluruh kegiatan konvensional bisa digantikan media digital.
Manusia modern akan susah lepas dari gadget dan segala hal di dalamnya. Terlebih saat masa pandemi seperti ini. Kebutuhan pokok manusia hari ini ikut beralih, yaitu telepon pintar, laptop, pulsa, kuota, sinyal, aplikasi media sosial, dan aplikasi konferensi video.
Kita sudah lima bulan melawan virus corona. Hasilnya, kita belum pernah benar-benar menang. Bertahan pun tidak berhasil. Justru korban semakin berjatuhan setiap harinya. Namun, sejujurnya hati kecil kita mulai bosan, was-was, dan terus bertanya tentang kapan semua ini akan berakhir. Kita mulai jumud. Tapi kita harus bertahan. Kita harus bertahan sampai vaksin Covid-19 ditemukan.
Jonathan Alfrendi anggota Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan
(mmu/mmu)