Hari-hari ini kita menyaksikan kontroversi seputar Program Organisasi Penggerak (POP), salah satu program unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim.
Melihat update dari Mendikbud, POP memang inovatif. Inisiatif ini punya niat baik untuk melibatkan partisipasi publik, "gotong royong" memberdayakan organisasi masyarakat sipil dengan bantuan pendanaan untuk berbagi praktik-praktik terbaik pendidikan melalui pelatihan peningkatan kualitas guru. Harapannya, inisiatif ini akan mendukung peningkatan hasil belajar siswa di sekolah.
Praktik-praktik terbaik pendidikan memang seringkali sudah dijalankan oleh organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam gerakan pendidikan. Dengan POP, Kemendikbud akan bisa belajar dari masyarakat sipil, menemukan bibit-bibit inovasi yang bisa dijadikan referensi untuk memetakan kebijakan-kebijakan yang efektif bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada 156 organisasi yang lolos seleksi POP dan akan mendapat pendanaan dari Kemendikbud. Pendanaan POP dibagi dalam kategori Gajah, Macan, dan Kijang. Gajah mendapatkan pendanaan maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan maksimal Rp 5 miliar, dan Kijang maksimal Rp 1 miliar.
Kontroversi
Setelah mengamati berbagai respons masyarakat, saya menangkap setidaknya tiga kegelisahan yang menjadikan POP kontroversial. Pertama, dua organisasi yang lolos seleksi POP dikenal luas sebagai organisasi Corporate Social Responsibility (CSR) dari dua perusahaan raksasa, yaitu Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto. Lolosnya dua organisasi CSR yang sudah sangat kaya sumber daya finansial ini melukai rasa keadilan di tengah masyarakat.
Kedua, lolosnya dua organisasi CSR di atas memunculkan kesan bahwa seleksi POP oleh Kemendikbud tidak jelas dan tidak transparan, sehingga memunculkan distrust terhadap POP. Lolosnya organisasi-organisasi yang dianggap tidak jelas rekam jejaknya menambah ketidakpercayaan ini, terlepas Kemendikbud sejak awal sudah mengklaim bahwa seleksi POP dilakukan secara transparan, independen, dan akuntabel.
Ketiga, adanya sense of crisis akibat pandemi Covid-19 yang mengubah dunia pendidikan secara fundamental. Menurut Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan dunia pendidikan. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) membutuhkan infrastruktur listrik dan internet yang di lapangan sama sekali tidak menunjang, terutama di wilayah 3T. PJJ juga sangat menyulitkan siswa, guru, dan orangtua karena adanya ketimpangan akses terhadap sarana pendukung seperti telepon seluler, laptop, dan kuota internet.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), kemudian disusul oleh PGRI menyatakan diri keluar dari POP. Sikap tiga organisasi masyarakat sipil tersebut jadi wake up call bagi Mendikbud untuk meninjau kembali POP, mengingat relevansi dan signifikansi ketiganya di masyarakat sipil penggerak pendidikan.
Evaluasi lanjutan terhadap POP akan dilakukan secara intensif sekitar satu bulan ke depan, melibatkan para pakar pendidikan, organisasi masyarakat, dan lembaga negara di luar Kemendikbud. Rencana ini patut diapresiasi sekaligus dikawal untuk memastikan outcome kebijakan yang tidak lagi kontroversial.
Akar Masalah
Dalam pengamatan saya menggunakan perspektif public management, salah satu akar masalah dari kontroversi POP adalah rancunya format "gotong royong" POP, yang berdasarkan komunikasi publik dari Kemendikbud sendiri dipahami secara luas sebagai pendanaan oleh Kemendikbud kepada organisasi-organisasi yang lolos seleksi.
Ini terutama terkait dengan lolosnya dua organisasi CSR sebagaimana disebut sebelumnya. Sudah jamak diketahui bahwa Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto merupakan organisasi CSR dari dua perusahaan raksasa dengan kemampuan sumber daya finansial yang besar. Kontribusi keduanya terhadap gerakan pendidikan selama ini memang patut diapresiasi sebagai contoh positif dari profil responsible corporate citizens yang ikut andil terhadap pemecahan tantangan pendidikan di Indonesia.
Meskipun Kemendikbud akhirnya mengklarifikasi bahwa Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto akan menggunakan skema pendanaan mandiri, fakta bahwa keduanya merupakan organisasi CSR perusahaan raksasa tetapi dalam seleksi POP dikategorikan "sama" dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, tidak bisa begitu saja diterima.
Mendikbud perlu strategi ulang format gotong royong POP ke dalam multi-sektor antara Kemendikbud, perusahaan (melalui CSR dan filantropi), dan masyarakat sipil untuk memberi kejelasan posisi masing-masing organisasi dalam gotong royong POP menurut karakternya yang khas sehingga bisa mengurangi kegelisahan di tengah masyarakat.
Tri-sector Partnership
Menimbang adanya momentum evaluasi lanjutan POP dalam satu bulan ke depan, strategi ulang format gotong royong POP masih mungkin dilakukan. Saya ingin mengusulkan tri-sector partnership kepada Mendikbud sebagai format gotong royong POP yang baru. Model tri-sector partnership dikenal dalam public management, salah satu perspektif penting dalam kebijakan publik.
Tri-sector partnership meniscayakan kerja sama strategis antara pemerintah, perusahaan (melalui CSR dan filantropi), dan masyarakat sipil untuk menangani masalah-masalah publik yang pelik seperti tantangan pendidikan nasional di Indonesia.
Dalam tri-sector partnership, profil masing-masing sektor yaitu Kemendikbud, perusahaan (melalui CSR dan filantropi), dan organisasi masyarakat sipil yang sudah lolos atau potensial untuk dirangkul dalam POP perlu didefinisikan secara jelas, lengkap dengan analisis kekuatan dan kelemahan relatif masing-masing. Ini penting untuk sinergi, agar gotong royong POP bisa tinggal landas.
Sebagai gambaran awal, dan ini sangat terbuka untuk analisis lebih lanjut, Kemendikbud dalam tri-sector partnership memiliki kekuatan relatif yang tidak dimiliki oleh perusahaan (melalui CSR dan filantropi) maupun masyarakat sipil, yaitu kewenangan, komando, koordinasi, regulasi, juga anggaran negara.
Tapi Kemendikbud juga punya kelemahan relatif, yaitu kurangnya kepercayaan publik terhadap POP yang disebabkan oleh gap komunikasi publik, juga oleh blunder-blunder kebijakan yang dianggap kurang sensitif terhadap kompleksitas realitas persoalan pendidikan di tengah masyarakat. Saya kira ini masalah utama yang memicu keluarnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI dari POP.
Perusahaan (melalui CSR dan filantropi), dalam hal ini Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto, dan juga organisasi-organisasi CSR lain yang relevan untuk dirangkul oleh Kemendikbud, punya kekuatan relatif berupa kemampuan sumber daya finansial untuk mendukung program pendidikan nasional. Tetapi, sektor ini punya kelemahan relatif yaitu kurangnya insentif, legitimasi, dan keahlian.
Organisasi masyarakat sipil punya kekuatan relatif yaitu kredibilitas di tengah masyarakat, legitimasi, dan keahlian dalam sejarah panjang pendidikan nasional. Organisasi masyarakat sipil juga punya kelemahan relatif yang persis merupakan kekuatan relatif dari pemerintah dan perusahaan (melalui CSR dan filantropi), yaitu kecenderungan under funded atau kurangnya pendanaan untuk mendukung program pendidikan yang berkelanjutan.
Saya yakin, dengan strategi ulang gotong royong tri-sector partnership, Kemendikbud bahkan bisa mendapatkan lebih banyak lagi dukungan perusahaan (melalui CSR dan filantropi) untuk memberi pendanaan kepada lebih banyak lagi organisasi masyarakat sipil yang belum terangkul dalam POP karena keterbatasan pendanaan dari Kemendikbud. Saya tahu salah satu organisasi yang punya wisdom pendidikan luar biasa tapi tidak lolos POP, yaitu Qaryah Thayyibah Indonesia. Yayasan ini punya 20 tahun pengalaman mendampingi masyarakat secara nyata dalam serikat tani dan komunitas belajar.
Dengan gotong royong tri-sector partnership, Kemendikbud selaku otoritas penyelenggara negara di bidang pendidikan nasional, bisa merangkul lebih banyak lagi organisasi-organisasi yang relevan baik di sektor pemerintahan, perusahaan (melalui CSR dan filantropi), maupun masyarakat sipil untuk mensukseskan POP. Kepemimpinan Nadiem Makarim akan sangat berpengaruh dalam konsolidasi mensukseskan "gotong royong" tri-sector partnership ini.
Pada akhirnya, gotong royong tri-sector partnership akan menguntungkan semua pihak. Pemerintah untung karena mendapat kepercayaan publik dalam pembangunan pendidikan. Perusahaan (melalui CSR dan filantropi) untung karena ikut andil memecahkan tantangan pendidikan nasional, sehingga mendapat leverage sebagai responsible corporate citizens yang akan membantu keberlanjutan bisnis. Masyarakat sipil untung karena mendapat dukungan pendanaan baik dari pemerintah maupun perusahaan (CSR dan filantropi).
Untuk strategi ulang gotong royong tri-sector partnership ini, Mendikbud sudah melakukan hal yang benar dengan meminta maaf dan mengajak Muhammadiyah, NU, dan PGRI agar mau kembali menjadi bagian dari POP. Mendikbud juga perlu mengajak perusahaan (melalui CSR dan filantropi) untuk mau berpartisipasi dalam POP sesuai dengan kekuatan relatifnya, yaitu "ikut urunan" pendanaan alih-alih menerima pendanaan dari Kemendikbud.
Melihat nature masing-masing organisasi di atas yang terbukti punya komitmen besar untuk mendukung pendidikan nasional baik masyarakat sipil seperti Muhammadiyah, NU, dan PGRI, atau CSR dan filantropi seperti Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto, kiranya niat baik untuk strategi ulang gotong royong POP ke dalam tri-sector partnership tidak akan terlalu sulit untuk dilakukan oleh Mendikbud.
Momentum SDGs 2030
Yang tidak kalah penting, POP bisa jadi momentum untuk mencapai target-target SDGs 2030, khususnya pada tujuan 4/17, yaitu Pendidikan Berkualitas. POP juga bisa jadi momentum untuk mempromosikan isu-isu keberlanjutan (sustainability) kepada guru dan siswa secara keseluruhan.
Dalam POP, para guru perlu dilatih dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, sehingga mereka bisa menginspirasi paradigma keberlanjutan kepada siswa di sekolah.
Waktu terbaik untuk mengenalkan paradigma berkelanjutan kepada generasi penerus bangsa adalah di usia dini. POP yang menyasar peningkatan kualitas guru PAUD, SD, dan SMP sangat relevan untuk mendukung SDGs 2030 dan membangun kesadaran siswa akan isu-isu keberlanjutan sejak dini.
Gotong royong tri-sector partnership POP juga akan sangat mendukung pencapaian target-target SDGs 2030 dalam pendidikan nasional. Dalam diskusi SDGs 2030, Manager Pilar Pembangunan Ekonomi Sekretariat Nasional SDGs Setyo Budiantoro mengatakan bahwa format gotong royong multi-sektor seperti ini merupakan yang pertama dalam sejarah panjang pembangunan nasional Indonesia.
Ini peluang baik bagi Mendikbud untuk mensukseskan POP sekaligus SDGs 2030. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. All the best untuk Mas Menteri!
Marlis Afridah peminat SDGs 2030, alumni Master of Public Policy, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore
Tonton video 'Polemik Organisasi Penggerak, Mendikbud Minta Maaf ke 3 Ormas':